Selasa, 23 Oktober 2012

metode riset: analisis jurnal2


Nama : Tertiera .N. Azizah
Kelas   : 3EA18
NPM     : 19210435
Loyalitas Konsumen
Perangkap Loyalitas Pelanggan :  Sebuah Pemahaman Terhadap Noncomplainers Pada Seting Jasa
Titik Desi Harsoyo, SE, MSi
April, 2009

LATAR BELAKANG
Loyalitas pelanggan merupakan tujuan setiap penyedia jasa (service provider). Sudah menjadi kesepakatan umum di kalangan praktisi dan akademisi di bidang pemasaran, bahwa variabel tersebut lahir sebagai konsekuensi dari kepuasan pelanggan. Artinya, pelanggan yang puas akan loyal kepada penyedia jasa yang sama. Atau sebaliknya, pelanggan yang loyal selalu adalah pelanggan yang puas. Kedua variabel ini memiliki hubungan yang sangat kuat dan berbanding lurus. Artinya, jika kepuasan pelanggan meningkat maka loyalitas pelanggan juga akan meningkat, dan demikian sebaliknya.
Meskipun hampir dapat dipastikan bahwa pelanggan yang loyal adalah pelanggan yang puas, ada pertanyaan yang menarik untuk direnungkan kembali. Seberapa akuratkah kepuasan dalam membangun loyalitas? Apakah selalu benar bahwa di dalam konstrak loyalitas hanya terdiri dari pelanggan yang puas saja? Ataukah ada kelompok pelanggan tipe lain yang ikut pula berkontribusi terhadap pembentukan konstrak tersebut?
Memahami perilaku tertentu dari pelanggan akan memberikan pemahaman yang lebih jelas tentang kepuasan dan loyalitas mereka. Pelanggan yang tidak puas tampaknya tidak selalu menunjukkan perilaku yang sama. Sebagian dari mereka mungkin akan menyuarakan ketidakpuasan dengan mengajukan keluhan (complain), tetapi tidak sedikit pula dari mereka yang memilih untuk diam. Penanganan keluhan pelanggan akan berkaitan erat dengan pemulihan jasa (service recovery), sedangkan perilaku diam dari pelanggan yang tidak puas berhubungan erat dengan studi mengenai noncomplainers. Keluhan yang tidak disuarakan (unvoiced complaint) sesungguhnya merupakan opportuniy cost bagi organisasi untuk beberapa alasan:
1. Perusahaan akan kehilangan kesempatan untuk mengidentifikasi kegagalan dan menentukan sumber masalah Fornell dan Wernerfelt (1987 seperti dikutip oleh Voorhees et al. 2006).
2. Berpotensi mengakibatkan perpindahan merek (brand switching)(Richins 1987 seperti dikutip Voorhees et al. 2006).
3. Perusahaan gagal mengatasi masalah dan mempertahankan pelanggan (Hirschman, 1970 dalam Stephens dan Gwinner, 1998).
4. Merusak reputasi perusahaan yang ditimbulkan oleh negative word-of-mouth yang disampaikan oleh pelanggan tersebut kepada pihak lain.
5. Perusahaan gagal memperoleh feedback tentang kualitas produknya sehingga gagal pula melakukan perbaikan.

