Minggu, 27 Januari 2013

Tugas Metode Riset: Jurnal Ilmiah 1


NAMA : Tertiera N. Azizah
KELAS : 3EA18
NPM : 19210435

KOMPULSIF KONSUMEN

Abstrak

Studi ini bertujuan untuk memahami faktor kompulsif dan materialism pada konsumen Indonesia. Pentingnya kajian ini karena dapat menggambarkan fenomena yang sering terjadi di masyarakat. Di satu sisi dampak positif dari perilaku pembelian kompulsif dalam jangka pendek adalah kepuasan yang langsung dapat dirasakan dari aktivitas pembelian tersebut. Compulsive buyers tidak melakukan pembelian semata-mata hanya untuk mendapatkan suatu produk tertentu, melainkan lebih kepada hasrat untuk mencapai kepuasan melalui proses pembelian itu sendiri. Hasil studi diharapkan dapat memberikan manfaat bagi beberapa pihak yakni manfaat teoritis dan praktis.


PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Dewasa ini, perilaku pembelian semakin komplek dimana seringkali konsumen membeli produk tidak sebagai rutinitas melainkan sebagai pembelian berdasarkan situasi yang terjadi pada saat itu. Keputusan di bidang pemasaran dimulai dengan menganalisa perilaku pembelian dalam situasi yang tepat, sehingga dapat mempengaruhi kesediaan konsumen untuk membeli barang dan jasa yang ditawarkan, dengan kata lain bahwa faktor situasi dapat mempengaruhi pembelian konsumen terhadap kategori produk tertentu (Anic dan Radas, 2006 dalam Mihic dan Kursan, 2010). Keinginan membeli suatu produk dapat datang secara tiba-tiba karena berbagai alasan situasional (Sutisna, 2001: 156).
Terdapat lima karakteristik pengaruh situasional yang dapat mempengaruhi perilaku pembelian konsumen, yaitu: pertama, lingkungan fisik (physical surrounding) merupakan fitur situasi yang paling terlihat. Lingkungan fisik ini meliputi lokasi, dekorasi, suara, aroma, pencahayaan, cuaca, serta konfigurasi barang dagangan atau material lain yang berada di sekeliling rangsangan produk. Kedua, lingkungan sosial (social surrounding) merupakan individu yang hadir selama proses konsumsi, yang meliputi faktor-faktor seperti: kehadiran orang lain, karakteristik orang-orang yang hadir pada situasi tersebut, peranan nyata orang-orang yang hadir, dan interaksi interpersonal. Ketiga, pespektif waktu (temporal perspective) merupakan dimensi situasi yang dapat dispesifikasikan kedalam unit waktu dari situasi, misal kejadian tertentu ketika perilaku pembelian terjadi (hari, bulan, musim). Waktu juga dapat diukur secara relatif pada kejadian di masa lalu atau di masa mendatang, misal waktu ketika pembelian terakhir. Keempat, definisi tugas (task definition) merupakan alasan mengapa aktivitas konsumsi oleh konsumen berlangsung, dan dapat dikatakan sebagai tujuan atau sasaran yang dimiliki konsumen dalam situasi tertentu. Dengan kata lain. dapat juga dikatakan bahwa hal ini merupakan maksud atau prasyarat untuk memilih, berbelanja atau mendapatkan informasi mengenai pembelian umum atau spesifik. Kelima, pernyataan anteseden (antecendent state) merupakan perasaan (mood) sementara, seperti rasa cemas atau gembira atau
kondisi yang dibawa konsumen ke dalam situasi, seperti kondisi pada saat memegang uang tunai (Belk, 1975 dalam Mihic dan Kursan, 2010). Situasi dalam toko yang menarik diharapkan dapat merangsang perilaku pembelian, khususnya yang mengarah pada situasi pembelian impulsif (Abratt dan Goodey, 1990 dalam Jalan, 2006). Pembelian impulsif merupakan bagian dari pola pembelian konsumen dimana keputusan pembelian dilakukan pada saat berada didalam toko dan pada saat itu konsumen mengalami perasaan tiba-tiba, merasakan perasaan yang sangat kuat dan berkeras hati terhadap dorongan emosional untuk membeli sesuatu dengan segera (Belk, 1995 dalam Dittmar, 2005). Perilaku pembelian impulsif yang dilakukan secara berulang menyebabkan orang berperilaku kompulsif. Pembelian kompulsif merupakan proses pengulangan yang sering berlebihan dalam berbelanja yang dikarenakan oleh rasa ketagihan, tertekan, atau rasa bosan (Solomon, 2002 dalam Shoham dan Brencic, 2003).
Perilaku pembelian kompulsif merupakan salah satu bagian dari konsumsi kompulsif yang merupakan sisi negatif dari sebuah perilaku konsumsi (Mowen dan Minor, 2002: 130). Konsumen yang kompulsif adalah konsumen yang merasa ketagihan, dalam beberapa kondisi mereka berlaku diluar kontrol dan sikap mereka dapat berdampak buruk bagi diri sendiri maupun orang lain. Perilaku berbelanja yang tidak terkontrol, berjudi, merokok, kecanduan narkoba, dan pecandu alkohol merupakan beberapa contoh dari konsumsi kompulsif (Schiffman dan Kanuk, 2007: 119).
Pembeli kompulsif adalah konsumen yang keranjingan belanja atau cenderung suka membelanjakan uang untuk membeli barang meskipun barang tersebut tidak mereka butuhkan. Untuk beberapa pelaku kompulsif, uang dan harta benda telah menggantikan keberadaan teman, keluarga bahkan “tempat ibadah”. Pusat perbelanjaan telah menjadi pengganti “tempat ibadah” dan berbelanja menjadi “ritualnya” (Boundy, 2000 dalam Yang, 2006).

Manfaat Penelitian
Hasil Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi beberapa pihak, antara lain:
1)     Manfaat Teoritis
Melalui penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan studi empiris yang lebih kaya khususnya mengenai faktor situasional pusat perbelanjaan, materialisme dan perilaku pembelian kompulsif para pengguna kartu kredit terhadap pembelian produk fashion.
2)     Manfaat praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi pada pihak pemasar produk fashion, para manager pusat-pusat perbelanjaan maupun perusahaan penerbit kartu kredit untuk menerapkan strategi-strategi perusahaan agar tepat sasaran dan memberikan perlakuan khusus kepada para pengguna kartu kredit dalam hal melakukan pembelian produk fashion.

