Minggu, 02 Desember 2012

Metode Riset: Teori dan Penelitian Terdahulu


Nama : Tertiera Nurariefani Azizah
Kelas : 3EA18
NPM : 19210435


ANALISIS LOYALITAS KONSUMEN

Jurnal:
1.      Budhi Haryanto dan Soemarjati T.J. (2009) : Pengaruh Relationship Marketing, Trust, Commitment, Citra, dan Fasilitas pada Customer Loyalty.
2.      Lin Mayasari (2008) : PERILAKU PENCARIAN VARIASI: DITINJAU DARI PERSPEKTIF PSIKOLOGI DAN IMBASNYA PADA LOYALITAS KESIKAPAN KONSUMEN
3.      Titik Desi Harsoyo, SE, MSi (2009) : PERANGKAP LOYALITAS PELANGGAN: SEBUAH PEMAHAMAN TERHADAP NONCOMPLAINERS PADA SETING JASA

TEORI & PENELITIAN TERDAHULU

Landasan Teori
Loyalitas konsumen secara umum dapat diartikan kesetiaan seseorang atas suatu produk, baik barang maupun jasa tertentu. Loyalitas konsumen merupakan manifestasi dan kelanjutan dari kepuasan konsumen dalam menggunakan fasilitas maupun jasa pelayanan yang diberikan oleh pihak perusahaan, serta untuk tetap menjadi konsumen dari perusahaan tersebut. Loyalitas adalah bukti konsumen yang selalu menjadi pelanggan, yang memiliki kekuatan dan sikap positif atas perusahaan itu. Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa masing-masing pelanggan mempunyai dasar loyalitas yang berbeda, hal ini tergantung dari obyektivitas mereka masing-masing.
Lovelock (1991:44) menjelaskan bahwa tingkat kesetiaan dari para konsumen terhadap suatu barang atau jasa merek tertentu tergantung pada beberapa faktor: besarnya biaya untuk berpindah ke merek barang atau jasa yang lain, adanya kesamaan mutu, kuantitas atau pelayanan dari jenis barang atau jasa pengganti, adanya risiko perubahan biaya akibat barang atau jasa pengganti dan berubahnya tingkat kepuasan yang didapat dari merek baru dibanding dengan pengalaman terhadap merek sebelumnya yang pernah dipakai.”
Loyalitas bukan tentang persentase dari konsumen yang sebelumnya membeli dari anda, tetapi tentang pembelian ulang. Loyalitas adalah tentang persentase dari orang yang pernah membeli dalam kerangka waktu tertentu dan melakukan pembelian ulang sejak pembeliannya yang pertama.
Menurut Philip Kotler (1997:262), loyalitas konsumen berdasarkan pola pembeliannya dapat dibagi menjadi empat golongan:
  1. Golongan Fanatik
Adalah konsumen yang selalu membeli satu merek sepanjang waktu, sehingga pola membelinya adalah X, X, X, X, yaitu setia pada merek X tanpa syarat
  1. Golongan Agak Setia
Adalah konsumen yang setia pada dua atau tiga merek. Di mana kesetiaan yang terpecah antara dua pola (X dan Y) dapat dituliskan dengan pola membeli X, X, Y, Y, X, Y
  1. Golongan Berpindah Kesetiaan
Adalah golongan konsumen yang bergeser dari satu merek ke merek lain, maka bila konsumen pada awalnya setia pada merek X tetapi kemudian pada saat berikutnya berpindah ke merek Y. Pola membelinya dapat dituliskan X, X, X, Y, Y
  1. Golongan Selalu Berpindah-pindah
Adalah kelompok konsumen yang sama sekali tidak setia pada merek apapun, maka pola membelinya dapat dituliskan X, Y, Z, S, Z