Sebagai respon terhadap semakin pentingnya manajemen penanganan keluhan bagi perusahaan, semakin banyak studi dilakukan untuk menginvestigasi karakteristik pelanggan yang mempengaruhi timbulnya keluhan. Dalam artikel empirisnya, Voorhees et al (2006) menyebutkan dua penelitian yang menghasilkan temuan penting. Singh pada tahun 1990 menemukan bahwa pelanggan yang sering mengajukan keluhan adalah pelanggan usia muda, berlatarbelakang pendidikan yang baik, dan relatif makmur. Sedangkan Richins pada tahun 1987 menemukan bahwa assertiveness, aggression, attitude dan social activity akan mempengaruhi perilaku mengeluh.
MASALAH DAN TUJUAN
Garret dan Meyers (1996 seperti dikutip oleh Susskin 2005) menjelaskan bahwa selama proses penyampaian jasa berlangsung, pelanggan dan penyedia jasa memiliki peran masing-masing. Di satu sisi, ketika membeli sebuah jasa, pelanggan akan membangun persepsi mengenai kualitas layanan yang diberikan oleh pihak penyedia jasa. Di sisi lain, penyedia jasa akan berusaha untuk mengidentifikasi persepsi pelanggan, dan jika terjadi, mencari penyebab ketidakpuasan pelanggan. Jika layanan yang diterima dari penyedia jasa ternyata tidak memenuhi harapan pelanggan, maka pelanggan akan kecewa. Sesungguhnya pelanggan yang kecewa memiliki hak untuk menyampaikan keluhan kepada penyedia jasa. Sebagai respon atas meningkatnya perhatian terhadap keluhan pelanggan, semakin banyak studi bertema keluhan. Tetapi sebagian besar porsi topik tersebut masih didominasi oleh studi literatur dan empiris tentang complainers. Dan masih sedikit studi yang mengeksplorasi kelompok pelanggan yang tidak puas tetapi tidak menyuarakan ketidakpuasannya. Atau yang disebut sebagai noncomplainers. Oleh karena itu kajian konseptual ini mencoba memberikan tambahan pemahaman mengenai noncomplainers. Bahkan lebih spesifik lagi, tentang noncomplainers yang tetap loyal pada penyedia jasa yang telah mengecewakan mereka. Memahami noncomplainers yang loyal akan membantu mengungkap misteri variabel kepuasan dan loyalitas pelanggan.
Complainers maupun noncomplainers adalah pelanggan yang tidak puas dengan kinerja penyedia jasa. Complainers menyuarakan kekecewaannya dan umumnya akan memperoleh pemulihan jasa (service recovery) dari pihak penyedia jasa, sedangkan noncomplainers adalah pelanggan yang tidak puas tetapi juga tidak menyatakan keluhannya. Selanjutnya noncomplainers terbagi lagi ke dalam dua kelompok. Pertama, noncomplainers yang tidak mengajukan keluhan dan langsung berpindah ke penyedia jasa yang lain. Kedua, noncomplainers yang tidak menyuarakan keluhannya dan memutuskan untuk tetap loyal kepada penyedia jasa. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah mengapa ada sebagian dari noncomplainers yang memutuskan untuk tetap loyal pada penyedia jasa yang telah gagal memenuhi harapan mereka, padahal mereka sesungguhnya memiliki kebebasan untuk memutuskan hubungan dengan penyedia jasa tersebut dan berpindah ke penyedia jasa lain yang lebih baik?
Melalui studi literatur tentang kepuasan dan ketidakpuasan, kegagalan dan pemulihan jasa, loyalitas pelanggan dan complainers maupun noncomplainers, tulisan ini mencoba untuk menjawab pertanyaan tersebut dalam seting jasa.
TUJUAN STUDI LITERATUR
Dengan memahami sikap maupun perilaku noncomplainers dalam seting jasa, studi literatur ini mencoba untuk:
1. Mengidentifikasi faktor-faktor yang sangat mungkin melatarbelakangi mengapa noncomplainers tetap memutuskan untuk loyal kepada penyedia jasa yang sudah pernah mengecewakan mereka.
2. Memberikan tambahan kajian literatur tentang noncomplainers di seting jasa dan sekaligus menyediakan referensi bagi penelitian selanjutnya.

METODOLOGI PENELITIAN
Oliver (1999) menyebutkan bahwa semula, penelitian tentang kepuasan pernah menjadi „raja dalam area pemasaran. Tetapi kemudian terjadi pergeseran posisi. Raja kemudian perlahan-lahan turun tahta dan digantikan oleh konsep baru. Diantaranya dinyatakan oleh Deming pada tahun 1986 bahwa „tidak lagi cukup hanya dengan memiliki pelanggan yang puas. Kemudian paradigma penelitian kembali bergeser ketika Jones dan Sasser pada tahun 1995 menyatakan bahwa „hanya semata-mata memuaskan pelanggan yang sesungguhnya memiliki kebebasan untuk memilih tidak lagi cukup untuk membuat mereka loyal. Ditambah lagi pernyataan Stewart pada tahun 1997 dalam artikelnya yang berjudul „A Satisfied Customer Isnt Enough menyebutkan bahwa asumsi „kepuasan dan loyalitas yang selalu bergerak seperti tandem tidaklah benar. Mengutip Bain & Company, Reichheld pada tahun 1996 (seperti dikutip oleh Oliver, 1999) menyebutkan bahwa di industri otomotif, 85% hingga 95% pelanggan menyatakan puas, tetapi hanya 30% sampai 40% saja yang benar-benar kembali. Paradigma terus bergeser. Mencari celah yang layak dipertanyakan dan dijawab. Bahkan sekarang ini kita bisa dengan berani mengeksplorasi konstrak loyalitas untuk menemukan jawaban atas pertanyaan „ada apa dengan loyalitas?, „loyalitas seperti apa yang telah diberikan pelanggan kepada penyedia jasa?
Dengan tetap optimis bahwa kepuasan masih menjadi prediktor paling kuat bagi loyalitas pelanggan, perlu dilakukan kaji-ulang untuk menjawab pertanyaan apakah loyalitas yang dicapai oleh penyedia jasa adalah loyalitas murni. Terlebih lagi jika sudah disadari bahwa noncomplainers yang tidak menyuarakan keluhannya ternyata ikut berpotensi menciptakan loyalitas.

