Minggu, 27 Januari 2013

Tugas Metode Riset: Jurnal Ilmiah 2


PENGARUH PENGANGURAN, INFLASI TERHADAP KEMISKINAN
DAN PENANGGULANGANNYA
Abstrak
Studi ini bertujuan untuk memahami pengaruh pengangguran, inflasi, terhadap kemiskinan yang terjadi di Indonesia. Studi ini merujuk kepada penelitian yang ada di daerah Kabupaten Buton Utara. Penelitian ini disertai strategi penanggulangan kemiskinan dan pengangguran.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
 Kemiskinan merupakan problematika kemanusiaan yang telah mendunia dan hingga kini masih menjadi isu sentral di belahan bumi manapun. Selain bersifat laten dan aktual, kemiskinan adalah penyakit sosial ekonomi yang paling banyak dialami oleh negara-negara berkembang. Kemiskinan di negara yang sedang berkembang merupakan masalah yang cukup kompleks, meskipun kebanyakan negara-negara berkembang sudah berhasil melaksanakan pembangunan ekonomi. Pada umumnya fokus perhatiannya adalah dengan menggunakan strategi yang mengarah kepada pencapaian tingkat pertumbuhan produksi dan pendapatan nasional yang setinggi-tingginya.
Berbagai upaya untuk mempercepat penurunan jumlah penduduk miskin, pemerintah telah menetapkan dan menerapkan berbagai kebijakan pembangunan. Tujuannya adalah peningkatan dan pemerataan pendapatan dan kesejahteraan yang secara langsung menyentuh masyarakat miskin. Kebijakan pembangunan dalam rangka penanggulangan kemiskinan berasumsi bahwa apabila semua anggota masyarakat tersebut memperoleh pendapatan melebihi kebutuhan konsumsi dasarnya, maka dapat memperluas dan memperbesar partisipasi mereka dalam pembangunan dan menjadi kekuatan baru dari diri masyarakat yang bersifat dinamis dan berkesinambungan.
Masalah pokok yang dihadapi bangsa Indonesia selain masalah kemiskinan adalah masalah pengangguran. Pengangguran dan kemiskinan merupakan dua hal yang saling berkaitan. Pengangguran yang tinggi berdampak langsung maupun tidak langsung terhadap kemiskinan. Dengan jumlah angkatan kerja yang cukup besar, arus migrasi yang terus mengalir, serta dampak krisis ekonomi yang berkepanjangan sampai saat ini, membuat permasalahan tenaga kerja menjadi sangat besar dan kompleks.
Memang masalah pengangguran telah menjadi momok yang begitu menakutkan khususnya di negara-negara berkembang seperti di Indonesia. Negara berkembang seringkali dihadapkan dengan besarnya angka pengangguran karena sempitnya lapangan pekerjaan dan besarnya jumlah penduduk. Sempitnya lapangan pekerjaan dikarenakan karena faktor kelangkaan modal untuk berinvestasi.
Pengangguran terjadi disebabkan antara lain, yaitu karena jumlah lapangan kerja yang tersedia lebih kecil dari jumlah pencari kerja. Juga kompetensi pencari kerja tidak sesuai dengan pasar kerja. Selain itu juga kurang efektifnya informasi pasar kerja bagi para pencari kerja. Fenomena pengangguran juga berkaitan erat dengan terjadinya pemutusan hubungan kerja yang disebabkan antara lain; perusahaan yang menutup atau mengurangi bidang usahanya akibat krisis ekonomi atau keamanan yang kurang kondusif; peraturan yang menghambat inventasi; hambatan dalam proses ekspor impor, dan lain-lain.
KAJIAN PUSTAKA
Inflasi
Definisi Inflasi :
Secara umum inflasi dapat diartikan sebagai kenaikan tingkat harga barang dan jasa secara umum dan terus menerus selama waktu tertentu .
Komponen Inflasi
Ada tiga komponen yang harus dipenuhi agar dapat dikatakan telah terjadi inflasi, Prathama dan Mandala (2001:203)
1. Kenaikan harga
Harga suatu komoditas dikatakan naik jika menjadi lebih tinggi darpada harga periode sebelumnya.
2. Bersifat umum
Kenaikan harga suatu komoditas belum dapat dikatakan inflasi jika kenaikan tersebut tidak menyebabkan harga secara umum naik.
3. Berlangsung terus menerus
Kenaikan harga yang bersifat umum juga belum akan memunculkan inflasi, jika terjadi sesaat, karena itu perhitungan inflasi dilakukan dalam rentang waktu minimal bulanan
Tingkat Inflasi
Kondisi inflasi menurut Samuelson (1998:581), berdasarkan sifatnya inflasi dibagi menjadi tiga bagian yaitu
1) Merayap {Creeping Inflation) Laju inflasi yang rendah (kurang dari 10% pertahun), kenaikan harga berjalan lambat dengan persentase yang kecil serta dalam jangka waktu yang relatif lama.
2) Inflasi menengah {Galloping Inflation) Ditandai dengan kenaikan harga yang cukup besar dan kadang-kadang berjalan dalam waktu yang relatif pendek serta mempunyai sifat akselerasi yang arrinya harga-harga minggu/bulan ini lebih tinggi dari minggu/bulan lalu dan seterusnya.
3) Inflasi Tinggi {Hyper Inflation) Inflasi yang paling parah dengan dtandai dengan kenaikan harga sampai 5 atau 6 kali dan nilai uang merosot dengan tajam. Biasanya keadaan ini timbul apabila pemerintah mengalami defisit anggaran belanja. Metode Pengukuran Inflasi
Suatu kenaiikan harga dalam inflasi dapat diukur dengan menggunakan indeks harga. Ada beberapa indeks harga yang dapat digunakan untuk mengukur laju inflasi (Nopirin,1987:25) antara lain:
a) ConsumerPriceIndex (CPI) Indeks yang digunakan untuk mengukur biaya atau pengeluaran rumah tangga dalam membeli sejumlah barang bagi keperluan kebuthan hidup: CPI= (Cost of marketbasket ingiven year : Cost of marketbasket in base year) x 100%
b) Produsen PriceIndex dikenal dengan Whosale Price IndexIndex yang lebih menitikberatkan pada perdagangan besar seperti harga bahan mentah (raw material), bahan baku atau barang setengah jadi. Indeks PPI ini sejalan dengan indeks CPI.
c) GNP Deflator GNP deflator ini merupakan jenis indeks yang berbeda dengan indeks CPI dan PPI, dimana indeks ini mencangkup jumlah barang dan jasa yang termasuk dalam hitungan GNP, sehingga jumlahnya lebih banyak dibanding dengan kedua indeks diatas: GNP Deflator = (GNP Nominal : GNP Riil) x 100%
Faktor - faktor yang mempengaruhi Inflasi Menurut Samuelson dan Nordhaus (1998:587), ada beberapa faktor yang menyebabkan timbulnya inflasi:
a. DemandPull Inflation Timbul apabila permintaan agregat meningkat lebih cepat dibandingkan dengan potensi produktif perekonomian, menarik harga ke atas untuk menyeimbangkan penawaran dan pennintaan agregat.
b. Cost Push Inflation or Supply Shock Inflation Inflasi yang diakibatkan oleh peningkatan biaya selama periode pengangguran tinggi dan penggunaan sumber daya yang kurang efektif.
Sedangkan faktor- faktor yang menyebabkan timbulnya inflasi tidak hanya dipengaruhi oleh Demand Pull Inflation dan Cost Push Inflation tetapi juga dipengaruhi oleh :
a) Domestic Inflation Tingkat inflasi yang terjadi karena disebabkan oleh kenaikan harga barang secara umum di dalam negeri.
b) ImportedInflation Tingkat inflasi yang terjadi karena disebabkan oleh kenaikan harga-harga barang import secara umum
Penyebab inflasi
Inflasi dapat disebabkan oleh dua hal, yaitu tarikan permintaan (kelebihan likuiditas/uang/alat tukar) dan yang kedua adalah desakan(tekanan) produksi dan/atau distribusi (kurangnya produksi (product or service) dan/atau juga termasuk kurangnya distribusi). Untuk sebab pertama lebih dipengaruhi dari peran negara dalam kebijakan moneter (Bank Sentral), sedangkan untuk sebab kedua lebih dipengaruhi dari peran negara dalam kebijakan eksekutor yang dalam hal ini dipegang oleh Pemerintah (Government) seperti fiscal (perpajakan/pungutan/insentif/disinsentif), kebijakan pembangunan infrastruktur, regulasi, dll. Inflasi tarikan permintaan (Ingg: demand pull inflation) terjadi akibat adanya permintaan total yang berlebihan dimana biasanya dipicu oleh membanjirnya likuiditas di pasar sehingga terjadi permintaan yang tinggi dan memicu perubahan pada tingkat harga. Bertambahnya volume alat tukar atau likuiditas yang terkait dengan permintaan terhadap barang dan jasa mengakibatkan bertambahnya permintaan terhadap faktor-faktor produksi tersebut. Meningkatnya permintaan terhadap faktor produksi itu kemudian menyebabkan harga faktor produksi meningkat. Jadi, inflasi ini terjadi karena suatu kenaikan dalam permintaan total sewaktu perekonomian yang bersangkutan dalam situasi full employment dimanana biasanya lebih disebabkan oleh rangsangan volume likuiditas dipasar yang berlebihan. Membanjirnya likuiditas di pasar juga disebabkan oleh banyak faktor selain yang utama tentunya kemampuan bank sentral dalam mengatur peredaran jumlah uang, kebijakan suku bunga bank sentral, sampai dengan aksi spekulasi yang terjadi di sektor industri keuangan. Inflasi desakan biaya (Ingg: cost push inflation) terjadi akibat adanya kelangkaan produksi dan/atau juga termasuk adanya kelangkaan distribusi, walau permintaan secara umum tidak ada perubahan yang meningkat secara signifikan. Adanya ketidak-lancaran aliran distribusi ini atau berkurangnya produksi yang tersedia dari rata-rata permintaan normal dapat memicu kenaikan harga sesuai dengan berlakunya hukum permintaan-penawaran, atau juga karena terbentuknya posisi nilai keekonomian yang baru terhadap produk tersebut akibat pola atau skala distribusi yang baru. Berkurangnya produksi sendiri bisa terjadi akibat berbagai hal seperti adanya masalah teknis di sumber produksi (pabrik, perkebunan, dll), bencana alam, cuaca, atau kelangkaan bahan baku untuk menghasilkan produksi tersebut, aksi spekulasi (penimbunan), dll. Sehingga memicu kelangkaan produksi yang terkait tersebut di pasaran. Begitu juga hal yang sama dapat terjadi pada distribusi, dimana dalam hal ini faktor infrastruktur memainkan peranan yang sangat penting. Meningkatnya biaya produksi dapat disebabkan 2 hal, yaitu kenaikan harga,misalnya bahan baku dan kenaikan upah/gaji,misalnya kenaikan gaji PNS akan mengakibatkan usaha usaha swasta menaikkan harga barang-barang.
Penggolongan inflasi
Berdasarkan asalnya, inflasi dapat digolongkan menjadi dua, yaitu inflasi yang berasal dari dalam negeri dan inflasi yang berasal dari luar negeri. Inflasi berasal dari dalam negeri misalnya terjadi akibat terjadinya defisit anggaran belanja yang dibiayai dengan cara mencetak uang baru dan gagalnya pasar yang berakibat harga bahan makanan menjadi mahal. Sementara itu, inflasi dari luar negeri adalah inflasi yang terjadi sebagai akibat naiknya harga barang impor. Hal ini bisa terjadi akibat biaya produksi barang di luar negeri tinggi atau adanya kenaikan tarif impor barang. Inflasi juga dapat dibagi berdasarkan besarnya cakupan pengaruh terhadap harga. Jika kenaikan harga yang terjadi hanya berkaitan dengan satu atau dua barang tertentu, inflasi itu disebut inflasi tertutup (Closed Inflation). Namun, apabila kenaikan harga terjadi pada semua barang secara umum, maka inflasi itu disebut sebagai inflasi terbuka (Open Inflation). Sedangkan apabila serangan inflasi demikian hebatnya sehingga setiap saat harga-harga terus berubah dan meningkat sehingga orang tidak dapat menahan uang lebih lama disebabkan nilai uang terus merosot disebut inflasi yang tidak terkendali (Hiperinflasi). Berdasarkan keparahannya inflasi juga dapat dibedakan :