Tujuan Penelitian
1.      Untuk mengetahui apakah faktor situasional berpengaruh terhadap perilaku pembelian kompulsif
2.      Untuk mengetahui apakah materialisme berpengaruh terhadap perilaku pembelian kompulsif
3.      Untuk mengetahui apakah penggunaan kartu kredit berperan signifikan sebagai variable pemoderasi dalam hubungan antara materialisme dengan perilaku pembelian kompulsif

TINJAUAN PUSTAKA
Konsep pembelian kompulsif berasal dari pembuatan keputusan pembelian konsumen pada umumnya. Studi perilaku konsumen menjelaskan bahwa, stimulus dalam model perilaku konsumen meliputi aspek individu dan lingkungan (Assael, 1998; Schiffman & Kanuk, 2004). Aspek individu meliputi persepsi, motivasi atau keinginan, pembelajaran, kepribadian, emosi, dan sikap; sedangkan aspek eksternal meliputi budaya, subbudaya, demografi, status sosial, kelompok referensi, dan strategi pemasaran. Perilaku pembelian kompulsif merupakan komponen perilaku negatif konsumen. Mowen dan Minor (2002: 280) mendifinisikan perilaku pembelian kompulsif sebagai suatu pembelian yang tidak terencana dan konsumen terlibat dalam perilaku ini karena mereka sangat berhasrat untuk memperoleh perasaan atau kesenangan tertentu.
Konsep dasar perilaku pembelian kompulsif adalah konsumsi yang berlebihan pada suatu barang (Stones IV, 2001 dalam Shoham dan Brencic, 2003). Pembelian kompulsif merupakan suatu perilaku pembelian yang tanpa direncanakan dan dilakukan secara berulang-ulang dan merupakan suatu perilaku yang negatif (O'Guinn dan Faber, 1992; Solomon, 2002 dalam Shoham dan Brencic, 2003). Banyak peneliti yang mengkategorikan perilaku pembelian kompulsif sebagai gangguan terhadap kontrol pembelian impulsif (Black, dkk., 1998; Christenson, dkk., 1992; Faber, 1992; McElroy dkk., 1991; O’Guinn dan Faber, 1989; Schlosser, dkk., 1994 dalam Yang, 2006).
Pembelian impulsif adalah tidak direncanakan dan tidak diatur sebelum memasuki toko (Hawkin, dkk.,1998: 590). Ketika konsumen tidak terlibat akan suatu produk, mereka cenderung melakukan pengambilan keputusan pembelian di dalam toko, dimana tidak terdapat motivasi yang cukup untuk melakukan rencana pembelian (Assael, 2004: 103).
Pembelian impulsif terjadi ketika konsumen mengalami dorongan tiba-tiba, keinginan yang kuat untuk membeli sesuatu dengan segera (Engel, dkk., 1995: 159). Pembelian impulsif dapat dijelaskan sebagai dorongan untuk membeli sesuatu yang tiba-tiba, tanpa ada niat atau rencana, bertindak atas dorongan tanpa mempertimbangkan tujuan jangka panjang atau cita-cita.
Konsumen yang memanfaatkan kognisi akan lebih cenderung untuk membuat pembelian dan keputusan rasional juga melakukan pembelian dengan sedikit dorongan sedangkan konsumen yang lebih emosional akan lebih cenderung melakukan pembelian impulsif .
Menurut Rooks dalam Engle, dkk., (1995: 159) ciri pembelian impulsif yang dikemukan oleh adalah sebagai berikut:
1.      Keinginan mendadak dan spontan untuk bertindak disertai dengan urgensi
2.      Keadaan ketidakseimbangan psikologis di mana seseorang dapat berada di luar kendali
3.      Rendahnya evaluasi objektif, sementara pertimbangan emosional lebih dominan
4.      Kurang memperhatikan konsekuensi yang ditimbulkan Sementara itu jenis atau tipe pembelian impulsif dapat digolongkan dalam beberapa bentuk.
Blythe (1997) dalam Shoham dan Brencic (2003) menggolongkan jenis pembelian impulsif menjadi empat jenis, yaitu:
1.      Pure impulsive. Pembelian yang dilakukan murni tanpa rencana atau terkesan mendadak. Biasanya terjadi setelah melihat barang yang dipajang di toko dan muncul keinginan untuk membelinya saat itu juga.
2.      Reminder impulsive. Pembelian yang dilakukan tanpa rencana terjadi setelah diingatkan karena melihat iklan atau brosur yang ada di pusat perbelanjaan.
3.      Suggestion impulsive. Pembelian yang dilakukan tanpa rencana pada saat berbelanja di pusat perbelanjaan. Pembelian dilakukan pada saat di pusat perbelanjaan, setelah pembeli terpengaruh dan diyakinkan oleh tenaga sales atau teman yang ditemuinya pada saat berbelanja, yang menawarkanproduknya dengan meyakinkan.
4.      Planned impulsive. Pembelian yang dilakukan sebenarnya sudah direncanakan, tetapi karena barang yang dimaksud habis atau tidak sesuai dengan yang diinginkan, maka yang dilakukan adalah membeli jenis barang yang sama tetapi dengan merek atau ukuran yang berbeda.
Menurut Rindfleisch et al., 1997; Roberts, 1998; Roberts, 2000; Dittmar, 2005a, dalam Xu, 2008, terdapat beberapa faktor yang dapat mendorong terjadinya pembelian impulsif dan kompulsif yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor eksternal mencakup karakteristik produk dan karakteristik pemasaran, sedangkan faktor internal mencakup karakteristik-karakteristik konsumen yang muncul sehubungan dengan pembelian yang dilakukan konsumen, yang didapat dijelaskan sebagai berikut:
        I.            Karakteristik produk meliputi:
a)     harga yang rendah
b)     adanya sedikit kebutuhan dengan produk tersebut
c)      siklus kehidupan produknya pendek
d)     ukuranya kecil dan ringan
e)     mudah disimpan
      II.            Faktor marketing, diantaranya:
a)     distribusi massa pada self servise terhadap pemasangan iklan besarbesaran dan material yang akan didiskon. Ketersediaan informasi seperti melalui pemasangan iklan, website, penjaga toko, adalah sumber utama informasi konsumen.
b)     posisi pajangan produk dan lokasi toko yang menonjol turut mempengaruhi pembelian impulsif. Selain itu, jumlah, lokasi dan jarak toko mempengaruhi jumlah kunjungan konsumen ke toko sebelum pembelian. Kunjungan ke toko membutuhkan energi, uang,waktu dan jarak kedekatan seringkali meningkatkan aspek ini dari pencarian dari luar.
   III.            Karakteristik konsumen seperti:
a)     kepribadian konsumen
b)     demografis meliputi usia, jenis kelamin, pendapatan, dan sebagainya