Customer Satisfaction

Customers expectancy selalu menjadi variabel penting yang terlibat dalam diskusi tentang kepuasan pelanggan. Karena mendefinisikan kepuasan pelanggan harus dimulai terlebih dahulu dari variabel harapan pelanggan. Berkaitan dengan harapan pelanggan, Parasuraman et al. (1985 dalam Martín et al. 2000) menjelaskan bahwa harapan pelanggan bersifat dinamis, karena dapat berubah dari satu pelanggan ke pelanggan yang lain, dari situasi yang satu dengan situasi yang lain bagi individu yang sama, atau bahkan dapat bervariasi menurut atribut jasa. Akibatnya, pelanggan memiliki harapan yang berbeda-beda. Zeithaml et al (1993 dalam Martín et al. 2000) menyatakan bahwa harapan tersebut bertindak sebagai standar yang akan dibandingkan dengan pengalaman jasa yang sesungguhnya, dan kemudian perbandingan tersebut akan menghasilkan kepuasan maupun ketidakpuasan. Pada seting jasa, dalam confirmation-disconfirmation theory (Oliver 1980) disebutkan bahwa confirmation terjadi jika harapan sama dengan kinerja sesungguhnya dari penyedia jasa. Positive disconfirmation terjadi jika kinerja sesungguhnya lebih baik daripada harapan, sehingga menciptakan kepuasan pelanggan. Sedangkan negative disconfirmation terjadi ketika kinerja sesungguhnya lebih buruk dibandingkan harapan, sehingga mengarah pada ketidakpuasan.



Customer Loyalty

Perspektif tentang loyalitas pelanggan yang selama ini kita gunakan dalam penelitian dan kajian konseptual, ternyata telah mengalami banyak penyempurnaan dalam sejarah panjang literatur akademik. Di bidang pemasaran, sebagian akademisi mengaitkan loyalitas pelanggan dengan loyalitas merek (Copeland, 1923 dalam Homburg dan Giering 2001). Ada pula yang mengaitkannya dengan perilaku tertentu, yaitu pembelian berulang terhadap barang atau jasa tertentu pada periode waktu tertentu (Homburg dan Giering 2001). Akibatnya, pengukuran terhadap loyalitas pelanggan masih hanya berfokus pada proses pembelian merek tertentu (Brown, 1952; Churchill, 1942 dalam Homburg dan Giering 2001), proporsi pembelian terhadap merek tertentu (Brody dan Cunningham, 1968; Cunningham, 1956 dalam Homburg dan Giering 2001), probabilitas pembelian (Farley, 1964; Frank, 1962; Lipstein, 1959 dalam Homburg dan Giering 2001), mengkombinasikan beberapa perilaku tertentu (Frank et al, 1969; Tucker, 1964 dalam Homburg dan Giering, 2001).