1. Inflasi ringan (kurang dari 10% / tahun)
2. Inflasi sedang (antara 10% sampai 30% / tahun)
3. Inflasi berat (antara 30% sampai 100% / tahun)
4. Hiperinflasi (lebih dari 100% / tahun)
Mengukur inflasi
Inflasi diukur dengan menghitung perubahan tingkat persentase perubahan sebuah indeks harga. Indeks harga tersebut di antaranya:
• Indeks harga konsumen (IHK) atau consumer price index (CPI), adalah indeks yang mengukur harga rata-rata dari barang tertentu yang dibeli oleh konsumen.
• Indeks biaya hidup atau cost-of-living index (COLI).
• Indeks harga produsen adalah indeks yang mengukur harga rata-rata dari barang-barang yang dibutuhkan produsen untuk melakukan proses produksi. IHP sering digunakan untuk meramalkan tingkat IHK di masa depan karena perubahan harga bahan baku meningkatkan biaya produksi, yang kemudian akan meningkatkan harga barang-barang konsumsi.
• Indeks harga komoditas adalah indeks yang mengukur harga dari komoditas-komoditas tertentu.
• Indeks harga barang-barang modal
• Deflator PDB menunjukkan besarnya perubahan harga dari semua barang baru, barang produksi lokal, barang jadi, dan jasa.
Dampak 
Pekerja dengan gaji tetap sangat dirugikan dengan adanya Inflasi. Inflasi memiliki dampak positif dan dampak negatif- tergantung parah atau tidaknya inflasi. Apabila inflasi itu ringan, justru mempunyai pengaruh yang positif dalam arti dapat mendorong perekonomian lebih baik, yaitu meningkatkan pendapatan nasional dan membuat orang bergairah untuk bekerja, menabung dan mengadakan investasi. Sebaliknya, dalam masa inflasi yang parah, yaitu pada saat terjadi inflasi tak terkendali (hiperinflasi), keadaan perekonomian menjadi kacau dan perekonomian dirasakan lesu. Orang menjadi tidak bersemangat kerja, menabung, atau mengadakan investasi dan produksi karena harga meningkat dengan cepat. Para penerima pendapatan tetap seperti pegawai negeri atau karyawan swasta serta kaum buruh juga akan kewalahan menanggung dan mengimbangi harga sehingga hidup mereka menjadi semakin merosot dan terpuruk dari waktu ke waktu.
·         Bagi masyarakat yang memiliki pendapatan tetap, inflasi sangat merugikan. Kita ambil contoh seorang pensiunan pegawai negeri tahun 1990. Pada tahun 1990, uang pensiunnya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, namun di tahun 2003 -atau tiga belas tahun kemudian, daya beli uangnya mungkin hanya tinggal setengah. Artinya, uang pensiunnya tidak lagi cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sebaliknya, orang yang mengandalkan pendapatan berdasarkan keuntungan, seperti misalnya pengusaha, tidak dirugikan dengan adanya inflasi. Begitu juga halnya dengan pegawai yang bekerja di perusahaan dengan gaji mengikuti tingkat inflasi.
·         Inflasi juga menyebabkan orang enggan untuk menabung karena nilai mata uang semakin menurun. Memang, tabungan menghasilkan bunga, namun jika tingkat inflasi di atas bunga, nilai uang tetap saja menurun. Bila orang enggan menabung, dunia usaha dan investasi akan sulit berkembang. Karena, untuk berkembang dunia usaha membutuhkan dana dari bank yang diperoleh dari tabungan masyarakat.
·         Bagi orang yang meminjam uang dari bank (debitur), inflasi menguntungkan, karena pada saat pembayaran utang kepada kreditur, nilai uang lebih rendah dibandingkan pada saat meminjam. Sebaliknya, kreditur atau pihak yang meminjamkan uang akan mengalami kerugian karena nilai uang pengembalian lebih rendah jika dibandingkan pada saat peminjaman.
·         Bagi produsen, inflasi dapat menguntungkan bila pendapatan yang diperoleh lebih tinggi daripada kenaikan biaya produksi. Bila hal ini terjadi, produsen akan terdorong untuk melipatgandakan produksinya (biasanya terjadi pada pengusaha besar). Namun, bila inflasi menyebabkan naiknya biaya produksi hingga pada akhirnya merugikan produsen, maka produsen enggan untuk meneruskan produksinya. Produsen bisa menghentikan produksinya untuk sementara waktu. Bahkan, bila tidak sanggup mengikuti laju inflasi, usaha produsen tersebut mungkin akan bangkrut (biasanya terjadi pada pengusaha kecil).
·         Secara umum, inflasi dapat mengakibatkan berkurangnya investasi di suatu negara, mendorong kenaikan suku bunga, mendorong penanaman modal yang bersifat spekulatif, kegagalan pelaksanaan pembangunan, ketidakstabilan ekonomi, defisit neraca pembayaran, dan merosotnya tingkat kehidupan dan kesejahteraan masyarakat.
Pengangguran
A. Pengertian Pengangguran
Pengangguran adalah orang yang masuk dalam angkatan kerja (15 sampai 64 tahun) yang sedang mencari pekerjaan dan belum mendapatkannya. Orang yang tidak sedang mencari kerja contohnya seperti ibu rumah tangga, siswa sekolan smp, sma, mahasiswa perguruan tinggi, dan lain sebagainya yang karena sesuatu hal tidak/belum membutuhkan pekerjaan.
B. Rumus Menghitung Tingkat Pengangguran
Untuk mengukur tingkat pengangguran pada suatu wilayah bisa didapat dar prosentase membagi jumlah pengangguran dengan jumlah angkaran kerja. Tingkat Pengangguran = Jml Yang Nganggur / Jml Angkatan Kerja x 100%
C. Jenis & Macam Pengangguran
1. Pengangguran Friksional / Frictional Unemployment Pengangguran friksional adalah pengangguran yang sifatnya sementara yang disebabkan adanya kendala waktu, informasi dan kondisi geografis antara pelamar kerja dengan pembuka lamaran pekerjaan.
2. Pengangguran Struktural / Structural Unemployment Pengangguran struktural adalah keadaan di mana penganggur yang mencari lapangan pekerjaan tidak mampu memenuhi persyaratan yang ditentukan pembuka lapangan kerja. Semakin maju suatu perekonomian suatu daerah akan meningkatkan kebutuhan akan sumber daya manusia yang memiliki kualitas yang lebih baik dari sebelumnya.
3. Pengangguran Musiman / Seasonal Unemployment Pengangguran musiman adalah keadaan menganggur karena adanya fluktuasi kegiaan ekonomi jangka pendek yang menyebabkan seseorang harus nganggur. Contohnya seperti petani yang menanti musim tanam, tukan jualan duren yang menanti musim durian.
4. Pengangguran Siklikal  Pengangguran siklikal adalah pengangguran yang menganggur akibat imbas naik turun siklus ekonomi sehingga permintaan tenaga kerja lebih rendah daripada penawaran kerja.
Pengangguran juga dapat dibedakan atas pengangguran sukarela (voluntary unemployment) dan dukalara (involuntary unemployment). Pengangguran suka rela adalah pengangguran yang menganggur untuk sementara waktu karna ingin mencari pekerjaan lain yang lebih baik. Sedangkan pengangguran duka lara adalah pengengguran yang menganggur karena sudah berusaha mencari pekerjaan namun belum berhasil mendapatkan kerja.
Pertumbuhan Ekonomi
Pembangunan ekonomi adalah suatu proses kenaikan pendapatan total dan pendapatan perkapita dengan memperhitungkan adanya pertambahan penduduk dan disertai dengan perubahan fundamental dalam struktur ekonomi suatu negara dan pemerataan pendapatan bagi penduduk suatu negara. Pembangunan ekonomi tak dapat lepas dari pertumbuhan ekonomi (economic growth); pembangunan ekonomi mendorong pertumbuhan ekonomi, dan sebaliknya, pertumbuhan ekonomi memperlancar proses pembangunan ekonomi.Yang dimaksud dengan pertumbuhan ekonomi adalah proses kenaikan kapasitas produksi suatu perekonomian yang diwujudkan dalam bentuk kenaikan pendapatan nasional. Suatu negara dikatakan mengalami pertumbuhan ekonomi apabila terjadi peningkatan GNP riil di negara tersebut. Adanya pertumbuhan ekonomi merupakan indikasi keberhasilan pembangunan ekonomi. Perbedaan antara keduanya adalah pertumbuhan ekonomi keberhasilannya lebih bersifat kuantitatif, yaitu adanya kenaikan dalam standar pendapatan dan tingkat output produksi yang dihasilkan, sedangkan pembangunan ekonomi lebih bersifat kualitatif, bukan hanya pertambahan produksi, tetapi juga terdapat perubahan-perubahan dalam struktur produksi dan alokasi input pada berbagai sektor perekonomian seperti dalam lembaga, pengetahuan, sosial dan teknik.
Faktor
Sumber daya alam yang dimiliki mempengaruhi pembangunan ekonomi. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan pembangunan ekonomi, namun pada hakikatnya faktor-faktor tersebut dapat dikelompokan menjadi dua, yaitu faktor ekonomi dan faktor nonekonomi. Faktor ekonomi yang mempengaruhi pertumbuhan dan pembangunan ekonomi diantaranya adalah sumber daya alam, sumber daya manusia, sumber daya modal, dan keahlian atau kewirausahaan. Sumber daya alam, yang meliputi tanah dan kekayaan alam seperti kesuburan tanah, keadaan iklim/cuaca, hasil hutan, tambang, dan hasil laut, sangat mempengaruhi pertumbuhan industri suatu negara, terutama dalam hal penyediaan bahan baku produksi. Sementara itu, keahlian dan kewirausahaan dibutuhkan untuk mengolah bahan mentah dari alam, menjadi sesuatu yang memiliki nilai lebih tinggi (disebut juga sebagai proses produksi). Sumber daya manusia juga menentukan keberhasilan pembangunan nasional melalui jumlah dan kualitas penduduk. Jumlah penduduk yang besar merupakan pasar potensial untuk memasarkan hasil-hasil produksi, sementara kualitas penduduk menentukan seberapa besar produktivitas yang ada. Sementara itu, sumber daya modal dibutuhkan manusia untuk mengolah bahan mentah tersebut. Pembentukan modal dan investasi ditujukan untuk menggali dan mengolah kekayaan. Sumber daya modal berupa barang-barang modal sangat penting bagi perkembangan dan kelancaran pembangunan ekonomi karena barang-barang modal juga dapat meningkatkan produktivitas. Faktor nonekonomi mencakup kondisi sosial kultur yang ada di masyarakat, keadaan politik, kelembagaan, dan sistem yang berkembang dan berlaku.
Hubungan inflasi, pengangguran dan pertumbuhan ekonomi
Ada suatu hubungan terbalik antara tingkat inflasi dan tingkat pengangguran dalam suatu perekonomian. Semakin banyak pengusaha memperluas kesempatan kerja semakin dia harus membayar dengan faktor tertentu produksi dan pembayaran lebih banyak faktor produksi peningkatan biaya produksi unit akan diamati dan dalam rangka mempertahankan profitabilitas produk pengusaha akan mengembang harga produk tersebut. Sebuah proses serupa akan diamati di seluruh perekonomian ketika pemerintah bermaksud untuk menciptakan pekerjaan. Harga produk atau jasa, di mana tenaga kerja terinstal, akan meningkat sehingga kenaikan tingkat inflasi akan terlihat melalui ekonomi luar.