Penelitian Terdahulu
Perspektif tentang loyalitas pelanggan yang selama ini kita gunakan dalam penelitian dan kajian konseptual, ternyata telah mengalami banyak penyempurnaan dalam sejarah panjang literatur akademik. Di bidang pemasaran, sebagian akademisi mengaitkan loyalitas pelanggan dengan loyalitas merek (Copeland, 1923 dalam Homburg dan Giering 2001). Ada pula yang mengaitkannya dengan perilaku tertentu, yaitu pembelian berulang terhadap barang atau jasa tertentu pada periode waktu tertentu (Homburg dan Giering 2001). Akibatnya, pengukuran terhadap loyalitas pelanggan masih hanya berfokus pada proses pembelian merek tertentu (Brown, 1952; Churchill, 1942 dalam Homburg dan Giering 2001), proporsi pembelian terhadap merek tertentu (Brody dan Cunningham, 1968; Cunningham, 1956 dalam Homburg dan Giering 2001), probabilitas pembelian (Farley, 1964; Frank, 1962; Lipstein, 1959 dalam Homburg dan Giering 2001), mengkombinasikan beberapa perilaku tertentu (Frank et al, 1969; Tucker, 1964 dalam Homburg dan Giering, 2001).
Menjawab tantangan mengenai konsep loyalitas pelanggan, kemudian muncul sebuah kritikan yang dikemukakan oleh Day (1969 dalam Homburg dan Giering 2001). Kritikannya mengungkapkan bahwa tidak cukup jika mengukur loyalitas hanya berdasarkan perilaku saja, karena berarti tidak akan ada perbedaan antara true loyalty dan spurious loyalty. Spurious loyalty berasal dari pembeli yang tidak memiliki keterlibatan dengan atribut merek, sehingga mereka akan mudah berpindah ke merek lain yang menawarkan benefit yang lebih baik. Untuk memecahkan masalah potensial tersebut, Day mengusulkan konsep loyalitas dua-dimensional, dengan tetap menggunakan dimensi perilaku (behavioral) dan menambahkan dimensi sikap (attitudinal). Perspektif baru ini menciptakan kemajuan yang sangat besar di area pemasaran dan menjadi acuan bagi penelitian dan kajian konseptual tentang loyalitas pelanggan hingga sekarang.
Salah satu definisi loyalitas pelanggan yang melibatkan dimensi perilaku dan sikap dikemukakan oleh Oliver (1999):
Customer Loyalty is a “a deeply held commitment to rebuy or repatronize a preferred product/service consistently in the future, thereby causing repetitive same-brand or same-brand-set purchasing, despite situational influences and marketing efforts having the potential to cause switching behavior.”
Loyalitas pelanggan dapat berupa insensitifitas harga, positive word-of-mouth, patronasi ulang, merekomendasikan kepada orang lain dan niat beli ulang (Parasuraman et al. 1985). Kepuasan hingga saat ini masih diyakini merupakan prediktor terkuat bagi loyalitas pelanggan. Namun untuk menjawab seberapa kuatkan hubungan tersebut, Homburg dan Giering (2001) melakukan penelitian tentang hubungan antara kepuasan dan loyalitas, dengan melibatkan lima variabel moderator: jender, usia, tingkat pendapatan, keterlibatan (involvement), dan pencarian variasi (variety seeking). Dengan menggunakan 943 pelanggan dealer mobil buatan Jerman sebagai sampel, hasil penelitian mengindikasikan bahwa diantara kelima variabel moderator tersebut, ternyata usia tingkat pendapatan, dan pencarian variasi terbukti memoderasi hubungan kepuasan dan loyalitas.
Complaining sudah sejak lama menjadi perhatian studi di bidang pemasaran jasa. Salah satunya dilakukan oleh Singh (1990). Penelitiannya menghubungkan keluhan dan loyalitas dengan mengadopsi pendapat Richins (1983) yang menyatakan bahwa keluhan paling sedikit akan terdiri dari tiga aktifitas: (1) mengajukan keluhan kepada penjual (voice,) (2) berpindah merek/toko (exit) dan (3) mengatakan ketidakpuasannya kepada orang lain (negative word-of-mouth). Data dikumpulkan dari 497 pelanggan yang tidak puas pada tiga jenis jasa: toko makanan-minuman, bengkel mobil dan perawatan kesehatan. Hasil penelitiannya mengindikasikan terjadinya variasi pada variabel voice, exit maupun negative word-of-mouth. Keluhan yang disampaikan oleh pelanggan yang tidak puasn (voice) paling tinggi terjadi pada jasa bengkel mobil, diikuti toko makanan-minuman (75,8%) dan paling rendah terjadi pada jasa perawatan kesehatan (47,2%). Pelanggan tidak puas yang memutuskan untuk exit paling sering terjadi pada jasa perawatan kesehatan (63%) dan paling sedikit terjadi pada toko makanan-minuman (12,9%). Untuk variabel negative word-of-mouth, toko makanan-minuman menghasilkan insiden terendah (28,2%). Sedangkan jasa perawatan kesehatan dan bengkel mobil masing-masing 56,8% dan 56,9%.
Sebagian besar studi mengenai complaining behavior dan complaint handling lebih berfokus pada complainers. Tetapi belum banyak studi tentang noncomplainers. Dua penelitian yang memberikan kontribusi besar tentang sikap dan perilaku noncomplainers adalah studi yang dilakukan oleh Stephen dan Gwinner (1998) dan Voorhees et al (2006).
1. Stephens dan Gwinner (1998) mengkaji fenomena noncomplaining dengan melibatkan variabel emosi pelanggan. Ia mengajukan proposisi tentang keterlibatan emosi yang berupa: kemarahan, rasa jijik, penghinaan, kesedihan, ketakutan, malu dan perasaan bersalah. Emosi inilah yang kemudian menjadi alasan mengapa pelanggan yang tidak puas tidak menyampaikan keluhan.