Perilaku impulsif yang dilakukan berkali-kali dan dalam jangka waktu yang lama menimbulkan suatu perilaku pembelian yang diberi nama perilaku pembelian kompulsif. Definisi pembelian kompulsif harus mencakup dua criteria yaitu: (1) perilakunya harus berulang ulang, dan (2) perilakunya harus problematik untuk individu (O’Guinn dan Faber, 1989 dalam Shoham dan Brencic, 2003). Perilaku pembelian kompulsif sangat erat terkait dengan perilaku obsesif pelanggan yang berorientasi pada pikiran mereka untuk mendapatkan produk atau jasa tertentu (Rajagopal, 2008). Compulsive buyer biasanya memiliki tingkat kepercayaan diri yang rendah, tingkat berhayal, depresi, kecemasan, dan obsesi yang tinggi.
Studi tentang pembelian kompulsif merupakan studi yang penting karena perilaku tersebut dapat menyebabkan kekacauan pada individu dan atau orang disekitarnya. Bahkan dalam beberapa kasus ekstrim, pembeli kompulsif mampu menghabiskan uang lebih banyak dari yang mereka miliki, menghancurkan hidup mereka bahkan kehidupan keluarga (d’Astous, 1990; Faber dan O’Guinn, 1992; Rindfeisch, Borroughs dan Denton, 1997 dalam Kwak, dkk., 2003).
Pembeli kompulsif dapat berasal dari semua golongan ekonomi. Seseorang yang kompulsif adalah seorang yang pemboros yang dicirikan sebagai seseorang yang menghabiskan uang dengan cepat, mengemudikan mobil mewah, rumah yang mahal walaupun uang yang dimiliki tidak dapat menutupi segala keinginannya. Bahkan mereka membentuk citra diri bahwa orang lain harus mengagumi mereka dengan segala yang dimilikinya. Untuk beberapa pelaku kompulsif, uang dan harta benda telah menggantikan keberadaan teman, keluarga bahkan tempat ibadah. Pusat perbelanjaan telah menjadi pengganti tempat ibadah dan berbelanja menjadi ritualnya (Boundy, 2000 dalam Yang, 2006). Menurut Dittmar, 2000 dalam Yang, 2006 menemukan bahwa konsumen yang kompulsif berbelanja diatas batas kemampuan yang termotivasi oleh tingginya keinginan mereka untuk memiliki harta benda dan menganggap bahwa kepemilkan harta benda merupakan tolok ukur identitas diri, keberhasilan, dan kebahagiaan dalam hidup.
Faktor Situasional
Faktor situasional adalah faktor-faktor eksternal yang berasal dari lingkungan berbelanja ketika konsumen tertarik akan rangsangan visual tertentu (produk atau promosi) yang menciptakan pembelian yang tidak direncanakan. Saat itu konsumen mungkin merasa perlu tiba-tiba untuk membeli produk tertentu yang telah menarik perhatiannya (Youn, 2000 dalam Mihic dan Kursan, 2010). Pengaruh situasional merupakan kondisi sementara atau setting yang terjadi pada lingkungan pada lingkungan dan tempat yang spesifik (Assael: 2004, 122). Belk mengidentifikasi lima karakteristik pembelian dan konsumsi situasional yang mempengaruhi pembelian konsumen yaitu (Belk dalam Sutisna, 2001: 159): (1) Lingkungan fisik (Physical Surrounding) yaitu aspek-aspek lingkungan fisik dan ruang yang nyata yang mencangkup aktivitas konsumen seperti warna, suara, cahaya, cuaca dan pengaturan ruangan. (2) Lingkungan sosial (Social Surrounding) yaitu pengaruh orang lain terhadap aktivitas konsumen, individu yang hadir selama proses konsumsi, yang meliputi faktor-faktor seperti: kehadiran orang lain, karakteristik orang-orang yang hadir pada situasi tersebut, peranan nyata orang-orang yang hadir, dan interaksi interpersonal. (3) Definisi tugas (Task Definition) yaitu alasan kebutuhan konsumen untuk membeli atau mengkonsumsi barang atau jasa. Dengan kata lain dapat juga dikatakan bahwa hal ini merupakan maksud atau prasyarat untuk memilih, berbelanja atau mendapatkan informasi mengenai pembelian umum atau spesifik. (4) Waktu (Time) adalah situasi yang dapat dispesifikasikan kedalam unit waktu dari situasi, misal kejadian tertentu ketika perilaku pembelian terjadi (hari, bulan, musim). Waktu juga dapat diukur secara relatif pada kejadian di masa lalu atau di masa mendatang, misal waktu ketika
pembelian terakhir. (5) Pernyataan anteseden (Antecendent state) merupakan perasaan (mood) sementara, seperti rasa cemas atau gembira atau kondisi yang dibawa konsumen ke dalam situasi, seperti kondisi pada saat memegang uang tunai. Keterbatasan pilihan konsumen dalam pengambilan keputusan untuk pembelian dan pengkonsumsian suatu produk akan dipengaruhi oleh faktor-faktor
situasi.
Beberapa tipe situasi yang mempengaruhi keputusan konsumen menurut Assael (2004, 122) dibedakan dalam 3 jenis yaitu:
(1) Situasi konsumsi merupakan salah satu situasi yang mana konsumen menggunakan merek atau kelompok produk tertentu. Pemasar harus mengidentifikasikan situasi konsumsi yang relevan terhadap kategori produk
(2) Situasi pembelian merupakan situasi yang mempengaruhi keputusan konsumen. Situasi ini dapat dipengaruhi oleh strategi pemasaran dengan mendesain lingkungan di dalam toko. Situasi ini dibagi menjadi tiga bagian, yaitu: pertama, situasi di lingkungan toko berkaitan dengan tata letak barang di rak, suasana ramai di dalam toko, ketersediaan produk, perubahan harga, dan pelayanan pramuniaga. Kedua, situasi pembelian yang berkaitan dengan tujuan. Situasi ini menyangkut tujuan konsumen dalam berbelanja barang-barang yang akan dikonsumsi, misal konsumen membeli barang untuk hadiah atau dirinya sendiri, berbelanja bersama keluarga dan teman atau berbelanja sendiri. Ketiga, situasi pembelian berkaitan dengan mood, misal perasaan gembira atau sedih. Situasi ini sulit diantisipasi oleh pemasar.
(3) Situasi komunikasi merupakan setting dimana konsumen tidak menyembunyikan informasi terhadap orang lain. Situasi ini berkaitan dengan perspektif waktu, ditunjukkan oleh aktivitas yang dilakukan oleh konsumen. Situasi ini dapat terjadi dari orang ke orang atau impersonal misalnya dari iklan atau informasi di dalam toko.
Situasi merupakan keseluruhan faktor pada suatu waktu dan tempat tertentu dari pengamatan yang tidak berasal dari pengetahuan personal (intraindividu) dan atribut rangsangan (pilihan alternatif), serta mempunyai pengaruh yang terlihat dan sistematis terhadap perilaku saat ini.
Materialisme
Richin dan Dawson (1992) berpendapat bahwa, materialisme adalah salah satu trait kepribadian yang berkaitan dengan kepemilikan barang atau materi. Trait ini membedakan seseorang dari orang lain terkait dengan apakah materi merupakan sesuatu yang penting dan memberinya identitas ataukah hanya merupakan sesuatu yang sekunder. Peneliti yang menguji skala materialisme menemukan beberapa karakteristik berikut: (1) individu menekankan nilai pada materi dan menunjukkan kepemilikan; (2) umumnya bersifat mementingkan diri sendiri; (3) mencari gaya hidup yang penuh dengan kepemilikan (ingin memiliki banyak barang); (4) banyaknya materi yang dimiliki tidak memberinya kepuasan pribadi yang lebih besar (kepemilikan tidak menyebabkan dirinya menjadi lebih bahagia).
Studi Dittmar (2005) menun-jukkan bahwa, nilai materialisme yang dimiliki oleh individu menyebabkan seseorang memiliki kecenderungan untuk melakukan pembelian secara kompulsif. Keinginan untuk mendapatkan barang dipersepsi menjadikan seseorang memiliki kepuasan dan kualitas hidup tanpa mempertimbangkan konsekuensi negatif (Belk, 1985). Konsekuensi negatif bisa berupa risiko sosial, keuangan, psikis, bahkan fisik. Bagi individu, kepemilikan materi menjadi aspek terpenting dalam kehidupannya. Makin kuat nilai materialisme yang dimiliki oleh seseorang, makin kuat kecenderungan untuk tidak dapat menunda suatu pembelian. Individu dengan nilai materialisme yang kuat menganggap bahwa dengan melakukan pembelian barang dengan segera akan memuaskan hidupnya. Kepemili-kan terhadap benda menjadi sesuatu yang dipuja. Nilai materialisme yang kuat menyebabkan individu merasakan tidak berarti bila tidak memiliki suatu barang.
Menurut Richin dan Dawson (1992) konsep ini terdiri dari tiga dimensi, yaitu : kesuksesan, sentralitas dan kebahagiaan.