METODOLOGI PENELITIAN
Strategi penanggulangan Kemiskinan
Permasalahan kemiskinan yang cukup kompleks membutuhkan intervensi semua pihak secara bersama dan terkoordinasi. Namun penangannya selama ini cenderung parsial dan tidak berkelanjutan. Peran dunia usaha dan masyarakat pada umumnya juga belum optimal. Kerelawanan sosial dalam kehidupan masyarakat yang dapat menjadi sumber penting pemberdayaan dan pemecahan akar permasalahan kemiskinan juga mulai luntur. Untuk itu diperlukan perubahan yang bersifat sistemik dan menyeluruh dalam upaya penanggulangan kemiskinan.
Kebijaksanaan agenda aksi penanggulangan kemiskinan dilaksanakan dalam tahap penyelamatan dan pemulihan yang pada hakikatnya merupakan upaya untuk memicu dan memacu gerakan kolektif penanggulangan kemiskinan sebagai strategi dalam pemerataan dan penajaman program mendorong peranserta aktif dalam berbagai program penanggulangan kemiskinan. Memberikan bantuan langsung yang dapat dipergunakan sebagai modal usaha dan investasi sosial ekonomi disertai pendampingan untuk kegiatan sosial ekonomi produktif secara lestari.
Data responden menggambarkan sebagian besar (46,78) rumah tangga miskin mengharapkan adanya bantuan dana yang berbunga lunak, baik yang bersumber dari pemerintah maupun dari lembaga perbankan atau lembaga non bank lainnya. Selain itu, 18,85 persen rumah tangga miskin juga mendambakan adanya pembukaan lapangan kerja bagi mereka yang tidak memiliki pekerjaan tetap, sehingga secara tidak langsung akan berpengaruh terhadap tingkat produktivitasnya. Hal ini menunjukkan bahwa ada keterkaitan yang signifikan antara masalah lapangan kerja dengan masalah kemiskinan, karena ternyata terdapat rumah tangga miskin yang mengharapkan adanya lapangan kerja baru.
Sementara responden yang lebih memprioritaskan pembangunan prasarana ekonomi sebanyak 14,80 persen. Selebihnya mengutamakan pelayanan pendidikan dan kesehatan gratis, serta program pendidikan dan pelatihan masing-masing 10,26 persen dan 9,31 persen. Data ini mengindikasikan harapan warga miskin lebih diutamakan pada program jangka pendek dan instan. Hanya sebagian kecil yang mengutamakan pada masalah peningkatan sumber daya manusia, padahal jika dilihat faktor penyebab kemiskinanya keterbatasan pengetahuan menduduki posisi kedua setelah masalah keterbatasan modal.
Untuk itulah ditawarkan strategi penanggulangan kemiskinan dengan paradigma baru yaitu paradigma kesejahteraan. Paradigma ini tidak hanya memprioritaskan pada aspek ekonomi semata, namun yang lebih penting adalah menumbuhkan dan mengembangkan wawasan, pengetahuan, ketrampilan, sikap serta perilaku keluarga sasaran agar dapat mengakses sumber daya, modal, pasar, tekonologi serta informasi yang pada gilirannya dapat mewujudkan kesejahteraan secara mandiri. Strategi penanggulangan kemiskinan dengan paradigma baru, dengan menggunakan pendekatan kesejahteraan, akan langsung menyentuh basis ekonomi rumah tangga miskin, disamping juga memperhatikan aspek sosial dan budaya rumah tangga miskin. Ada delapan kunci penanggulangan kemiskinan dalam menerapkan pendekatan kesejahteraan.
Secara umum agenda aksi penanggulangan kemiskinan bertujuan untuk meningkatkan upaya penanggulangan kemiskinan dan mempercepat upaya penanggulangannya, terutama untuk penduduk miskin yang berada di desa yang paling parah kemiskinannya. Sementara tujuan khusus agenda aksi penanggulangan kemiskinan adalah untuk menciptakan kesempatan kerja produktif di semua sektor kegiatan ekonomi; Peningkatan pendapatan ekonomi dan kesejahteraan sosial rumah tangga miskin; dan mengkoordinasikan berbagai program pembangunan penanggulangan kemiskinan. Dengan demikian, sasaran penyaluran diharapkan berbagai bantuan kepada masyarakat dapat disalurkan secara tepat, yaitu tepat sasaran penerima (intended beneficiary) dan sasaran lokasinya sesuai dokumen perencanaan yang benar.
Pemberdayaan rumah tangga miskin merupakan upaya yang dapat meningkatkan posisi tawar (bargaining position) mereka, terutama keterjaminan peluang berusahatani dan pada akhirnya meningkatkan pendapatan rumah tangga mereka. Karena itu perlu diciptakan iklim (suasana) kondusif, untuk membangkitkan kesadaran berkembangnya potensi yang dimiliki dengan mendorong, memotivasi, menciptakan aksesbilitas berbagai peluang, mengurangi atau bahkan menghilangkan intervensi dan dominasi pemerintah terhadap perbaikan sistem dan mekanisme pemasaran komoditas. Ekonomi Kerakyatan merupakan suatu gagasan baru tentang perekonomian yang mencoba merumuskan dasar interpretasi serta cita-cita pembangunan masyarakat adil dan makmur. Pertimbangan ekonomi kerakyatan dan efisiensi menjadi dasar penyesuaian dalam upaya pemberdayaan petani demi peningkatan pendapatan dan kesejahteraan rumah tangga di pedesaan.
Penciptaan iklim kondusif meliputi pemperbaikan sistem dan mekanisme pemasaran komoditas khususnya peningkatan harga jual; secara sosial diperlukan perubahan persepsi terhadap pekerjaan pertanian agar nilai kerjanya tidak lagi dipandang sebagai pekerjaan alternatif terakhir karena kurang terhormat dan tidak mampu mengangkat status kehidupan dalam masyarakat; pengadopsian paket teknologi dilakukan secara selektif agar tidak memudarkan peran petani dan menghilangkan pengetahuan lokal (indigenous knowledge) yang terkadang lebih potensial dalam menjaga kelestarian lingkungan maupun kekayaan nilai-nilai lokal.
Dalam penciptaan iklim yang menunjang pemberdayaan petani dan nelayan terkait dengan sumber mata pencaharian, diperlukan beberapa upaya konkrit, seperti melibatkan kembali peran tokoh informal dalam kegiatan penggalangan SDM petani secara sosial dan ekonomi; melibatkan tokoh agama dalam membangun etos kerja dan strategi hidup produktif dan hemat; memberikan pelatihan peningkatan kemampuan SDM agar dapat mengarahkan petani dan nelayan pada unit ekonomi yang produktif; dan melakukan pengkaderan bagi generasi muda, baik keterampilan maupun persepsi nilai kerja agar tidak terjadi putusnya generasi pekerja pertanian dalam masyarakat di pedesaan. Disamping itu secara evolutif, pengeluaran anggota rumah tangga petani berusaha lebih diefisienkan dan diarahkan dari hal-hal yang bersifat seremonial yang umumnya boros dengan mengarahkannya kepada aktivitas yang hemat waktu dan biaya. Jadi, sifat kedinamisan pemberdayaan tersebut selalu diperhatikan sebagai faktor utama dalam penyesuaian sebagai langkah menuju pencapaian keseimbangan terhadap berbagai perubahan yang akan terjadi.
Pertama, program penanggulangan kemiskinan haruslah program yang dilandaskan pada kegiatan peningkatan kemampuan untuk menghasilkan income bagi sasaran (target beneficiaries) dan asas income generating capacity berasal dari kegiatan tersebut. Untuk menghasilkan income generating capacity paling tidak harus ada perbaikan akses pelaku terhadap empat hal yaitu akses terhadap sumber daya, akses terhadap modal, akses terhadap pasar, dan akses terhadap teknologi. Sasaran paling utama diberikan kepada perbaikan pelakunya (invest in people). Kedua, diterapkannya secara utuh prinsip pembinaan dengan pendekatan kelompok, kemitraan, keluarga, serta berprinsip pada keserasian dan keswadayaan, belajar sambil bekerja serta kepemimpinan dari kelompok sasaran sendiri. Dalam pembinaan ini peran pendidikan dan pengembangan sosial dengan prinsip learning by doing, tidak dapat ditinggalkan. Ketiga, dirancangkannya pola pelatihan bagi petugas pembina yang mampu meningkatkan antusiasisme, dedikasi dan kemampuan para petugas pembina dalam menggali dan mengembangkan aspirasi keluarga miskin, terutama dengan pendekatan participatory rural apraisal.
Keempat, diterapkannya pola kredit yang mendidik dan disiplin bagi petani kecil sehingga pada akhirnya mempunyai kredibilitas untuk berhubungan dengan Bank secara normal. Kelima, diterapkannya cara kerja yang terbuka di antara petugas pembina, sehingga memacu kreativitas dan produktivitas kerja (melaksanakan hubungan yang bersifat dialogis dan kolegial). Keenam, dilaksanakannya latihan kepemimpinan perencanaan partisipatif sehingga tumbuh kesatuan kepemimpinan dan perencanaan dalam penanggulangan kemiskinan. Ketujuh, digunakannya berbagai kredit untuk berbagai macam usaha yang memiliki peluang pasar terbesar. Kedelapan, digunakan prinsip pendekatan kelompok, keluarga, keserasian, kepemimpinan dari kelompok, kemitraan, swadaya, dan belajar sambil bekerja.
Upaya mencapai keadaan yang diinginkan ini harus memenuhi kriteria berikut:
1. Secara teknis dapat dilaksanakan, artinya teknologi, alat dan keterampilan yang ada dapat dan memadai untuk menjalankan strategi tersebut.
2. Secara ekonomi menguntungkan, artinya penerapan strategi ini secara finansial memberikan net benefit pihak-pihak yang terlibat di dalamnya.
3. Secara sosiologis dapat dipertanggungjawabkan, artinya penerapan strategi ini tidak membuat komunitas masyarakat menjadi terganggu keseimbangan harmoninya.
4. Secara ekologis berkelanjutan, artinya penerapan strategi ini ramah lingkungan dan tidak menyebabkan terjadinya kerusakan pada sistem keseimbangan lingkungan alami.
Langkah awal dalam pendekatan ini adalah identifikasi potensi masyarakat dan wilayah yang akan dikembangkan, kemudian melakukan pembinaan jiwa dan wawasan wirausaha, ditunjang dengan pemanfaatan teknologi tepat guna untuk meningkatkan efisiensi proses produksi, diikuti dengan pengembangan lembaga ekonomi dan pengadaan pasar. Kesemuanya itu akan membentuk para wirausahawan yang mandiri yang pada gilirannya akan membentuk masyarakat yang sejahtera dalam arti ekonomi, psikis, dan sosial.
Upaya penanggulangan kemiskinan dapat dilakukan antara lain dengan memutus mata rantai kemiskinan itu sendiri dengan cara membuka akses yang luas terhadap sumber-sumber pembiayaan bagi Usaha Kecil dan Mikro (UKM) yang pada dasarnya merupakan bagian dari rumah tangga miskin yang mempunyai kemauan dan kemampuan produktif. Peranan Lembaga Keuangan Mikro (LKM) dalam menunjang kegiatan UKM adalah sebagai alternatif pembiayaan masih lebih kecil dibandingkan lembaga-lembaga keuangan formal.
Untuk lebih jelasnya mengenai proses pelaksanaan kebijakan LKM, berikut ini diberikan beberapa hal yang perlu diperhatikan.
a. Pelembagaan LKM
Untuk menimplementasikan konsep lembaga keuangan mikro di pedesaan, maka terlebih dahulu dilakukan proses institusionalisasi lembaga, dalam pengertian mendirikan suatu lembaga secara resmi. Adapun langkah atau tahapan yang harus dilakukan meliputi musyawarah dan sosialisasi, pembentukan pengurus, dan pengesahan lembaga.
b. Pengelolaan
1. Tujuan dan Sasaran
Secara umum program dana bergulir yang dikelola melalui LKM bertujuan untuk meningkatkan aktivitas ekonomi pedesaan, meningkatkan volume usaha, meningkatkan penyerapan tenaga kerja, meningkatkan semangat kewirausahaan, meningkatkan pendapatan anggota, dan membangkitkan etos kerja. Sedangkan sasaran dari LKM meliputi individu dan kelompok yang akan memulai usaha ataupun bermaksud mengembangkan usahanya.
2. Tenaga Administrasi