Alasan noncomplainers berpindah ke penyedia jasa yang lain dapat dijelaskan dengan konsep perilaku berpindah merek (Switching behavior). Salah satu penelitian yang banyak diacu dalam investigasi mengenai perilaku ini adalah studi yang dilakukan oleh Keaveney (1995). Keaveney (1995) menemukan delapan variabel yang berpotensi menyebabkan pelanggan berpindah merek jasa: pricing, inconvenience, core service failure, service encounter failure, response to service failure, competition, ethical problems dan involuntary switching (perpindahan terpaksa). Dengan menggunakan referensi ini, mungkin saja noncomplainers yang memutuskan untuk berpindah ke penyedia jasa bisa disebabkan oleh ketidakpuasan mereka atas variabel-variabel tersebut. Tanpa menyuarakan keluhannya, mereka berpindah ke penyedia jasa yang lain. Penyedia jasa yang ditinggalkan kehilangan kesempatan untuk mengidentifikasi kegagalan jasa dan tidak memiliki kesempatan untuk melakukan pemulihan jasa.
2. Voorhees et al (2006) melakukan studi tentang noncomplainers melalui studi kualitatif dan kuantitatif. Studi kualitatif dilakukan terhadap 149 pelanggan yang tidak puas, dengan tujuan untuk mengeksplorasi alasan mengapa mereka tidak menyampaikan keluhan ketika mengalami kegagalan jasa. Dalam studi kuantitatif, dilakukan perbandingan antara noncomplainers yang (1) menerima pemulihan jasa atau (2) pelanggan yang keluar dari hubungan pelanggan-penyedia jasa tanpa menerima pemulihan jasa dengan complainers yang (1) menerima pemulihan jasa yang memuaskan, (2) pemulihan jasa yang tidak memuaskan dan (3) tidak memperoleh pemulihan jasa. Studi kuantitatif dilakukan terhadap 530 responden. Kelima kelompok pelanggan tersebut dibandingkan berdasarkan intensi pembelian, afeksi negatif, penyesalan, dan intensi untuk melakukan negative word-of-mouth. Hasil penelitiannya membuktikan bahwa untuk variabel repurchase intention, pelanggan yang memperoleh pemulihan jasa menunjukkan tingkat niat beli ulang yang paling tinggi, kemudian berturut-turut diikuti oleh complainers yang memperoleh pemulihan jasa yang memuaskan, noncomplainers, pelanggan yang memperoleh pemulihan jasa yang tidak memuaskan dan terakhir adalah complainners yang menerima pemulihan jasa tetapi tidak memperoleh pemulihan jasa. Untuk variabel negative affect, pelanggan yang menerima pemulihan jasa menunjukkan afeksi negatif yang paling rendah, kemudian diikuti oleh pelanggan yang memperoleh pemulihan jasa yang memuaskan, noncomplainers, dan complainers yang tidak memperoleh pemulihan jasa. Sedangkan untuk variabel penyesalan (regret), pelanggan yang memperoleh pemulihan jasa yang memuaskan menunjukkan tingkaat penyesalan yang terendah dibandingkan dengan kelompok yang lain. Kemudian diikuti oleh noncomplainers, pelanggan yang menerima pemulihan jasa yang diberikan oleh penyedia jasa, pelanggan yang tidak menerima pemulihan jasa setelah mengajukan keluhan, dan terakhir adalah complainers yang memperoleh pemulihan jasa yang tidak memuaskan. Pelanggan yang menerima pemulihan jasa menunjukkan niat negative word-of-mouth yang rendah. Kemudian diikuti oleh complainers yang memperoleh pemulihan jasa yang memuaskan, noncomplainers, noncomplainers yang memperoleh pemulihan jasa yang tidak memuaskan dan complainers yang sama sekali tidak menerima pemulihan jasa.

Tidak ada komentar :

Posting Komentar