PENELITIAN TERDAHULU
Hasil penelitian Koran, dkk., (2006) terh adap 2.500 orang responden mempertegas bahwa fenomena pembelian kompulsif sudah sedemikian parah terjadi pada masyarakat baik pada kaum wanita maupun kaum pria bahkan pembelian kompulsif akan menyebabkan penderitaan psikologis dan dampak serius pada kehidupan individu seperti berhutang (Dittmar, 2005). Pembelian kompulsif terjadi karena ketegangan psikologi yang menyebabkan meningkatnya keinginan seseorang untuk melakukan pembelian saat itu juga (Roberts dan Pirog III, 2004).
Kecenderungan pembelian kompulsif mengalami peningkatan selama sepuluh tahun terakhir (Neuner, dkk., 2005 dalam Xu, 2008). Peningkatan perilaku pembelian kompulsif dipicu oleh peranan materialisme (Dittmar, 2005). Materialisme merupakan tingkat dimana seseorang dianggap “materialistis” (Schiffman dan Kanuk, 2007: 117). Konsumen dengan nilai materialisme yang tinggi menyakini bahwa pendapatan dan benda materi sangatlah penting untuk hidup mereka yang selanjutnya menjadi sebuah indicator dari kesuksesan dan diperlukan untuk mencapai kepuasan dalam hidup bahkan tingkat konsumsi yang tinggi akan membuat mereka merasa lebih bahagia. Konsumen yang materialistis menganggap kepemilikan barang dan materi sebagai pusat dari kehidupan mereka, menilai kesuksesan sebagai kualitas harta seseorang dan melihat harta sebagai bagian yang penting dalam mencapai kebahagian dan kesejahteraan dalam hidup (Fitzmaurice, 2008). Seseorang yang materialistis cenderung untuk menganggap berbelanja sebagai tujuan hidup utama sama halnya dengan mencapai kebahagian dan kepuasan dalam hidup (Xu, 2008). Seseorang yang materalistis sangatlah tertarik pada produk pakaian sehingga seseorang dengan materialisme tinggi cenderung akan melakukan pembelian kompulsif yang tinggi pada produk fashion (Browne dan Kaldenberg, 1997; Yurchisin dan Johnson, 2004 dalam O’Cass, 2004).
Hal tersebut juga sependapat dengan penelitian yang dilakukan oleh Krugger (1998 dalam Park dan Burn, 2005) yang menyatakan bahwa orang yang berperilaku kompulsif cenderung untuk sangat peduli akan penampilannya dan selalu terlibat dalam pencaharian sesuatu yang tanpa henti terutama terkait dengan pakaian. Kecenderungan seseorang untuk memiliki penampilan yang menarik menyebabkan orang tersebut sering melakukan pembelian tanpa direncanakan untuk produk fashion. Hal ini diperparah lagi saat seseorang secara financial memiliki kemampuan untuk membeli produk tersebut. Salah satu indikasi kemampuan finansial adalah kepemilikan kartu kredit. Kartu kredit memberikan fasilitas kepada konsumen untuk mempermudah proses pembelian baik yang direncanakan maupun pembelian impulsif pada berbagai produk termasuk produk fashion. Selain itu, kartu kredit juga memberikan kemudahan bagi konsumen karena konsumen dapat mencicil tagihan yang dibebankan kepada konsumen dan juga memberikan jangka waktu yang lebih panjang bagi konsumen untuk membayar tagihan kartu kreditnya. Kartu kredit bahkan telah menjadi alat pembayaran barang dan jasa yang diterima secara luas dan sangat nyaman untuk digunakan dan menjadi alat transaksi yang patut dimiliki oleh semua orang bahkan pengguna kartu kredit bisa membelanjakan uang masa depannya hari ini juga (Lie, dkk., 2010). Hal ini menunjukkan bahwa perilaku belanja kompulsif pada produk fashion akan menjadi lebih tinggi apabila difasilitasi oleh
kepemilikan kartu kredit.
Penelitian yang dilakukan oleh Park dan Burns (2005) menemukan bahwa penggunaan kartu kredit oleh masyarakat Korea dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan peningkatan yang dramatis. Bahkan pada akhir tahun 2002, terdapat lebih dari 100 juta kartu kredit dikeluarkan oleh perusahaan penerbit kartu kredit karena konsumen lebih memilih membayar menggunakan kartu kredit (Kim, 2002 dalam Park dan Burns, 2005). Hal yang serupa juga terjadi di Indonesia. Peningkatan jumlah peredaran kartu kredit ternyata diiringi dengan peningkatan transaksi dengan kartu kredit, seperti yang ditunjukkan pada Lampiran 1 (www.bi.go.id). Di Jakarta berdasarkan pengamatan perilaku belanja pengguna kartu kredit sebuah bank, 57 persen transaksi disumbangkan dari pembelanjaan pakaian (fashion), sepatu, dan aksesori. Data pada tahun 2009 ini menunjukkan belanja kartu kredit untuk fashion menduduki ranking pertama, diikuti oleh makanan dan minuman, peralatan elektronik, dan sisa porsi lainnya diberikan untuk produk-produk yang sifatnya jarang digunakan (www.female.kompas.com).
HIPOTESIS