Tenaga administrasi yang bertugas untuk mengelola LKM adalah masyarakat Buton Utara yang memiliki kapabilitas, integritas, dan loyalitas yang tinggi untuk menjalankan proses kelancaran organisasi LKM. Adapun pembiayaan (honor) dari tenaga administrasi dapat bersumber dari pemerintah daerah yang ditentapkan dalam APBD.
3. Pendanaan
a. Sumber Pendanaan. Basis sumber pendanaan penanggulangan kemiskinan yang bersifat langsung kepada masyarakat pada dasarnya dapat dibedakan menjadi dua sumber, yakni: (i) dana perbankan dan non bank untuk kegiatan peningkatan produktivitas rumah tangga miskin dalam rangka peningkatan pendapatan; dan (ii) dana pemerintah untuk kegiatan penyediaan kebutuhan dasar dan bantuan sosial sebagai upaya pengurangan beban pengeluaran rumah tangga miskin.
b. Alokasi Pinjaman, meliputi aspek persyaratan penerima, jenis pinjaman yang diberikan, dan besarnya pinjaman.
c. Jenis pembiayaan
1.Jenis pembiayaan berdasarkan sektor usaha yang dibiayai:
a. Pembiayaan Usaha Nelayan
b. Pembiayaan sektor perdagangan
c. Pembiayaan sektor perikanan dan pertanian
d. Pembiayaan sektor industri rumah tangga
e. Pembiayaan sektor jasa lainnya
2. Jenis pembiayaan berdasarkan jangka waktu pemberiannya
a. Pembiayaan jangka pendek untuk dibawah 3 bulan
b. Pembiayaan jangka menengah untuk diatas 3 bulan sampai dengan 7 bulan
c. Pembiayaan jangka panjang untuk diatas 7 bulan s/d 10 bulan
3. Jenis pembiayaan berdasarkan cara pembayaran/angsuran:
a. Pembiayaan dengan angsuran pokok dan margin secara periodik.
b. Pembiayaan dengan angsuran pokok secara periodik dan margin pada akhir pembiaaan.
c. Pembiayaan dengan angsuran pokok dan bagi hasil pada akhir pembiayaan.
d. Besarnya pembiayaan, didasarkan pada analisa kelayakan usaha yang memuat tentang kemampuan membayar, kemauan membayar dan jaminan atas resikopembiayaan
c. Monitoring dan Evaluasi (Monev). Pengembangan sistem monitoring dan evaluasi mutlak diperlukan untuk menjamin strategi penanggulangan kemiskinan yang diterapkan dapat berjalan dengan efisien. Sistem monitoring perlu diorientasikan pada upaya untuk memastikan bahwa pelaksanaan upaya penanggulangan kemiskinan berjalan sesuai dengan rencana selama upaya tersebut berjalan, sedangkan sistem evaluasi diperlukan untuk menyempurnakan upaya atau kegiatan-kegiatan yang sedang berjalan, membantu perencanaan, penyusunan upaya atau kegiatan dan pengambilan keputusan di masa depan. Monitoring dan evaluasi perlu ditentukan secara berkala atau dalam waktu-waktu tertentu dapat dilakukan jika dipandang terdapat hal-hal yang dianggap penting. Monev dapat dilakukan baik secara internal, eksternal, maupun secara independen. Indikator kinerja dalam mengembangkan sistem monev penanggulangan kemiskinan dapat dikelompokan atas empat, yaitu indikator masukan, indikator proses, indikator keluaran, dan indikator dampak.
Strategi Penanggulangan Pengangguran
Berdasarkan hasil pembahasan tentang masalah kemiskinan, ditemukan bahwa masalah kemiskinan memiliki keterkaitan dengan masalah pengangguran. Profil jenis pekerjaan dari rumah tangga miskin sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya menunjukkan 2,15 persen rumah tangga miskin berada pada kategori menganggur. Persentase rumah tangga yang tidak sedang bekerja tersebut tampil mengambil posisi penyebab terjadinya kemiskinan di Kabupaten Buton Utara sebesar 5,25 persen. Jika dibandingkan dengan masalah kemiskinan, maka masalah pengangguran di Kabupaten Buton Utara dapat dikatakan belum menjadi masalah yang kronis.
Hal ini didasarkan pada persoalan jumlah angka pengangguran terbuka jauh lebih rendah daripada rata-rata tingkat pengangguran terbuka (TPT) secara nasional yang mencapai 6,80 persen (BPS, 2011b). Selain itu, potensi lapangan pekerjaan di Kabupaten Buton Utara cukup variatif. Dengan demikian, jika masyarakat memiliki kreativitas dan etos kerja yang tinggi maka tidaklah mungkin terjadi pengangguran terbuka, dalam pengertian tidak bekerja sama sekali. Meskipun persentase angka pengangguran di Kabupaten Buton Utara tidak begitu besar, namun tetap saja dipandang penting untuk diberi perhatian baik secara akademis maupun secara praktis dengan harapan dapat mengeluarkan mereka dari kondisi tuna karya yang tengah dialaminya.
Keterkaitan antara ketenagakerjaan dan kemiskinan dalam hal ini akan didekati dengan melihat hubungan antara kemiskinan dan pengangguran dan antara kemiskinan dan setengah pengangguran. Pemilihan indikator pengangguran dan setengah pengangguran didasari pada kenyataan bahwa kedua indikator tersebut terkait langsung dengan tingkat pendapatan. Secara teoretis, tingkat kemiskinan akan bergerak mengikuti tingkat pengangguran. Dalam hal ini ketika tingkat pengangguran mengalami kenaikan maka secara otomatis tingkat kemiskinan akan meningkat. Hal ini sejalan dengan pernyataan Todaro (2003) yang menyebutkan bahwa mereka yang berada dalam keadaan miskin adalah mereka yang tidak bekerja secara teratur atau terus menerus, atau yang bekerja paruh waktu saja. Merujuk pada pernyataan Todaro di atas, tampaknya setengah pengangguran yang diukur berdasarkan jam kerja (35 jam per minggu) memiliki hubungan yang posistif dengan kemiskinan. Ketersediaan lapangan kerja yang relatif terbatas, tidak mampu menyerap para pencari kerja yang senantiasa bertambah setiap tahun seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk. Tingginya angka pengangguran tidak hanya menimbulkan masalah-masalah di bidang ekonomi, melainkan juga berbagai masalah di bidang sosial, seperti kemiskinan dan kerawanan sosial. Karena itu, persoalan pengangguran menjadi salah satu isu penting dalam ketenagakerjaan. Dari sisi ekonomi, pengangguran merupakan produk dari ketidakmampuan pasar kerja dalam menyerap angkatan kerja yang tersedia. Sementara dari sisi sosiologis, pengangguran merupakan kondisi ketidakberdayaan sesorang atau sekelompok orang yang tidak mampu mengaktualisasikan dirinya dalam peran sosial ekonomi produktif.
Karena itu perlu dilakukan Gerakan Penanggulangan Pengangguran Daerah (GPPD) dengan mengerahkan semua unsur-unsur dan potensi di tingkat daerah untuk menyusun kebijakan dan strategi serta melaksanakan program penanggulangan pengangguran. Salah satu tolok ukur kebijakan yang rencanakan haruslah keberhasilan dalam perluasan kesempatan kerja atau penurunan pengangguran dan setengah pengangguran. Secara teknis keberhasilan rencana aksi penanggulangan kemiskinan melalui rencana aksi penguatan kelembagaan keuangan mikro, maka secara langsung maupun tidak langsung akan memengaruhi semangat padat karya bagi warga yang tergolong menganggur. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa modal usaha produktif akan membuka ruang kerja baru bagi mereka yang akan memulai usaha, maupun meningkatkan produktivitas usaha bagi mereka yang telah memiliki usaha.
Untuk maksud tersebut, maka pemerintah daerah akan melaksanakan upaya-upaya strategis untuk menanggulangi pengangguran. Pertama, pengembangan informasi pasar kerja (labor market information). Langkah ini dimaksudkan untuk mendukung perencanaan tenaga kerja yang tepat. Berhasil atau tidaknya suatu program yang dilaksanakan sangat tergantung dari ketersediaan informasi yang cepat dan valid. Untuk mengetahui implementasi keberhasilan program penanggulangan pengangguran perlu disusun sistem informasi untuk memonitor keadaan pasar kerja yang tersedia.
Kedua, pelatihan kerja (training). Pelatihan bertujuan untuk menyediakan tenaga kerja yang lebih terampil, berpendidikan, dan fleksibel sesuai dengan kebutuhan pasar kerja serta meningkatkan produktivitas tenaga kerja agar hasil kerja atau produksi dapat bersaing dipasaran. Pelatihan juga dimaksudkan untuk meningkatkan pendapatan dan kualitas iklim kerja yang lebih baik (quality of working life) dari tenaga kerja yang bersangkutan. Pelatihan lebih diarahkan kepada kebutuhan pasar dan dilaksanakan secara terpadu.
Ketiga, pengembangan usaha informal keluarga. Upaya ini dapat dilakukan dengan mendorong para pencari kerja terdidik untuk melanjutkan usaha informal dilingkungan keluarganya. Dengan memberi bekal tambahan latihan ketrampilan berwirausaha, mereka akan dapat mengembangkan, memodernisasi, dan menjalankan usaha informal keluarganya dengan baik. Pengembangan usaha informal keluarga diarahkan untuk dapat memanfaatkan potensi daerah setempat dan diarahkan untuk mampu menyerap jumlah tenaga kerja yang lebih banyak. Strategi pengembangan usaha informal merupakan upaya untuk mengurangi pengangguran terdidik melalui pembentukan kelompok-kelompok usaha kecil dengan fasilitasi dari pemerintah. Kelompok-kelompok usaha ini perlu dibimbing dan difasilitasi baik dari segi ketrampilan berwirausaha, pendanaan, manajemen usaha, sampai dengan pemasaran dari produk atau jasa yang dihasilkan. Selanjutnya kelompok usaha mandiri yang sudah dapat berdiri sendiri dan mapan, dapat secara bergantian dan berantai memfasilitasi kelompok usaha baru lainnya, maka upaya ini akan dapat menyerap banyak tenaga kerja baru.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian sebagaimana yang diuraikan pada bab sebelumnya ditemukan beberapa hal penting berkenaan dengan strategi penanggulangan kemiskinan dan pengangguran. Permasalahan yang dihadapi dalam upaya penanggulangan kemiskinan umumnya menyangkut lima hal, yaitu aspek kelembagaan, aspek kebijakan dan penganggaran program, aspek SDM, aspek di bidang data dan informasi, serta aspek monitoring dan evaluasi.
Daftar referensi :
1. sirajuddin. “Strategi Penanggulangan Kemiskinan dan Pengangguran di Kabupaten Buton Utara”. Edisi III Januari 2012.
2. http://lanimaidiacute.blogspot.com/2012/05/hubungan-inflasi-dan-pengangguran.html