Tipologi Loyalitas
Tipologi loyalitas pelanggan berdasarkan perspektif dua-dimensional. Loyalitas pelanggan terbagi menjadi empat: high (true) loyalty, latent loyalty, spurious loyalty dan low (or no) loyalty.
Pelanggan dengan loyalitas murni (true loyalty) memiliki ikatan sikap yang kuat dan melakukan patronasi berulang yang tinggi. Dalam seting jasa, berarti pelanggan yang memiliki loyalitas murni akan setia melakukan patronasi terhadap penyedia jasa yang sama dan tidak sensitif terhadap penawaran pesaing. Pelanggan yang berada pada kuadran latent loyalty menunjukkan tingkat patronasi yang rendah, meskipun memiliki komitmen attitudinal yang kuat terhadap penyedia jasa. Rendahnya tingkat patronasi bisa disebabkan oleh dua hal. Pertama, karena mereka tidak memiliki sumberdaya yang cukup untuk meningkatkan patronasi. Kedua, adalah karena harga, akses atau distribusi yang ditetapkan oleh penyedia jasa tidak cukup mendukung mereka untuk melakukan patronasi-ulang. Pelanggan yang sering melakukan pembelian meskipun tidak memiliki ikatan emosional dengan merek jasa atau penyedia jasa merupakan karakteristik pelanggan dengan loyalitas semu (spurious loyalty or artificial loyalty). Pelanggan kelompok ini bahkan sama sekali tidak menyukai merek atau penyedia jasa tertentu tetapi terus melakukan pembelian pada penyedia jasa yang sama. Tingginya patronasi yang mereka lakukan dapat dijelaskan oleh faktor-faktor seperti: kebiasaan membeli (habitual buying), insentif finansial, alasan kemudahan, kurang atau tidak adanya alternatif lain maupun faktor situasional individu. Terakhir, pelanggan yang memiliki ikatan attitudinal dan patronasi ulang yang sama-sama rendah berada pada low (or no) loyalty. Kelompok spurious loyalty dan low loyalty sangat rentan terhadap penawaran kompetitor.

Service Failure dan Service Recovery
Intangibility, inseparability, heterogeneity, perishability (Zeithmal 1985). Empat karakteristik unik yang dimiliki oleh jasa mengakibatkan kepuasan dan loyalitas pelanggan terhadap jasa menjadi lebih sulit untuk diprediksi dibandingkan barang. Ketika penyedia jasa tidak mampu menampakkan ketidaktampakan (tangible the intangibility) jasa, karyawan jasa gagal melakukan interaksi dua-arah dengan pelanggan, gagal menjamin konsistensi standar layanan dan tidak memenuhi permintaan pelanggan pada saat mereka membelinya, bahkan pada periode peak season sekalipun, maka tentu saja pelanggan akan kecewa dan tidak puas. Berbicara tentang kegagalan jasa tidak dapat dipisahkan dari pemulihan jasa (service recovery). Sebab ketika penyedia jasa gagal memberikan kinerja yang maksimal, maka sudah seharusnya mereka kemudian melakukan pemulihan jasa. Berdasarkan confirmation-disconfirmation theory, kegagalan jasa (service failure) terjadi ketika kinerja aktual penyedia jasa berada di bawah harapan pelanggan (Hoffman dan Bateson, 1997 dalam Hess et al. 2003). Sedangkan service recovery meliputi tindakan dan aktifitas yang dilakukan oleh penyedia jasa dan karyawannya untuk memperbaiki, mengganti kerugian dan memulihkan hilangnya pengalaman pelanggan (Bell dan Zemke, 1987; Gronroos, 1998 dalam Hess et al, 2003). Bentuk pemulihan jasa dapat bervariasi, misalnya pembayaran ganti rugi, diskon, meningkatkan layanan, memberikan barang atau jasa gratis, permintaan maaf dan pemahaman terhadap masalah (Kelley et al, 1993 dalam Hess et al, 2003). Diskusi tentang kegagalan jasa maupun pemulihan jasa sangat berkaitan erat dengan service encounter dimana pelanggan bertemu dan berinteraksi langsung dengan karyawan jasa. Dengan mengambil obyek penelitian restoran, Hess et al (2003) menginvestigasi tentang bagaimana pengaruh hubungan pelanggan-organisasi terhadap reaksi pelanggan ketika terjadi kegagalan dan pemulihan jasa. Jika hubungan pelanggan-organisasi jasa berjalan baik, maka akibat yang ditimbulkan oleh kegagalan jasa dapat diminimalkan oleh hubungan baik tersebut. Dan jika hubungan pelanggan-organisasi berjalan baik, maka pelanggan memiliki harapan yang rendah terhadap pemulihan jasa. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa hubungan baik antara pelanggan-organisasi ternyata dapat membantu melindungi organisasi jasa dari efek negatif yang diakibatkan oleh kegagalan jasa. Pelanggan yang memiliki harapan tinggi tentang kontinuitas hubungannya dengan organisasi jasa ternyata menunjukkan harapan pemulihan yang lebih rendah, dan pada gilirannya akan menyebabkan tingginya tingkat kepuasan terhadap kinerja penyedia jasa setelah pemulihan. Dengan kata lain, pelanggan yang memiliki hubungan baik dengan penyedia jasa pada umumnya akan memiliki tingkat toleransi yang lebih tinggi terhadap kegagalan jasa.