Konsumen yang banyak melakukan pembelian secara spontan dan memutuskan secara mendadak atau impulsif di dalam toko ataupun pusat perbelanjaan, akan cenderung menunjukan perilaku pembelian kompulsif (Schiffman dan Kanuk, 2007: 128). Perilaku pembelian kompulsif dapat terjadi pada segala jenis produk, salah satu produk yang sering dibeli konsumen tanpa direncana adalah pakaian. Pakaian sebagai salah satu kebutuhan pokok manusia selain pangan dan papan mendapat porsi yang lebih banyak dibandingkan kategori produk lainnya. Penelitian ini berfokus pada produk pakaian karena pakaian merupakan salah satu kebutuhan primer dan pakaian merupakan sarana untuk menunjang penampilan atau sebagai identitas diri serta yang berhubungan dengan gaya hidup yang disebut sebagai fashion. Oleh karenanya, konsumen berusaha untuk selalu mengikuti mode produk-produk fashion yang selanjutnya akan berdampak pada perilaku konsumtif (O’Cass, 2004). Kecenderungan seseorang untuk memiliki penampilan yang menarik menyebabkan orang sering melakukan pembelian tanpa direncanakan untuk jenis produk fashion. Lebih lanjut, semakin tinggi tingkat pembelian impulsif akan berakibat pada kecenderungan pembelian kompulsif (Shoham dan Brencic, 2003). Keinginan untuk membeli produk fashion di suatu pusat perbelanjaan bisa muncul secara tiba-tiba karena berbagai alasan faktor situasional. Faktor situasional merupakan faktor eksternal yang muncul karena seseorang melakukan kontak dengan lingkungan dan produk yang nantinya dapat menyebabkan pembelian impulsif dan pembelian impulsif yang berulang akan menyebabkan terjadinya perilaku pembelian kompulsif (Mihic dan Kursan, 2010). Faktor situsional membuat konsumen melakukan pengambilan keputusan di dalam toko pada saat itu juga (Gor, 2002). Berdasarkan uraian tersebut maka dapat diajukan hipotesis sebagai berikut:
H1: Faktor situasional berpengaruh positif dan signifikan terhadap perilaku pembelian kompulsif.
Pembelian kompulsif dewasa ini menjadi salah satu topik yang menarik bagi sejumlah peneliti dibidang konsumsi maupun bidang pemasaran karena dianggap sebagai akibat dari materialisme dan dampak buruk dari konsumerisme. Dari penelitian ditemukan bahwa materialisme mempengaruhi perilaku pembelian kompulsif (O’Guinn dan Faber, 1989, Dittmar, dkk., 1996; Mowen and Spears, 1999; Yurchisin and Johnson, 2004 dalam Jonshon, 2009). Seseorang yang materialis memiliki keterlibatan yang tinggi pada produk pakaian (Browne dan Kaldenberg, 1997; Yurchisin dan Johnson, 2004 dalam Johnson dan Attman, 2009). Oleh karenanya, sangatlah beralasan bahwa seseorang dengan nilai materialistik yang tinggi akan memiliki tingkat pembelian kompulsif pakaian yang tinggi.
H2: Materialisme berpengaruh positif dan signifikan terhadap perilaku pembelian kompulsif.
Penelitian yang dilakukan oleh Park dan Burns (2005) yang merupakan pengembangan dari penelitian Gutman dan Mills (1982) menambahkan konstruk penggunaan kartu kredit sebagai konstruk yang meningkatkan pembelian kompulsif. Dalam penelitiannya, Park dan Burns (2005) menyatakan bahwa pembelian kompulsif akan menjadi lebih tinggi saat seorang individu memiliki kemampuan secara finansial dalam bentuk kepemilikan kartu kredit. Beberapa studi telah mengidentifikasi bahwa kartu kredit yang memainkan peran penting yang mendorong untuk pembelian kompulsif sebagai akibat dari tekanan social dan kurangnya kontrol diri (Baumeister, 2000; Roberts dan Jones, 2001 dalam Rutherford, 2008). Hal ini menunjukkan bahwa perilaku belanja kompulsif pada produk fashion akan menjadi lebih tinggi dengan penggunaan kartu kredit. Seseorang yang materialistis adalah seorang pemboros dan memiliki keinginan yang kuat untuk berhutang (Fitzmurice, 2006). Seseorang yang menganut nilai materialisme cenderung untuk menganggap harta, materi sebagai tolok ukur status dalam masyarakat dan produk fashion dianggap sebagai salah satu parameternya. Konsumen yang menaruh perhatian tinggi terhadap produk fashion cenderung menggunakan kartu kredit lebih tinggi karena mungkin mereka tidak dapat membeli tanpa kartu kredit dan mereka diberi kemudahan untuk “beli sekarang, bayar kemudian” (Richin, 1994 dan Rindfleisch, dkk, 1997 dalam Park dan Burn, 2005). Kartu kredit mempermudah proses pembelian tanpa direncanakan pada produk fashion. Dengan kata lain, perilaku pembelian impulsif dan kompulsif akan meningkatkan sejalan dengan peningkatan penggunaan kartu kredit, karena kartu kredit digunakan sebagai alternatif pembayaran non tunai seperti yang terjadi pada mahasiswa di Korea dan Amerika (Park dan Forney, 2004). Berdasarkan uraian tersebut maka dapat diajukan hipotesis sebagai berikut:
H3: Penggunaan kartu kredit berperan signifikan sebagai variabel pemoderasi yang memperkuat pengaruh materialisme terhadap perilaku pembelian kompulsif.
METODOLOGI PENELITIAN
Jenis Penelitian
Penelitian ini termasuk dalam kategori riset eksplanatori dengan tujuan utamanya adalah memperoleh penjelasan mengenai hubungan sebab-akibat (kausal). Malhotra (2007 : 85) menyatakan bahwa riset kausal sebagai salah satu jenis riset konklusif yang dapat dimanfaatkan untuk maksud-maksud sebagai berikut: (1) memahami variabel mana yang mempengaruhi dan variabel mana yang merupakan variabel akibat pada fenomena tertentu, dan (2) menentukan sifat hubungan antara variabel independen dan pengaruhnya yang akan diperkirakan.