Tugas Metode Riset: Jurnal Ilmiah 1


NAMA : Tertiera N. Azizah
KELAS : 3EA18
NPM : 19210435

KOMPULSIF KONSUMEN

Abstrak

Studi ini bertujuan untuk memahami faktor kompulsif dan materialism pada konsumen Indonesia. Pentingnya kajian ini karena dapat menggambarkan fenomena yang sering terjadi di masyarakat. Di satu sisi dampak positif dari perilaku pembelian kompulsif dalam jangka pendek adalah kepuasan yang langsung dapat dirasakan dari aktivitas pembelian tersebut. Compulsive buyers tidak melakukan pembelian semata-mata hanya untuk mendapatkan suatu produk tertentu, melainkan lebih kepada hasrat untuk mencapai kepuasan melalui proses pembelian itu sendiri. Hasil studi diharapkan dapat memberikan manfaat bagi beberapa pihak yakni manfaat teoritis dan praktis.


PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Dewasa ini, perilaku pembelian semakin komplek dimana seringkali konsumen membeli produk tidak sebagai rutinitas melainkan sebagai pembelian berdasarkan situasi yang terjadi pada saat itu. Keputusan di bidang pemasaran dimulai dengan menganalisa perilaku pembelian dalam situasi yang tepat, sehingga dapat mempengaruhi kesediaan konsumen untuk membeli barang dan jasa yang ditawarkan, dengan kata lain bahwa faktor situasi dapat mempengaruhi pembelian konsumen terhadap kategori produk tertentu (Anic dan Radas, 2006 dalam Mihic dan Kursan, 2010). Keinginan membeli suatu produk dapat datang secara tiba-tiba karena berbagai alasan situasional (Sutisna, 2001: 156).
Terdapat lima karakteristik pengaruh situasional yang dapat mempengaruhi perilaku pembelian konsumen, yaitu: pertama, lingkungan fisik (physical surrounding) merupakan fitur situasi yang paling terlihat. Lingkungan fisik ini meliputi lokasi, dekorasi, suara, aroma, pencahayaan, cuaca, serta konfigurasi barang dagangan atau material lain yang berada di sekeliling rangsangan produk. Kedua, lingkungan sosial (social surrounding) merupakan individu yang hadir selama proses konsumsi, yang meliputi faktor-faktor seperti: kehadiran orang lain, karakteristik orang-orang yang hadir pada situasi tersebut, peranan nyata orang-orang yang hadir, dan interaksi interpersonal. Ketiga, pespektif waktu (temporal perspective) merupakan dimensi situasi yang dapat dispesifikasikan kedalam unit waktu dari situasi, misal kejadian tertentu ketika perilaku pembelian terjadi (hari, bulan, musim). Waktu juga dapat diukur secara relatif pada kejadian di masa lalu atau di masa mendatang, misal waktu ketika pembelian terakhir. Keempat, definisi tugas (task definition) merupakan alasan mengapa aktivitas konsumsi oleh konsumen berlangsung, dan dapat dikatakan sebagai tujuan atau sasaran yang dimiliki konsumen dalam situasi tertentu. Dengan kata lain. dapat juga dikatakan bahwa hal ini merupakan maksud atau prasyarat untuk memilih, berbelanja atau mendapatkan informasi mengenai pembelian umum atau spesifik. Kelima, pernyataan anteseden (antecendent state) merupakan perasaan (mood) sementara, seperti rasa cemas atau gembira atau
kondisi yang dibawa konsumen ke dalam situasi, seperti kondisi pada saat memegang uang tunai (Belk, 1975 dalam Mihic dan Kursan, 2010). Situasi dalam toko yang menarik diharapkan dapat merangsang perilaku pembelian, khususnya yang mengarah pada situasi pembelian impulsif (Abratt dan Goodey, 1990 dalam Jalan, 2006). Pembelian impulsif merupakan bagian dari pola pembelian konsumen dimana keputusan pembelian dilakukan pada saat berada didalam toko dan pada saat itu konsumen mengalami perasaan tiba-tiba, merasakan perasaan yang sangat kuat dan berkeras hati terhadap dorongan emosional untuk membeli sesuatu dengan segera (Belk, 1995 dalam Dittmar, 2005). Perilaku pembelian impulsif yang dilakukan secara berulang menyebabkan orang berperilaku kompulsif. Pembelian kompulsif merupakan proses pengulangan yang sering berlebihan dalam berbelanja yang dikarenakan oleh rasa ketagihan, tertekan, atau rasa bosan (Solomon, 2002 dalam Shoham dan Brencic, 2003).
Perilaku pembelian kompulsif merupakan salah satu bagian dari konsumsi kompulsif yang merupakan sisi negatif dari sebuah perilaku konsumsi (Mowen dan Minor, 2002: 130). Konsumen yang kompulsif adalah konsumen yang merasa ketagihan, dalam beberapa kondisi mereka berlaku diluar kontrol dan sikap mereka dapat berdampak buruk bagi diri sendiri maupun orang lain. Perilaku berbelanja yang tidak terkontrol, berjudi, merokok, kecanduan narkoba, dan pecandu alkohol merupakan beberapa contoh dari konsumsi kompulsif (Schiffman dan Kanuk, 2007: 119).
Pembeli kompulsif adalah konsumen yang keranjingan belanja atau cenderung suka membelanjakan uang untuk membeli barang meskipun barang tersebut tidak mereka butuhkan. Untuk beberapa pelaku kompulsif, uang dan harta benda telah menggantikan keberadaan teman, keluarga bahkan “tempat ibadah”. Pusat perbelanjaan telah menjadi pengganti “tempat ibadah” dan berbelanja menjadi “ritualnya” (Boundy, 2000 dalam Yang, 2006).

Manfaat Penelitian
Hasil Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi beberapa pihak, antara lain:
1)     Manfaat Teoritis
Melalui penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan studi empiris yang lebih kaya khususnya mengenai faktor situasional pusat perbelanjaan, materialisme dan perilaku pembelian kompulsif para pengguna kartu kredit terhadap pembelian produk fashion.
2)     Manfaat praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi pada pihak pemasar produk fashion, para manager pusat-pusat perbelanjaan maupun perusahaan penerbit kartu kredit untuk menerapkan strategi-strategi perusahaan agar tepat sasaran dan memberikan perlakuan khusus kepada para pengguna kartu kredit dalam hal melakukan pembelian produk fashion.

Tujuan Penelitian
1.      Untuk mengetahui apakah faktor situasional berpengaruh terhadap perilaku pembelian kompulsif
2.      Untuk mengetahui apakah materialisme berpengaruh terhadap perilaku pembelian kompulsif
3.      Untuk mengetahui apakah penggunaan kartu kredit berperan signifikan sebagai variable pemoderasi dalam hubungan antara materialisme dengan perilaku pembelian kompulsif

TINJAUAN PUSTAKA
Konsep pembelian kompulsif berasal dari pembuatan keputusan pembelian konsumen pada umumnya. Studi perilaku konsumen menjelaskan bahwa, stimulus dalam model perilaku konsumen meliputi aspek individu dan lingkungan (Assael, 1998; Schiffman & Kanuk, 2004). Aspek individu meliputi persepsi, motivasi atau keinginan, pembelajaran, kepribadian, emosi, dan sikap; sedangkan aspek eksternal meliputi budaya, subbudaya, demografi, status sosial, kelompok referensi, dan strategi pemasaran. Perilaku pembelian kompulsif merupakan komponen perilaku negatif konsumen. Mowen dan Minor (2002: 280) mendifinisikan perilaku pembelian kompulsif sebagai suatu pembelian yang tidak terencana dan konsumen terlibat dalam perilaku ini karena mereka sangat berhasrat untuk memperoleh perasaan atau kesenangan tertentu.
Konsep dasar perilaku pembelian kompulsif adalah konsumsi yang berlebihan pada suatu barang (Stones IV, 2001 dalam Shoham dan Brencic, 2003). Pembelian kompulsif merupakan suatu perilaku pembelian yang tanpa direncanakan dan dilakukan secara berulang-ulang dan merupakan suatu perilaku yang negatif (O'Guinn dan Faber, 1992; Solomon, 2002 dalam Shoham dan Brencic, 2003). Banyak peneliti yang mengkategorikan perilaku pembelian kompulsif sebagai gangguan terhadap kontrol pembelian impulsif (Black, dkk., 1998; Christenson, dkk., 1992; Faber, 1992; McElroy dkk., 1991; O’Guinn dan Faber, 1989; Schlosser, dkk., 1994 dalam Yang, 2006).
Pembelian impulsif adalah tidak direncanakan dan tidak diatur sebelum memasuki toko (Hawkin, dkk.,1998: 590). Ketika konsumen tidak terlibat akan suatu produk, mereka cenderung melakukan pengambilan keputusan pembelian di dalam toko, dimana tidak terdapat motivasi yang cukup untuk melakukan rencana pembelian (Assael, 2004: 103).
Pembelian impulsif terjadi ketika konsumen mengalami dorongan tiba-tiba, keinginan yang kuat untuk membeli sesuatu dengan segera (Engel, dkk., 1995: 159). Pembelian impulsif dapat dijelaskan sebagai dorongan untuk membeli sesuatu yang tiba-tiba, tanpa ada niat atau rencana, bertindak atas dorongan tanpa mempertimbangkan tujuan jangka panjang atau cita-cita.
Konsumen yang memanfaatkan kognisi akan lebih cenderung untuk membuat pembelian dan keputusan rasional juga melakukan pembelian dengan sedikit dorongan sedangkan konsumen yang lebih emosional akan lebih cenderung melakukan pembelian impulsif .
Menurut Rooks dalam Engle, dkk., (1995: 159) ciri pembelian impulsif yang dikemukan oleh adalah sebagai berikut:
1.      Keinginan mendadak dan spontan untuk bertindak disertai dengan urgensi
2.      Keadaan ketidakseimbangan psikologis di mana seseorang dapat berada di luar kendali
3.      Rendahnya evaluasi objektif, sementara pertimbangan emosional lebih dominan
4.      Kurang memperhatikan konsekuensi yang ditimbulkan Sementara itu jenis atau tipe pembelian impulsif dapat digolongkan dalam beberapa bentuk.
Blythe (1997) dalam Shoham dan Brencic (2003) menggolongkan jenis pembelian impulsif menjadi empat jenis, yaitu:
1.      Pure impulsive. Pembelian yang dilakukan murni tanpa rencana atau terkesan mendadak. Biasanya terjadi setelah melihat barang yang dipajang di toko dan muncul keinginan untuk membelinya saat itu juga.
2.      Reminder impulsive. Pembelian yang dilakukan tanpa rencana terjadi setelah diingatkan karena melihat iklan atau brosur yang ada di pusat perbelanjaan.
3.      Suggestion impulsive. Pembelian yang dilakukan tanpa rencana pada saat berbelanja di pusat perbelanjaan. Pembelian dilakukan pada saat di pusat perbelanjaan, setelah pembeli terpengaruh dan diyakinkan oleh tenaga sales atau teman yang ditemuinya pada saat berbelanja, yang menawarkanproduknya dengan meyakinkan.
4.      Planned impulsive. Pembelian yang dilakukan sebenarnya sudah direncanakan, tetapi karena barang yang dimaksud habis atau tidak sesuai dengan yang diinginkan, maka yang dilakukan adalah membeli jenis barang yang sama tetapi dengan merek atau ukuran yang berbeda.
Menurut Rindfleisch et al., 1997; Roberts, 1998; Roberts, 2000; Dittmar, 2005a, dalam Xu, 2008, terdapat beberapa faktor yang dapat mendorong terjadinya pembelian impulsif dan kompulsif yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor eksternal mencakup karakteristik produk dan karakteristik pemasaran, sedangkan faktor internal mencakup karakteristik-karakteristik konsumen yang muncul sehubungan dengan pembelian yang dilakukan konsumen, yang didapat dijelaskan sebagai berikut:
        I.            Karakteristik produk meliputi:
a)     harga yang rendah
b)     adanya sedikit kebutuhan dengan produk tersebut
c)      siklus kehidupan produknya pendek
d)     ukuranya kecil dan ringan
e)     mudah disimpan
      II.            Faktor marketing, diantaranya:
a)     distribusi massa pada self servise terhadap pemasangan iklan besarbesaran dan material yang akan didiskon. Ketersediaan informasi seperti melalui pemasangan iklan, website, penjaga toko, adalah sumber utama informasi konsumen.
b)     posisi pajangan produk dan lokasi toko yang menonjol turut mempengaruhi pembelian impulsif. Selain itu, jumlah, lokasi dan jarak toko mempengaruhi jumlah kunjungan konsumen ke toko sebelum pembelian. Kunjungan ke toko membutuhkan energi, uang,waktu dan jarak kedekatan seringkali meningkatkan aspek ini dari pencarian dari luar.
   III.            Karakteristik konsumen seperti:
a)     kepribadian konsumen
b)     demografis meliputi usia, jenis kelamin, pendapatan, dan sebagainya