Customer Complaint dan Complaint Handling
Saat ini, complaint handling menjadi topik yang semakin diminati dalam area pemasaran jasa. Semakin banyak organisasi yang mendukung pelanggan mereka untuk mengajukan keluhan jika tidak puas (East 2000). Penyampaian keluhan oleh pelanggan memberikan benefit bagi organisasi, antara lain: organisasi memiliki kesempatan untuk mengatasi ketidakpuasan, mengurangi komentar negatif yang disampaikan oleh pelanggan pada pihak ketiga, memperoleh informasi pasar yang bermanfaat dan sekaligus mempertahankan pelanggan (Gilly dan Hansen 1985 seperti dikutip oleh East 2000). The Economist (2000) seperti dikutip oleh Maxham dan Netemeyer (2002) melaporkan bahwa keluhan pelanggan meningkat tajam. Meskipun riteler tidak mungkin mengeliminasi keluhan, tetapi mereka dapat belajar bagaimana mengelola keluhan pelanggan secara efektif. Bahkan banyak perusahaan yang menganggap complaint handling sebagai sebuah investasi untuk meningkatkan komitmen pelanggan dan untuk membangun loyalitas pelanggan (Tax et al. 1998). Complaint handling akan menentukan bentuk pemulihan jasa yang seharusnya diberikan kepada pelanggan yang tidak puas. Berkaitan dengan siapa yang bertanggungjawab melakukan pemulihan jasa, tidak mengherankan jika banyak studi diarahkan untuk mengeksplorasi elemen-elemen di dalam organisasi yang mendukung kontak antara karyawan dan pelanggan. Bell dan Luddington (2006) meneliti perilaku karyawan jasa sehubungan dengan bagaimana mereka mengatasi keluhan. Dengan menginvestigasi pengaruh variabel afektifitas positif, afektifitas negatif, komitmen karyawan terhadap pelanggan dan menggunakan variabel training sebagai variabel kontrol, ditemukan bahwa keluhan pelanggan menimbulkan dampak negatif terhadap komitmen karyawan jasa. Selain itu, keluhan pelanggan mungkin akan menimbulkan peran konflik. Perilaku karyawan yang diharapkan oleh pelanggan dan organisasi jasa seringkali tidak searah. Karyawan jasa seringkali harus berada pada posisi tidak nyaman, misalnya ketika harus menyampaikan kepada pelanggan bahwa menu pesanan tidak tersedia karena keterbatasan persediaan barang. Atau ketika karyawan harus menyampaikan penolakan retur barang kepada pelanggan.
Noncomplainers yang tetap loyal pada penyedia jasa yang lama

Seperti disebutkan sebelumnya, noncomplainers adalah pelanggan yang tidak puas dan tidak menyuarakan ketidakpuasan mereka. Kajian konseptual ini mengeksplorasi noncomplainers menjadi dua kelompok. Pertama: noncomplainers yang berpindah ke penyedia jasa lain. Kedua: noncomplainers yang tetap loyal pada penyedia jasa semula. Tidak seperti pelanggan yang mengalami pemulihan jasa dari penyedia jasa maupun complainers yang menerima pemulihan jasa yang memuaskan, noncomplainers tidak menerima pemulihan jasa. Oleh karena itu noncomplainers memperoleh pengalaman jasa yang negatif (Voorhees et al 2006).

KESIMPULAN dan PENUTUP
Studi literatur ini mengaitkan loyalitas pelanggan dengan perilaku noncomplainers dalam seting jasa. Noncomplainers adalah pelanggan yang tidak puas dengan kinerja penyedia jasa, tetapi tidak menyampaikan keluhan. Selanjutnya studi literatur ini mencoba memperluas konsep. Pertama, noncomplainers dikelompokkan lagi menjadi dua, yaitu noncomplainers yang berpindah ke penyedia jasa yang lain dan noncomplainers yang memutuskan untuk tetap loyal kepada penyedia jasa yang sudah mengecewakannya. Sementara pada literatur sebelumnya tentang kemungkinan perilaku noncomplainers yaitu voice, exit dan negative word-of-mouth, studi literatur ini mencoba mengajukan proposisi tentang kemungkinan lain yaitu loyal. Pembuktian variabel yang diduga menjadi alasan mengapa loyal-noncomplainers tetap setia, tentu saja memerlukan studi lanjutan. Terakhir, studi literatur ini diharapkan dapat memberikan pencerahan munculnya ide baru tentang noncomplainers bagi studi selanjutnya.

Tidak ada komentar :

Posting Komentar