Variable Penelitian
Indentifikasi Variable
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi pengaruh faktor situasional pusat perbelanjaan dan materialisme konsumen terhadap perilaku pembelian kompulsif dimana penggunaan kartu kredit merupakan variabel moderasi dalam hubungan ini. Berdasarkan pokok permasalahan dan hipotesis yang diajukan, variabel-variabel dalam analisis ini dapat diidentifikasi secara garis besar sebagai
berikut :
1). Variabel independen (X)
Seluruh indikator yang mengidentifikasi variabel faktor situasional diadopsi dari dari penelitian Mihic dan Kursan (2010) yang telah dimodifikasi dan disesuaikan dengan konteks penelitian yang disajikan lebih rinci. Sedangkan, seluruh indikator yang mengidentifikasi variable materialisme diadopsi dari penelitian Richins dan Dawson, 1994 dalam Schiffman dan Kanuk, 2007: 192 yang telah dimodifikasi dan disesuaikan dengan konteks penelitian yang disajikan lebih rinci.
2). Variabel dependen (Y)
Variabel dependen dalam penelitian yaitu: perilaku pembelian kompulsif. Seluruh indikator yang mengidentifikasi variabel perilaku pembelian kompulsif diadopsi dari penelitian Faber dan O’Guinn, 1992 dalam Shoham dan Brencic, 2003; Roberts dan Pirog III, 2004; Park dan Burn, 2005 yang telah dimodifikasi dan disesuaikan dengan konteks penelitian yang disajikan lebih rinci
3). Variabel moderasi (Z)
Variabel moderasi dalam penelitian yaitu: penggunaan kartu kredit. Seluruh indikator yang mengidentifikasi variabel penggunaan kartu kredit diadopsi dari penelitian Roberts dan Jones, 2001; Park dan Burn, 2005 yang telah dimodifikasi dan disesuaikan dengan konteks penelitian yang disajikan lebih rinci
Definisi operasional variabel
(a) Faktor situasional (X1), adalah faktor-faktor eksternal yang berasal dari lingkungan berbelanja ketika konsumen tertarik akan rangsangan visual tertentu.
1) Saya sering melakukan pembelian yang tidak terencana (X1.1) adalah perilaku seseorang yang sering melakukan pembelian diluar daftar belanja yang direncanakan.
2) Saya berbelanja lebih banyak daripada yang direncanakan sebelumnya ketika berbelanja dengan teman (X1.2) adalah perilaku seseorang yang melakukan pembelian lebih banyak dari yang direncanakan sebelumnya ketika berbelanja dengan teman.
3) Pengaturan toko yang menarik membuat saya berbelanja diluar rencana sebelumnya (X1.3) adalah perilaku seseorang yang keputusan pembeliannya terpengaruh oleh pengaturan barang di dalam toko.
4) Pramuniaga yang ramah membuat saya membeli produk diluar rencana sebelumnya (X1.4) adalah perilaku pembelian seseorang yang dipengaruhi oleh pelayanan yang diberikan oleh pramuniaga.
5) Alunan musik membuat saya berbelanja diluar rencana sebelumnya (X1.5) adalah perilaku pembelian seseorang yang terpengaruh oleh alunan musik di dalam pusat perbelanjaan.
6) Aroma ruangan yang harum membuat saya diluar rencana sebelumnya (X1.6) adalah perilaku pembelian seseorang yang terpengaruh oleh aroma ruangan yang harum.
7) Lokasi pusat perbelanjaan yang mudah dijangkau merangsang saya untuk berbelanja (X1.7) adalah perilaku seseorang yang melakukan pembelian karena lokasi pusat perbelanjaan yang strategis dan mudah dijangkau misal berada di pusat kota, dekat dengan rumah atau dekat dengan kantor.
8) Kegiatan promosi merangsang saya untuk melakukan pembelian diluar rencana sebelumnya (X1.8) adalah perilaku seseorang yang melakukan pembelian karena terpengaruh dengan promosi yang dilakukan oleh pusat perbelanjaan misal potongan harga, beli satu gratis satu, iklan spanduk, banner, iklan di media massa dan sebagainya.
9) Display yang menarik merangsang saya untuk melakukan pembelian diluar rencana sebelumnya (X1.9) adalah perilaku pembelian seseorang yang terpengaruh karena display atau pajangan yang menarik.
10) Kemasan produk yang menarik merangsang saya untuk melakukan pembelian diluar rencana sebelumnya (X1.10) adalah perilaku pembelian seseorang dalam membeli produk fashion terpengaruh oleh kemasan yang menarik.
11) Penempatan produk yang mudah dijangkau mempengaruhi saya untuk melakukan pembelian diluar rencana sebelumnya (X1.11) adalah perilaku pembelian seseorang dalam membeli produk fashion terpengaruh oleh kemudahan dalam menjangkau penempatan produk fashion.
12) Merek yang terkenal merangsang saya untuk melakukan pembelian diluar rencana sebelumnya (X1.12) adalah perilaku pembelian seseorang yang dipengaruhi oleh karena ketertarikanya akan suatu merek fashion yang sudah familiar atau dikenal sebelumnya.
(b) Materialisme (X2) yaitu terdiri atas tiga dimensi yaitu:
(1). Dimensi pentingnya harta dalam hidup seseorang/ acquisition centrality (X3) adalah persepsi seseorang yang menganggap bahwa harta benda sangatlah penting dalam kehidupan seseorang dan harta ditempatkan sebagai posisi sentral atau utama dalam kehidupan seseorang.
1) Saya sering membeli sesuatu yang tidak saya butuhkan (X3.1) adalah perilaku seseorang yang menggunakan uangnya untuk membeli barang-barang yang tidak dibutuhkan dalam hidupnya.
2) Saya menyukai kemewahan (X3.2) adalah adalah perilaku seseorang yang menyukai kemewahan dalam hidup.
3) Membeli sesuatu memberikan kesenangan bagi saya (X3.3) adalah perasaan bahagia seseorang apabila mampu membeli barang yang diinginkannya dalam hal ini produk fashion.
(2) Dimensi kepemilikian merupakan ukuran kesuksesan hidup/ possession defined success(X4) adalah persepsi seseorang bahwa kepemilikan harta benda merupakan suatu ukuran untuk menilai kesuksesan sesorang. Semakin banyak harta benda yang dimiliki, semakin sukses pula orang tersebut.
1) Saya sangat mengagumi orang lain yang memiliki barang-barang yang mahal (X4.1) adalah perilaku seseorang yang mengagumi orang lain yang memiliki barang-barang yang mahal yang dijadikan sebagai salah satu tolok ukur keberhasilan seseorang dalam hidup.
2) Jumlah materi yang dimiliki seseorang merupakan ukuran sebuah kesuksesan (X4.2) adalah persepsi seseorang yang menganggap bahwa kesuksesan dalam hidup ditentukan oleh kepemilikan harta benda.
3) Saya senang memiliki sesuatu yang dapat membuat orang lain terkesan (X4.3) adalah perasaan senang dikarenakan memiliki barang yang mampu membuat orang lain terkesan.
(3) Dimensi kepemilikan dan harta benda merupakan sumber kebahagian acquisition as the pursuit of happiness (X5) adalah persepsi bahwa kepemilikan harta benda merupakan hal yang sangat penting dalam mencapai kebahagiaan, kesejahteraan dan kepuasan dalam hidup. Semakin banyak harta benda yang dimiliki, seseorang akan semakin berbahagia.
1) Memiliki barang yang saat ini belum saya miliki membuat saya bahagia (X5.1) adalah persepsi seseorang yang menganggap bahwa hidupnya akan lebih bahagia apabila mampu memiliki segala barang yang belum dimiliki.
2) Membeli banyak barang membuat saya bahagia (X5.2) adalah persepsi seseorang bahwa hidupnya akan lebih bahagia apabila memiliki kemampuan (uang) untuk membeli barang dan materi .
3) Saya merasa resah saat tidak sanggup membeli barang yang saya sukai (X5.3) adalah persepsi seseorang bahwa akan mengalami kegelisahan apabila tidak dapat membeli harta benda yang diinginkan.