Perilaku impulsif yang dilakukan berkali-kali dan dalam jangka waktu yang lama menimbulkan suatu perilaku pembelian yang diberi nama perilaku pembelian kompulsif. Definisi pembelian kompulsif harus mencakup dua criteria yaitu: (1) perilakunya harus berulang ulang, dan (2) perilakunya harus problematik untuk individu (O’Guinn dan Faber, 1989 dalam Shoham dan Brencic, 2003). Perilaku pembelian kompulsif sangat erat terkait dengan perilaku obsesif pelanggan yang berorientasi pada pikiran mereka untuk mendapatkan produk atau jasa tertentu (Rajagopal, 2008). Compulsive buyer biasanya memiliki tingkat kepercayaan diri yang rendah, tingkat berhayal, depresi, kecemasan, dan obsesi yang tinggi.
Studi tentang pembelian kompulsif merupakan studi yang penting karena perilaku tersebut dapat menyebabkan kekacauan pada individu dan atau orang disekitarnya. Bahkan dalam beberapa kasus ekstrim, pembeli kompulsif mampu menghabiskan uang lebih banyak dari yang mereka miliki, menghancurkan hidup mereka bahkan kehidupan keluarga (d’Astous, 1990; Faber dan O’Guinn, 1992; Rindfeisch, Borroughs dan Denton, 1997 dalam Kwak, dkk., 2003).
Pembeli kompulsif dapat berasal dari semua golongan ekonomi. Seseorang yang kompulsif adalah seorang yang pemboros yang dicirikan sebagai seseorang yang menghabiskan uang dengan cepat, mengemudikan mobil mewah, rumah yang mahal walaupun uang yang dimiliki tidak dapat menutupi segala keinginannya. Bahkan mereka membentuk citra diri bahwa orang lain harus mengagumi mereka dengan segala yang dimilikinya. Untuk beberapa pelaku kompulsif, uang dan harta benda telah menggantikan keberadaan teman, keluarga bahkan tempat ibadah. Pusat perbelanjaan telah menjadi pengganti tempat ibadah dan berbelanja menjadi ritualnya (Boundy, 2000 dalam Yang, 2006). Menurut Dittmar, 2000 dalam Yang, 2006 menemukan bahwa konsumen yang kompulsif berbelanja diatas batas kemampuan yang termotivasi oleh tingginya keinginan mereka untuk memiliki harta benda dan menganggap bahwa kepemilkan harta benda merupakan tolok ukur identitas diri, keberhasilan, dan kebahagiaan dalam hidup.
Faktor Situasional
Faktor situasional adalah faktor-faktor eksternal yang berasal dari lingkungan berbelanja ketika konsumen tertarik akan rangsangan visual tertentu (produk atau promosi) yang menciptakan pembelian yang tidak direncanakan. Saat itu konsumen mungkin merasa perlu tiba-tiba untuk membeli produk tertentu yang telah menarik perhatiannya (Youn, 2000 dalam Mihic dan Kursan, 2010). Pengaruh situasional merupakan kondisi sementara atau setting yang terjadi pada lingkungan pada lingkungan dan tempat yang spesifik (Assael: 2004, 122). Belk mengidentifikasi lima karakteristik pembelian dan konsumsi situasional yang mempengaruhi pembelian konsumen yaitu (Belk dalam Sutisna, 2001: 159): (1) Lingkungan fisik (Physical Surrounding) yaitu aspek-aspek lingkungan fisik dan ruang yang nyata yang mencangkup aktivitas konsumen seperti warna, suara, cahaya, cuaca dan pengaturan ruangan. (2) Lingkungan sosial (Social Surrounding) yaitu pengaruh orang lain terhadap aktivitas konsumen, individu yang hadir selama proses konsumsi, yang meliputi faktor-faktor seperti: kehadiran orang lain, karakteristik orang-orang yang hadir pada situasi tersebut, peranan nyata orang-orang yang hadir, dan interaksi interpersonal. (3) Definisi tugas (Task Definition) yaitu alasan kebutuhan konsumen untuk membeli atau mengkonsumsi barang atau jasa. Dengan kata lain dapat juga dikatakan bahwa hal ini merupakan maksud atau prasyarat untuk memilih, berbelanja atau mendapatkan informasi mengenai pembelian umum atau spesifik. (4) Waktu (Time) adalah situasi yang dapat dispesifikasikan kedalam unit waktu dari situasi, misal kejadian tertentu ketika perilaku pembelian terjadi (hari, bulan, musim). Waktu juga dapat diukur secara relatif pada kejadian di masa lalu atau di masa mendatang, misal waktu ketika
pembelian terakhir. (5) Pernyataan anteseden (Antecendent state) merupakan perasaan (mood) sementara, seperti rasa cemas atau gembira atau kondisi yang dibawa konsumen ke dalam situasi, seperti kondisi pada saat memegang uang tunai. Keterbatasan pilihan konsumen dalam pengambilan keputusan untuk pembelian dan pengkonsumsian suatu produk akan dipengaruhi oleh faktor-faktor
situasi.
Beberapa tipe situasi yang mempengaruhi keputusan konsumen menurut Assael (2004, 122) dibedakan dalam 3 jenis yaitu:
(1) Situasi konsumsi merupakan salah satu situasi yang mana konsumen menggunakan merek atau kelompok produk tertentu. Pemasar harus mengidentifikasikan situasi konsumsi yang relevan terhadap kategori produk
(2) Situasi pembelian merupakan situasi yang mempengaruhi keputusan konsumen. Situasi ini dapat dipengaruhi oleh strategi pemasaran dengan mendesain lingkungan di dalam toko. Situasi ini dibagi menjadi tiga bagian, yaitu: pertama, situasi di lingkungan toko berkaitan dengan tata letak barang di rak, suasana ramai di dalam toko, ketersediaan produk, perubahan harga, dan pelayanan pramuniaga. Kedua, situasi pembelian yang berkaitan dengan tujuan. Situasi ini menyangkut tujuan konsumen dalam berbelanja barang-barang yang akan dikonsumsi, misal konsumen membeli barang untuk hadiah atau dirinya sendiri, berbelanja bersama keluarga dan teman atau berbelanja sendiri. Ketiga, situasi pembelian berkaitan dengan mood, misal perasaan gembira atau sedih. Situasi ini sulit diantisipasi oleh pemasar.
(3) Situasi komunikasi merupakan setting dimana konsumen tidak menyembunyikan informasi terhadap orang lain. Situasi ini berkaitan dengan perspektif waktu, ditunjukkan oleh aktivitas yang dilakukan oleh konsumen. Situasi ini dapat terjadi dari orang ke orang atau impersonal misalnya dari iklan atau informasi di dalam toko.
Situasi merupakan keseluruhan faktor pada suatu waktu dan tempat tertentu dari pengamatan yang tidak berasal dari pengetahuan personal (intraindividu) dan atribut rangsangan (pilihan alternatif), serta mempunyai pengaruh yang terlihat dan sistematis terhadap perilaku saat ini.
Materialisme
Richin dan Dawson (1992) berpendapat bahwa, materialisme adalah salah satu trait kepribadian yang berkaitan dengan kepemilikan barang atau materi. Trait ini membedakan seseorang dari orang lain terkait dengan apakah materi merupakan sesuatu yang penting dan memberinya identitas ataukah hanya merupakan sesuatu yang sekunder. Peneliti yang menguji skala materialisme menemukan beberapa karakteristik berikut: (1) individu menekankan nilai pada materi dan menunjukkan kepemilikan; (2) umumnya bersifat mementingkan diri sendiri; (3) mencari gaya hidup yang penuh dengan kepemilikan (ingin memiliki banyak barang); (4) banyaknya materi yang dimiliki tidak memberinya kepuasan pribadi yang lebih besar (kepemilikan tidak menyebabkan dirinya menjadi lebih bahagia).
Studi Dittmar (2005) menun-jukkan bahwa, nilai materialisme yang dimiliki oleh individu menyebabkan seseorang memiliki kecenderungan untuk melakukan pembelian secara kompulsif. Keinginan untuk mendapatkan barang dipersepsi menjadikan seseorang memiliki kepuasan dan kualitas hidup tanpa mempertimbangkan konsekuensi negatif (Belk, 1985). Konsekuensi negatif bisa berupa risiko sosial, keuangan, psikis, bahkan fisik. Bagi individu, kepemilikan materi menjadi aspek terpenting dalam kehidupannya. Makin kuat nilai materialisme yang dimiliki oleh seseorang, makin kuat kecenderungan untuk tidak dapat menunda suatu pembelian. Individu dengan nilai materialisme yang kuat menganggap bahwa dengan melakukan pembelian barang dengan segera akan memuaskan hidupnya. Kepemili-kan terhadap benda menjadi sesuatu yang dipuja. Nilai materialisme yang kuat menyebabkan individu merasakan tidak berarti bila tidak memiliki suatu barang.
Menurut Richin dan Dawson (1992) konsep ini terdiri dari tiga dimensi, yaitu : kesuksesan, sentralitas dan kebahagiaan.


PENELITIAN TERDAHULU
Hasil penelitian Koran, dkk., (2006) terh adap 2.500 orang responden mempertegas bahwa fenomena pembelian kompulsif sudah sedemikian parah terjadi pada masyarakat baik pada kaum wanita maupun kaum pria bahkan pembelian kompulsif akan menyebabkan penderitaan psikologis dan dampak serius pada kehidupan individu seperti berhutang (Dittmar, 2005). Pembelian kompulsif terjadi karena ketegangan psikologi yang menyebabkan meningkatnya keinginan seseorang untuk melakukan pembelian saat itu juga (Roberts dan Pirog III, 2004).
Kecenderungan pembelian kompulsif mengalami peningkatan selama sepuluh tahun terakhir (Neuner, dkk., 2005 dalam Xu, 2008). Peningkatan perilaku pembelian kompulsif dipicu oleh peranan materialisme (Dittmar, 2005). Materialisme merupakan tingkat dimana seseorang dianggap “materialistis” (Schiffman dan Kanuk, 2007: 117). Konsumen dengan nilai materialisme yang tinggi menyakini bahwa pendapatan dan benda materi sangatlah penting untuk hidup mereka yang selanjutnya menjadi sebuah indicator dari kesuksesan dan diperlukan untuk mencapai kepuasan dalam hidup bahkan tingkat konsumsi yang tinggi akan membuat mereka merasa lebih bahagia. Konsumen yang materialistis menganggap kepemilikan barang dan materi sebagai pusat dari kehidupan mereka, menilai kesuksesan sebagai kualitas harta seseorang dan melihat harta sebagai bagian yang penting dalam mencapai kebahagian dan kesejahteraan dalam hidup (Fitzmaurice, 2008). Seseorang yang materialistis cenderung untuk menganggap berbelanja sebagai tujuan hidup utama sama halnya dengan mencapai kebahagian dan kepuasan dalam hidup (Xu, 2008). Seseorang yang materalistis sangatlah tertarik pada produk pakaian sehingga seseorang dengan materialisme tinggi cenderung akan melakukan pembelian kompulsif yang tinggi pada produk fashion (Browne dan Kaldenberg, 1997; Yurchisin dan Johnson, 2004 dalam O’Cass, 2004).
Hal tersebut juga sependapat dengan penelitian yang dilakukan oleh Krugger (1998 dalam Park dan Burn, 2005) yang menyatakan bahwa orang yang berperilaku kompulsif cenderung untuk sangat peduli akan penampilannya dan selalu terlibat dalam pencaharian sesuatu yang tanpa henti terutama terkait dengan pakaian. Kecenderungan seseorang untuk memiliki penampilan yang menarik menyebabkan orang tersebut sering melakukan pembelian tanpa direncanakan untuk produk fashion. Hal ini diperparah lagi saat seseorang secara financial memiliki kemampuan untuk membeli produk tersebut. Salah satu indikasi kemampuan finansial adalah kepemilikan kartu kredit. Kartu kredit memberikan fasilitas kepada konsumen untuk mempermudah proses pembelian baik yang direncanakan maupun pembelian impulsif pada berbagai produk termasuk produk fashion. Selain itu, kartu kredit juga memberikan kemudahan bagi konsumen karena konsumen dapat mencicil tagihan yang dibebankan kepada konsumen dan juga memberikan jangka waktu yang lebih panjang bagi konsumen untuk membayar tagihan kartu kreditnya. Kartu kredit bahkan telah menjadi alat pembayaran barang dan jasa yang diterima secara luas dan sangat nyaman untuk digunakan dan menjadi alat transaksi yang patut dimiliki oleh semua orang bahkan pengguna kartu kredit bisa membelanjakan uang masa depannya hari ini juga (Lie, dkk., 2010). Hal ini menunjukkan bahwa perilaku belanja kompulsif pada produk fashion akan menjadi lebih tinggi apabila difasilitasi oleh
kepemilikan kartu kredit.
Penelitian yang dilakukan oleh Park dan Burns (2005) menemukan bahwa penggunaan kartu kredit oleh masyarakat Korea dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan peningkatan yang dramatis. Bahkan pada akhir tahun 2002, terdapat lebih dari 100 juta kartu kredit dikeluarkan oleh perusahaan penerbit kartu kredit karena konsumen lebih memilih membayar menggunakan kartu kredit (Kim, 2002 dalam Park dan Burns, 2005). Hal yang serupa juga terjadi di Indonesia. Peningkatan jumlah peredaran kartu kredit ternyata diiringi dengan peningkatan transaksi dengan kartu kredit, seperti yang ditunjukkan pada Lampiran 1 (www.bi.go.id). Di Jakarta berdasarkan pengamatan perilaku belanja pengguna kartu kredit sebuah bank, 57 persen transaksi disumbangkan dari pembelanjaan pakaian (fashion), sepatu, dan aksesori. Data pada tahun 2009 ini menunjukkan belanja kartu kredit untuk fashion menduduki ranking pertama, diikuti oleh makanan dan minuman, peralatan elektronik, dan sisa porsi lainnya diberikan untuk produk-produk yang sifatnya jarang digunakan (www.female.kompas.com).
HIPOTESIS
Konsumen yang banyak melakukan pembelian secara spontan dan memutuskan secara mendadak atau impulsif di dalam toko ataupun pusat perbelanjaan, akan cenderung menunjukan perilaku pembelian kompulsif (Schiffman dan Kanuk, 2007: 128). Perilaku pembelian kompulsif dapat terjadi pada segala jenis produk, salah satu produk yang sering dibeli konsumen tanpa direncana adalah pakaian. Pakaian sebagai salah satu kebutuhan pokok manusia selain pangan dan papan mendapat porsi yang lebih banyak dibandingkan kategori produk lainnya. Penelitian ini berfokus pada produk pakaian karena pakaian merupakan salah satu kebutuhan primer dan pakaian merupakan sarana untuk menunjang penampilan atau sebagai identitas diri serta yang berhubungan dengan gaya hidup yang disebut sebagai fashion. Oleh karenanya, konsumen berusaha untuk selalu mengikuti mode produk-produk fashion yang selanjutnya akan berdampak pada perilaku konsumtif (O’Cass, 2004). Kecenderungan seseorang untuk memiliki penampilan yang menarik menyebabkan orang sering melakukan pembelian tanpa direncanakan untuk jenis produk fashion. Lebih lanjut, semakin tinggi tingkat pembelian impulsif akan berakibat pada kecenderungan pembelian kompulsif (Shoham dan Brencic, 2003). Keinginan untuk membeli produk fashion di suatu pusat perbelanjaan bisa muncul secara tiba-tiba karena berbagai alasan faktor situasional. Faktor situasional merupakan faktor eksternal yang muncul karena seseorang melakukan kontak dengan lingkungan dan produk yang nantinya dapat menyebabkan pembelian impulsif dan pembelian impulsif yang berulang akan menyebabkan terjadinya perilaku pembelian kompulsif (Mihic dan Kursan, 2010). Faktor situsional membuat konsumen melakukan pengambilan keputusan di dalam toko pada saat itu juga (Gor, 2002). Berdasarkan uraian tersebut maka dapat diajukan hipotesis sebagai berikut:
H1: Faktor situasional berpengaruh positif dan signifikan terhadap perilaku pembelian kompulsif.
Pembelian kompulsif dewasa ini menjadi salah satu topik yang menarik bagi sejumlah peneliti dibidang konsumsi maupun bidang pemasaran karena dianggap sebagai akibat dari materialisme dan dampak buruk dari konsumerisme. Dari penelitian ditemukan bahwa materialisme mempengaruhi perilaku pembelian kompulsif (O’Guinn dan Faber, 1989, Dittmar, dkk., 1996; Mowen and Spears, 1999; Yurchisin and Johnson, 2004 dalam Jonshon, 2009). Seseorang yang materialis memiliki keterlibatan yang tinggi pada produk pakaian (Browne dan Kaldenberg, 1997; Yurchisin dan Johnson, 2004 dalam Johnson dan Attman, 2009). Oleh karenanya, sangatlah beralasan bahwa seseorang dengan nilai materialistik yang tinggi akan memiliki tingkat pembelian kompulsif pakaian yang tinggi.
H2: Materialisme berpengaruh positif dan signifikan terhadap perilaku pembelian kompulsif.
Penelitian yang dilakukan oleh Park dan Burns (2005) yang merupakan pengembangan dari penelitian Gutman dan Mills (1982) menambahkan konstruk penggunaan kartu kredit sebagai konstruk yang meningkatkan pembelian kompulsif. Dalam penelitiannya, Park dan Burns (2005) menyatakan bahwa pembelian kompulsif akan menjadi lebih tinggi saat seorang individu memiliki kemampuan secara finansial dalam bentuk kepemilikan kartu kredit. Beberapa studi telah mengidentifikasi bahwa kartu kredit yang memainkan peran penting yang mendorong untuk pembelian kompulsif sebagai akibat dari tekanan social dan kurangnya kontrol diri (Baumeister, 2000; Roberts dan Jones, 2001 dalam Rutherford, 2008). Hal ini menunjukkan bahwa perilaku belanja kompulsif pada produk fashion akan menjadi lebih tinggi dengan penggunaan kartu kredit. Seseorang yang materialistis adalah seorang pemboros dan memiliki keinginan yang kuat untuk berhutang (Fitzmurice, 2006). Seseorang yang menganut nilai materialisme cenderung untuk menganggap harta, materi sebagai tolok ukur status dalam masyarakat dan produk fashion dianggap sebagai salah satu parameternya. Konsumen yang menaruh perhatian tinggi terhadap produk fashion cenderung menggunakan kartu kredit lebih tinggi karena mungkin mereka tidak dapat membeli tanpa kartu kredit dan mereka diberi kemudahan untuk “beli sekarang, bayar kemudian” (Richin, 1994 dan Rindfleisch, dkk, 1997 dalam Park dan Burn, 2005). Kartu kredit mempermudah proses pembelian tanpa direncanakan pada produk fashion. Dengan kata lain, perilaku pembelian impulsif dan kompulsif akan meningkatkan sejalan dengan peningkatan penggunaan kartu kredit, karena kartu kredit digunakan sebagai alternatif pembayaran non tunai seperti yang terjadi pada mahasiswa di Korea dan Amerika (Park dan Forney, 2004). Berdasarkan uraian tersebut maka dapat diajukan hipotesis sebagai berikut:
H3: Penggunaan kartu kredit berperan signifikan sebagai variabel pemoderasi yang memperkuat pengaruh materialisme terhadap perilaku pembelian kompulsif.
METODOLOGI PENELITIAN
Jenis Penelitian
Penelitian ini termasuk dalam kategori riset eksplanatori dengan tujuan utamanya adalah memperoleh penjelasan mengenai hubungan sebab-akibat (kausal). Malhotra (2007 : 85) menyatakan bahwa riset kausal sebagai salah satu jenis riset konklusif yang dapat dimanfaatkan untuk maksud-maksud sebagai berikut: (1) memahami variabel mana yang mempengaruhi dan variabel mana yang merupakan variabel akibat pada fenomena tertentu, dan (2) menentukan sifat hubungan antara variabel independen dan pengaruhnya yang akan diperkirakan.