(c) Penggunaan kartu kredit (Z) adalah satu alat pembayaran dengan cara kredit, di mana konsumen dapat berbelanja meskipun pada saat itu tidak mempunyai uang.
1) Tagihan kartu kredit saya mencapai batas kredit maksimum (Z1.1) adalah perilaku seseorang yang menggunakan fasilitas kartu kreditnya sampai dengan batas maksimum yang diberikan oleh pihak penerbit kartu kredit.
2) Saya tidak khawatir dengan harga produk fashion ketika menggunakan kartu kredit (Z1.2) adalah perilaku seseorang yang tidak merasa khawatir akan harga produk fashion ketika menggunakan kartu kredit yang memberikan fasilitas untuk membelanjakan uang masa depannya
sekarang.
3) Saya sering melakukan pembelian tanpa direncanakan ketika berbelanja produk fashion dengan menggunakan kartu kredit(Z1.3) adalah ketika berbelanja produk fashion, perilaku pembelian tanpa direncanakan dengan menggunakan kartu kredit menjadi lebih tinggi.
4) Saya berbelanja produk fashion lebih banyak ketika menggunakan kartu kredit (Z1.4) adalah perilaku seseorang dalam berbelanja produk fashion menjadi lebih banyak baik secara nominal maupun volume ketika menggunakan kartu kredit.
5) Saya sering berbelanja produk fashion melebihi batas kredit yang saya dapatkan (Z1.5) adalah perilaku seseorang dalam melakukan pembelian produk fashion melebihi batas kredit maksimum yang diperoleh dari bank penerbit.
6) Saya sering mengambil uang tunai menggunakan kartu kredit saya untuk berbelanja produk fashion (Z1.6) adalah perilaku seseorang yang sering menarik tunai dari kartu kredit dan selanjutnya digunakan untuk berbelanja produk fashion.
7) Saya menggunakan lebih dari satu kartu kredit (Z1.7) adalah perilaku seseorang memiliki dan menggunakan lebih dari satu kartu kredit.
d) Perilaku pembelian kompulsif (Y) yaitu suatu perilaku pembelian yang tanpa direncanakan dan dilakukan secara berulang-ulang pada produk fashion akibat rasa ketagihan, bosan, tertekan terhadap pakaian pesta, pakaian kantor, kaos, celana, rok, baju, dan lain sebagainya.
1) Saat memilki uang lebih pada akhir bulan, saya sering menghabiskan uang tersebut untuk membeli produk fashion (Y1.1) adalah perilaku seseorang yang menghabiskan sisa uangnya untuk membeli produk fashion saat memiliki uang lebih pada akhir bulan.
2) Orang lain akan heran jika mereka tahu kebiasaan saya dalam berbelanja produk fashion yang saya inginkan (Y1.2) adalah perasaan seseorang bahwa perilaku belanja produk fashionnya mampu membuat orang lain merasa heran.
3) Saya sering membeli produk fashion meskipun saat ini belum memiliki kemampuan membayar (Y1.3) adalah perilaku seseorang yang saat ini membeli produk fashion dengan cara bukan tunai salah satunya dengan menggunakan kartu kredit.
4) Saya berusaha mencari pinjaman uang dari orang lain demi membeli produk fashion (Y1.4) adalah perilaku seseorang yang rela meminjam uang dari orang lain untuk membeli produk fashion yang diinginkan.
5) Saya membeli produk fashion agar saya merasa senang (Y1.5) adalah perilaku seseorang yang merasa senang setelah melakukan pembelian produk fashion.
6) Saya merasa terganggu ketika tidak berbelanja produk fashion yang saya inginkan (Y1.6) adalah perasaan seseorang yang merasa gelisah ketika tidak berbelanja produk fashion yang diinginkan.
7) Saya sering melakukan pembayaran kartu kredit dalam jumlah minimum untuk produk fashion yang saya beli (Y1.7) adalah perilaku seseorang yang hanya melakukan pembayaran minimum pada tagihan kartu kreditnya, biasanya berkisar antara 5-10 persen dari total tagihan.
PENGEMBANGAN HIPOTESIS
Hipotesis pertama mendukung bahwa faktor situasional berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap perilaku pembelian kompulsif. Hasil penelitian ini mendukung temuan Mihic dan Kursan (2010) yaitu factor situasional merupakan faktor eksternal yang muncul karena seseorang melakukan kontak dengan lingkungan dan produk yang nantinya dapat menyebabkan pembelian impulsif dan pembelian impulsif yang berulang akan menyebabkan terjadinya perilaku pembelian kompulsif.
Hipotesisi kedua mendukung bahwa materialisme berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap perilaku pembelian kompulsif. Hasil penelitian ini mendukung temuan O’Guinn dan Faber, 1989; Dittmar, dkk., 1996; Mowen and Spears, 1999; Yurchisin dan Johnson, 2004 (Jonshon, 2009) yang menyatakan bahwa materialisme mempengaruhi perilaku pembeli kompulsif. Seseorang yang
materialis memiliki keterlibatan yang tinggi pada produk pakaian (Browne dan Kaldenberg, 1997; Yurchisin dan Johnson, 2004 dalam Johnson dan Attman, 2009). Oleh karenanya, sangatlah beralasan bahwa seseorang dengan nilai materialistik yang tinggi akan memiliki tingkat pembelian kompulsif pakaian yang tinggi.
Hipotesis ketiga mendukung bahwa penggunaan kartu kredit sebagai pemoderasi yang memperkuat pengaruh materialisme terhadap perilaku pembelian kompulsif. Hasil penelitian ini mendukung penelitian Park dan Forney (2004) yang menemukan bahwa, perilaku pembelian kompulsif mahasiswa Korea dan Amerika meningkatkan sejalan dengan peningkatan penggunaan kartu kredit, karena kartu kredit digunakan sebagai alternatif pembayaran non tunai.
IMPLIKASI HASIL PENELITIAN
Implikasi Teoritis
Implikasi teoritis yang dapat diberikan dari temuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Temuan penelitian ini telah memperkuat penelitian-penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh beberapa peneliti seperti dukungan terhadap pengaruh baik secara langsung maupun dengan pemoderasi dari variabel-variabel yang ada, terutama mengenai variabel faktor situasional pusat
perbelanjaan, materialisme dan perilaku pembelian kompulsif para pengguna kartu kredit terhadap pembelian produk fashion
Implikasi Praktis
Implikasi praktis yang dapat diberikan dari temuan penelitian ini adalah sebagai berikut.
a. Kajian ini dapat dijadikan sebagai model dasar untuk melakukan evaluasi strategi penjualan oleh pemasar dengan memperhatikan pengaruh factor situasional, materialisme dan penggunaan kartu kredit, sehingga pihak pemasar produk fashion, manager pusat perbelanjaan maupun perusahaan penerbit kartu kredit dapat mengubah strategi ke arah yang lebih baik, dengan memaksimalkan indikator-indikator variabel faktor situasional, materialisme konsumen dan penggunaan kartu kredit.
b. Berdasarkan karekteristik responden, pihak pemasar produk fashion, manager pusat perbelanjaan maupun pihak penerbit kartu kredit dapat mengetahui konsumen yang lebih banyak melakukan pembelian kompulsif adalah wanita yang usianya berkisar antara 26-35 tahun, di mana pekerjaannya adalah karyawan BUMN/BUMD, dengan pengeluaran individu berkisar antara Rp 3.500.001-Rp 4.000.000,-. Pihak pemasar produk fashion, manager pusat perbelanjaan maupun pihak penerbit kartu kredit dapat mempengaruhi perilaku pembelian kompulsif konsumen dengan memperhatikan karakteristiknya. Lebih lanjut, pihak pemasar produk fashion, manager pusat-pusat perbelanjaan maupun perusahaan penerbit kartu kredit hendaknya dapat saling bekerjasama untuk memberikan perlakuan khusus bagi para pengguna kartu tidak hanya dari kalangan wanita, berusia 26-35 tahun, karyawan BUMN/BUMD, dengan pengeluaran individu berkisar antara Rp 3.500.001-Rp 4.000.000.


KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pembahasan bab-bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan sebagai berikut.
(1) Faktor situasional berpengaruh positif dan signifikan terhadap perilaku pembelian kompulsif. Ini berarti bahwa semakin baik faktor situasional maka semakin tinggi pula perilaku pembelian kompulsif konsumen.
(2) Materialisme berpengaruh positif dan signifikan terhadap perilaku pembelian kompulsif. Ini berarti bahwa konsumen yang semakin berorientasi pada materi akan meningkatkan perilaku pembelian kompulsifnya karena kuputusan konsumen untuk melakukan pembelian dilakukan untuk menunjang penampilannya.
(3) Penggunaan kartu kredit secara signifikan berperan sebagai pemoderasi yang memperkuat pengaruh antara materialisme terhadap perilaku pembelian kompulsif. Ini berarti bahwa kehadiran kartu kredit meningkatkan hubungan materialisme dengan perilaku pembelian kompulsif. Dengan adanya kartu kredit, keinginan untuk melakukan pembelian produk-produk fashion yang tidak terencana dapat dipermudah karena dapat dibayar dikemudian hari.

Dikutip dari jurnal :
1. unud-368-1898979481-bab 1-6.pdf
2. Prima Naomi – Iin Mayasari. Faktor Faktor Yang Mempengaruhi Siswa SMA Dalam Perilaku Pembelian Kompulsif: Perspektif Psikologi.

Tidak ada komentar :

Posting Komentar