Variable Penelitian
Indentifikasi Variable
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi pengaruh faktor situasional pusat perbelanjaan dan materialisme konsumen terhadap perilaku pembelian kompulsif dimana penggunaan kartu kredit merupakan variabel moderasi dalam hubungan ini. Berdasarkan pokok permasalahan dan hipotesis yang diajukan, variabel-variabel dalam analisis ini dapat diidentifikasi secara garis besar sebagai
berikut :
1). Variabel independen (X)
Seluruh indikator yang mengidentifikasi variabel faktor situasional diadopsi dari dari penelitian Mihic dan Kursan (2010) yang telah dimodifikasi dan disesuaikan dengan konteks penelitian yang disajikan lebih rinci. Sedangkan, seluruh indikator yang mengidentifikasi variable materialisme diadopsi dari penelitian Richins dan Dawson, 1994 dalam Schiffman dan Kanuk, 2007: 192 yang telah dimodifikasi dan disesuaikan dengan konteks penelitian yang disajikan lebih rinci.
2). Variabel dependen (Y)
Variabel dependen dalam penelitian yaitu: perilaku pembelian kompulsif. Seluruh indikator yang mengidentifikasi variabel perilaku pembelian kompulsif diadopsi dari penelitian Faber dan O’Guinn, 1992 dalam Shoham dan Brencic, 2003; Roberts dan Pirog III, 2004; Park dan Burn, 2005 yang telah dimodifikasi dan disesuaikan dengan konteks penelitian yang disajikan lebih rinci
3). Variabel moderasi (Z)
Variabel moderasi dalam penelitian yaitu: penggunaan kartu kredit. Seluruh indikator yang mengidentifikasi variabel penggunaan kartu kredit diadopsi dari penelitian Roberts dan Jones, 2001; Park dan Burn, 2005 yang telah dimodifikasi dan disesuaikan dengan konteks penelitian yang disajikan lebih rinci
Definisi operasional variabel
(a) Faktor situasional (X1), adalah faktor-faktor eksternal yang berasal dari lingkungan berbelanja ketika konsumen tertarik akan rangsangan visual tertentu.
1) Saya sering melakukan pembelian yang tidak terencana (X1.1) adalah perilaku seseorang yang sering melakukan pembelian diluar daftar belanja yang direncanakan.
2) Saya berbelanja lebih banyak daripada yang direncanakan sebelumnya ketika berbelanja dengan teman (X1.2) adalah perilaku seseorang yang melakukan pembelian lebih banyak dari yang direncanakan sebelumnya ketika berbelanja dengan teman.
3) Pengaturan toko yang menarik membuat saya berbelanja diluar rencana sebelumnya (X1.3) adalah perilaku seseorang yang keputusan pembeliannya terpengaruh oleh pengaturan barang di dalam toko.
4) Pramuniaga yang ramah membuat saya membeli produk diluar rencana sebelumnya (X1.4) adalah perilaku pembelian seseorang yang dipengaruhi oleh pelayanan yang diberikan oleh pramuniaga.
5) Alunan musik membuat saya berbelanja diluar rencana sebelumnya (X1.5) adalah perilaku pembelian seseorang yang terpengaruh oleh alunan musik di dalam pusat perbelanjaan.
6) Aroma ruangan yang harum membuat saya diluar rencana sebelumnya (X1.6) adalah perilaku pembelian seseorang yang terpengaruh oleh aroma ruangan yang harum.
7) Lokasi pusat perbelanjaan yang mudah dijangkau merangsang saya untuk berbelanja (X1.7) adalah perilaku seseorang yang melakukan pembelian karena lokasi pusat perbelanjaan yang strategis dan mudah dijangkau misal berada di pusat kota, dekat dengan rumah atau dekat dengan kantor.
8) Kegiatan promosi merangsang saya untuk melakukan pembelian diluar rencana sebelumnya (X1.8) adalah perilaku seseorang yang melakukan pembelian karena terpengaruh dengan promosi yang dilakukan oleh pusat perbelanjaan misal potongan harga, beli satu gratis satu, iklan spanduk, banner, iklan di media massa dan sebagainya.
9) Display yang menarik merangsang saya untuk melakukan pembelian diluar rencana sebelumnya (X1.9) adalah perilaku pembelian seseorang yang terpengaruh karena display atau pajangan yang menarik.
10) Kemasan produk yang menarik merangsang saya untuk melakukan pembelian diluar rencana sebelumnya (X1.10) adalah perilaku pembelian seseorang dalam membeli produk fashion terpengaruh oleh kemasan yang menarik.
11) Penempatan produk yang mudah dijangkau mempengaruhi saya untuk melakukan pembelian diluar rencana sebelumnya (X1.11) adalah perilaku pembelian seseorang dalam membeli produk fashion terpengaruh oleh kemudahan dalam menjangkau penempatan produk fashion.
12) Merek yang terkenal merangsang saya untuk melakukan pembelian diluar rencana sebelumnya (X1.12) adalah perilaku pembelian seseorang yang dipengaruhi oleh karena ketertarikanya akan suatu merek fashion yang sudah familiar atau dikenal sebelumnya.
(b) Materialisme (X2) yaitu terdiri atas tiga dimensi yaitu:
(1). Dimensi pentingnya harta dalam hidup seseorang/ acquisition centrality (X3) adalah persepsi seseorang yang menganggap bahwa harta benda sangatlah penting dalam kehidupan seseorang dan harta ditempatkan sebagai posisi sentral atau utama dalam kehidupan seseorang.
1) Saya sering membeli sesuatu yang tidak saya butuhkan (X3.1) adalah perilaku seseorang yang menggunakan uangnya untuk membeli barang-barang yang tidak dibutuhkan dalam hidupnya.
2) Saya menyukai kemewahan (X3.2) adalah adalah perilaku seseorang yang menyukai kemewahan dalam hidup.
3) Membeli sesuatu memberikan kesenangan bagi saya (X3.3) adalah perasaan bahagia seseorang apabila mampu membeli barang yang diinginkannya dalam hal ini produk fashion.
(2) Dimensi kepemilikian merupakan ukuran kesuksesan hidup/ possession defined success(X4) adalah persepsi seseorang bahwa kepemilikan harta benda merupakan suatu ukuran untuk menilai kesuksesan sesorang. Semakin banyak harta benda yang dimiliki, semakin sukses pula orang tersebut.
1) Saya sangat mengagumi orang lain yang memiliki barang-barang yang mahal (X4.1) adalah perilaku seseorang yang mengagumi orang lain yang memiliki barang-barang yang mahal yang dijadikan sebagai salah satu tolok ukur keberhasilan seseorang dalam hidup.
2) Jumlah materi yang dimiliki seseorang merupakan ukuran sebuah kesuksesan (X4.2) adalah persepsi seseorang yang menganggap bahwa kesuksesan dalam hidup ditentukan oleh kepemilikan harta benda.
3) Saya senang memiliki sesuatu yang dapat membuat orang lain terkesan (X4.3) adalah perasaan senang dikarenakan memiliki barang yang mampu membuat orang lain terkesan.
(3) Dimensi kepemilikan dan harta benda merupakan sumber kebahagian acquisition as the pursuit of happiness (X5) adalah persepsi bahwa kepemilikan harta benda merupakan hal yang sangat penting dalam mencapai kebahagiaan, kesejahteraan dan kepuasan dalam hidup. Semakin banyak harta benda yang dimiliki, seseorang akan semakin berbahagia.
1) Memiliki barang yang saat ini belum saya miliki membuat saya bahagia (X5.1) adalah persepsi seseorang yang menganggap bahwa hidupnya akan lebih bahagia apabila mampu memiliki segala barang yang belum dimiliki.
2) Membeli banyak barang membuat saya bahagia (X5.2) adalah persepsi seseorang bahwa hidupnya akan lebih bahagia apabila memiliki kemampuan (uang) untuk membeli barang dan materi .
3) Saya merasa resah saat tidak sanggup membeli barang yang saya sukai (X5.3) adalah persepsi seseorang bahwa akan mengalami kegelisahan apabila tidak dapat membeli harta benda yang diinginkan.
(c) Penggunaan kartu kredit (Z) adalah satu alat pembayaran dengan cara kredit, di mana konsumen dapat berbelanja meskipun pada saat itu tidak mempunyai uang.
1) Tagihan kartu kredit saya mencapai batas kredit maksimum (Z1.1) adalah perilaku seseorang yang menggunakan fasilitas kartu kreditnya sampai dengan batas maksimum yang diberikan oleh pihak penerbit kartu kredit.
2) Saya tidak khawatir dengan harga produk fashion ketika menggunakan kartu kredit (Z1.2) adalah perilaku seseorang yang tidak merasa khawatir akan harga produk fashion ketika menggunakan kartu kredit yang memberikan fasilitas untuk membelanjakan uang masa depannya
sekarang.
3) Saya sering melakukan pembelian tanpa direncanakan ketika berbelanja produk fashion dengan menggunakan kartu kredit(Z1.3) adalah ketika berbelanja produk fashion, perilaku pembelian tanpa direncanakan dengan menggunakan kartu kredit menjadi lebih tinggi.
4) Saya berbelanja produk fashion lebih banyak ketika menggunakan kartu kredit (Z1.4) adalah perilaku seseorang dalam berbelanja produk fashion menjadi lebih banyak baik secara nominal maupun volume ketika menggunakan kartu kredit.
5) Saya sering berbelanja produk fashion melebihi batas kredit yang saya dapatkan (Z1.5) adalah perilaku seseorang dalam melakukan pembelian produk fashion melebihi batas kredit maksimum yang diperoleh dari bank penerbit.
6) Saya sering mengambil uang tunai menggunakan kartu kredit saya untuk berbelanja produk fashion (Z1.6) adalah perilaku seseorang yang sering menarik tunai dari kartu kredit dan selanjutnya digunakan untuk berbelanja produk fashion.
7) Saya menggunakan lebih dari satu kartu kredit (Z1.7) adalah perilaku seseorang memiliki dan menggunakan lebih dari satu kartu kredit.
d) Perilaku pembelian kompulsif (Y) yaitu suatu perilaku pembelian yang tanpa direncanakan dan dilakukan secara berulang-ulang pada produk fashion akibat rasa ketagihan, bosan, tertekan terhadap pakaian pesta, pakaian kantor, kaos, celana, rok, baju, dan lain sebagainya.
1) Saat memilki uang lebih pada akhir bulan, saya sering menghabiskan uang tersebut untuk membeli produk fashion (Y1.1) adalah perilaku seseorang yang menghabiskan sisa uangnya untuk membeli produk fashion saat memiliki uang lebih pada akhir bulan.
2) Orang lain akan heran jika mereka tahu kebiasaan saya dalam berbelanja produk fashion yang saya inginkan (Y1.2) adalah perasaan seseorang bahwa perilaku belanja produk fashionnya mampu membuat orang lain merasa heran.
3) Saya sering membeli produk fashion meskipun saat ini belum memiliki kemampuan membayar (Y1.3) adalah perilaku seseorang yang saat ini membeli produk fashion dengan cara bukan tunai salah satunya dengan menggunakan kartu kredit.
4) Saya berusaha mencari pinjaman uang dari orang lain demi membeli produk fashion (Y1.4) adalah perilaku seseorang yang rela meminjam uang dari orang lain untuk membeli produk fashion yang diinginkan.
5) Saya membeli produk fashion agar saya merasa senang (Y1.5) adalah perilaku seseorang yang merasa senang setelah melakukan pembelian produk fashion.
6) Saya merasa terganggu ketika tidak berbelanja produk fashion yang saya inginkan (Y1.6) adalah perasaan seseorang yang merasa gelisah ketika tidak berbelanja produk fashion yang diinginkan.
7) Saya sering melakukan pembayaran kartu kredit dalam jumlah minimum untuk produk fashion yang saya beli (Y1.7) adalah perilaku seseorang yang hanya melakukan pembayaran minimum pada tagihan kartu kreditnya, biasanya berkisar antara 5-10 persen dari total tagihan.
PENGEMBANGAN HIPOTESIS
Hipotesis pertama mendukung bahwa faktor situasional berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap perilaku pembelian kompulsif. Hasil penelitian ini mendukung temuan Mihic dan Kursan (2010) yaitu factor situasional merupakan faktor eksternal yang muncul karena seseorang melakukan kontak dengan lingkungan dan produk yang nantinya dapat menyebabkan pembelian impulsif dan pembelian impulsif yang berulang akan menyebabkan terjadinya perilaku pembelian kompulsif.
Hipotesisi kedua mendukung bahwa materialisme berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap perilaku pembelian kompulsif. Hasil penelitian ini mendukung temuan O’Guinn dan Faber, 1989; Dittmar, dkk., 1996; Mowen and Spears, 1999; Yurchisin dan Johnson, 2004 (Jonshon, 2009) yang menyatakan bahwa materialisme mempengaruhi perilaku pembeli kompulsif. Seseorang yang
materialis memiliki keterlibatan yang tinggi pada produk pakaian (Browne dan Kaldenberg, 1997; Yurchisin dan Johnson, 2004 dalam Johnson dan Attman, 2009). Oleh karenanya, sangatlah beralasan bahwa seseorang dengan nilai materialistik yang tinggi akan memiliki tingkat pembelian kompulsif pakaian yang tinggi.
Hipotesis ketiga mendukung bahwa penggunaan kartu kredit sebagai pemoderasi yang memperkuat pengaruh materialisme terhadap perilaku pembelian kompulsif. Hasil penelitian ini mendukung penelitian Park dan Forney (2004) yang menemukan bahwa, perilaku pembelian kompulsif mahasiswa Korea dan Amerika meningkatkan sejalan dengan peningkatan penggunaan kartu kredit, karena kartu kredit digunakan sebagai alternatif pembayaran non tunai.
IMPLIKASI HASIL PENELITIAN
Implikasi Teoritis
Implikasi teoritis yang dapat diberikan dari temuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Temuan penelitian ini telah memperkuat penelitian-penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh beberapa peneliti seperti dukungan terhadap pengaruh baik secara langsung maupun dengan pemoderasi dari variabel-variabel yang ada, terutama mengenai variabel faktor situasional pusat
perbelanjaan, materialisme dan perilaku pembelian kompulsif para pengguna kartu kredit terhadap pembelian produk fashion
Implikasi Praktis
Implikasi praktis yang dapat diberikan dari temuan penelitian ini adalah sebagai berikut.
a. Kajian ini dapat dijadikan sebagai model dasar untuk melakukan evaluasi strategi penjualan oleh pemasar dengan memperhatikan pengaruh factor situasional, materialisme dan penggunaan kartu kredit, sehingga pihak pemasar produk fashion, manager pusat perbelanjaan maupun perusahaan penerbit kartu kredit dapat mengubah strategi ke arah yang lebih baik, dengan memaksimalkan indikator-indikator variabel faktor situasional, materialisme konsumen dan penggunaan kartu kredit.
b. Berdasarkan karekteristik responden, pihak pemasar produk fashion, manager pusat perbelanjaan maupun pihak penerbit kartu kredit dapat mengetahui konsumen yang lebih banyak melakukan pembelian kompulsif adalah wanita yang usianya berkisar antara 26-35 tahun, di mana pekerjaannya adalah karyawan BUMN/BUMD, dengan pengeluaran individu berkisar antara Rp 3.500.001-Rp 4.000.000,-. Pihak pemasar produk fashion, manager pusat perbelanjaan maupun pihak penerbit kartu kredit dapat mempengaruhi perilaku pembelian kompulsif konsumen dengan memperhatikan karakteristiknya. Lebih lanjut, pihak pemasar produk fashion, manager pusat-pusat perbelanjaan maupun perusahaan penerbit kartu kredit hendaknya dapat saling bekerjasama untuk memberikan perlakuan khusus bagi para pengguna kartu tidak hanya dari kalangan wanita, berusia 26-35 tahun, karyawan BUMN/BUMD, dengan pengeluaran individu berkisar antara Rp 3.500.001-Rp 4.000.000.


KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pembahasan bab-bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan sebagai berikut.
(1) Faktor situasional berpengaruh positif dan signifikan terhadap perilaku pembelian kompulsif. Ini berarti bahwa semakin baik faktor situasional maka semakin tinggi pula perilaku pembelian kompulsif konsumen.
(2) Materialisme berpengaruh positif dan signifikan terhadap perilaku pembelian kompulsif. Ini berarti bahwa konsumen yang semakin berorientasi pada materi akan meningkatkan perilaku pembelian kompulsifnya karena kuputusan konsumen untuk melakukan pembelian dilakukan untuk menunjang penampilannya.
(3) Penggunaan kartu kredit secara signifikan berperan sebagai pemoderasi yang memperkuat pengaruh antara materialisme terhadap perilaku pembelian kompulsif. Ini berarti bahwa kehadiran kartu kredit meningkatkan hubungan materialisme dengan perilaku pembelian kompulsif. Dengan adanya kartu kredit, keinginan untuk melakukan pembelian produk-produk fashion yang tidak terencana dapat dipermudah karena dapat dibayar dikemudian hari.

Dikutip dari jurnal :
1. unud-368-1898979481-bab 1-6.pdf
2. Prima Naomi – Iin Mayasari. Faktor Faktor Yang Mempengaruhi Siswa SMA Dalam Perilaku Pembelian Kompulsif: Perspektif Psikologi.