Jumat, 18 Januari 2013

Softskill: Perilaku Konsumen.


1. consumer innovativeness
Tingkat dimana konsumen menerima produk baru, layanan baru, atau praktik baru. Sifat ini penting untuk konsumen dan pemasar karena keduanya bisa mendapatkan keuntungan dari inovasi yang tepat. Peneliti banyak konsumen telah mencoba untuk mengembangkan instrumen pengukuran untuk mengukur tingkat inovasi konsumen.
Para pemasar seringkali berusaha untuk mempelajari perilaku dari para consumer innovators, yaitu mereka yang selalu menjadi yang pertama untuk mencoba hal-hal baru baik barang, jaa maupun kegiatan-kegiatan baru. Tanggapan dari para innovator ini seringkali merupakan gambaran mengenai akan sukses atau tidaknya suatu produk dipasaran.
Seperti saat kita membeli kaset lagu. Misalkan kita pendengar lagu pop. Suatu saat anda membandingkan dengan kaset lagu teman anda dengan aliran yang berbeda seperti lagu rock. Setelah anda membandingkannya. Anda berpikiran untuk membeli kaset tersebut. Walaupun anda bukan pecinta lagu rock.

Referensi :

2. compulsive consumer / konsumen kompulsif
Perilaku pembelian kompulsif merupakan salah satu bagian dari konsumsi kompulsif yang merupakan sisi negatif dari sebuah perilaku konsumsi (Mowen dan Minor, 2002: 130). Konsumen yang kompulsif adalah konsumen yang merasa ketagihan, dalam beberapa kondisi mereka berlaku diluar kontrol dan sikap mereka dapat berdampak buruk bagi diri sendiri maupun orang lain.
Perilaku berbelanja yang tidak terkontrol, berjudi, merokok, kecanduan narkoba, dan pecandu alkohol merupakan beberapa contoh dari konsumsi kompulsif (Schiffman dan Kanuk, 2007: 119).
Pembeli kompulsif adalah konsumen yang keranjingan belanja atau cenderung suka membelanjakan uang untuk membeli barang meskipun barang tersebut tidak mereka butuhkan. Untuk beberapa pelaku kompulsif, uang dan harta benda telah menggantikan keberadaan teman, keluarga bahkan “tempat ibadah”. Pusat perbelanjaan telah menjadi pengganti “tempat ibadah” dan berbelanja
menjadi “ritualnya” (Boundy, 2000 dalam Yang, 2006).
Hasil penelitian Koran, dkk., (2006) terhadap 2.500 orang responden mempertegas bahwa fenomena pembelian kompulsif sudah sedemikian parah terjadi pada masyarakat baik pada kaum wanita maupun kaum pria bahkan pembelian kompulsif akan menyebabkan penderitaan psikologis dan dampak serius pada kehidupan individu seperti berhutang (Dittmar, 2005). Pembelian kompulsif terjadi karena ketegangan psikologi yang menyebabkan meningkatnya keinginan seseorang untuk melakukan pembelian saat itu juga (Roberts dan Pirog III, 2004).
Dasawarsa terakhir ini banyak kita jumpai generasi muda kita yang masih berstatus sebagai siswa sering berada di mall dan menunjukkan perilaku yang konsumtif. Hal ini sangat mengkhawatirkan orang tua pada umumnya, dan bagi para pendidik pada khususnya. Bagi akademisi, hal ini patut dicermati dan dikaji lebih mendalam.
Perilaku konsumtif tersebut oleh kalangan akademis dikenal sebagai perilaku pembelian kompulsif. Fenomena tentang perilaku pembelian kompulsif konsumen menjadi objek kajian dalam studi di bidang pemasaran khususnya perilaku konsumen. Studi-studi empiris yang terdahulu mengindikasi adanya fenomena kompulsif yang ditinjau dari perspektif psikiatrik individu (Roberts, 2000; Roberts & Jones, 2001; Dittmar, 2005).
Perspektif psikiatrik individu menunjukkan bahwa, individu yang melakukan suatu tindakan kompulsif cenderung mengalami suatu ketidakteraturan kondisi jiwa, memiliki penyimpangan seksual, cenderung menyukai suatu tindakan perjudian, penggunaan alkohol yang berlebihan, pola makan tidak teratur, dan penggunaan obat yang tidak tepat (Hirschman, 1992; Lesieur & Heineman, 1988; Lesieur & Blume, 1991).
Fokus pendekatan psikiatrik menyebabkan adanya suatu pemodelan yang cenderung berlaku pada situasi terbatas. Situasi terbatas ini menunjukkan bahwa, perilaku kompulsif hanya ditujukan pada individu yang cenderung mengalami kondisi jiwa atau mental yang menyimpang. Perkembangan studi literatur peri-laku konsumen, perilaku kompulsif bisa terjadi pada setiap individu yang memiliki kondisi jiwa yang normal (D’Astous, Maltais, & Roberge, 1990). Perilaku kompul-sif bisa terjadi pada perilaku pembelian konsumen secara umum, khususnya pada individu yang memiliki daya beli cukup dan kecenderungan untuk membeli produk dengan frekuensi tinggi (Glatt & Cook, 1987; Faber, Christenson, Zwaan, Mitchell, 1995).
Hal ini berarti bahwa, ada suatu pendekatan lain di luar pendekatan psikiatrik untuk menjelaskan, memprediksi, dan memahami perilaku kompulsif lebih mendalam. Perilaku pembelian kompulsif didefinisi sebagai perilaku konsumsi negatif. Perilaku ini dikarakteristikkan sebagai :
1)     Pembelian produk ditujukan bukan karena nilai guna produk
2)     Konsumen yang membeli produk secara terus-menerus tidak mempertimbangkan dampak negatif pembelian
3)     pembelian produk yang tidak bertujuan memenuhi kebutuhan utama dalam frekuensi tinggi dapat mempengaruhi harmonisasi dalam keluarga dan lingkungan social
4)     perilaku ini merupakan perilaku pembelian yang tidak bisa dikontrol oleh individu
5)     ada dorongan yang kuat untuk mempengaruhi konsumen segera membeli produk tanpa mempertimbangkan risiko, misalnya keuangan
6)     pembelian dilakukan secara tiba-tiba tanpa mencari informasi
7)     pembelian dilakukan untuk menghilangkan kekhawatiran atau ketakutan dalam diri; (8) perilaku yang ditujukan untuk melakukan kompensasi, misalnya kurangnya perhatian keluarga (Krueger, 1988; Magee, 1994).
Isu ini mengetengahkan adanya pergeseran perspektif dalam memahami perilaku pembelian kompulsif dari perspektif psikiatrik ke perspektif lain yakni perspektif psikologi.. Pendekatan psikologi berkaitan dengan pemahaman emosi, sikap, motivasi yang dimiliki oleh konsumen. Pendekatan ini juga berkaitan dengan segi kejiwaan seseorang yang meliputi kepribadian. Mowen dan Spears (1999) berpendapat bahwa, aspek kepribadian bisa menjelaskan kecenderungan seseorang untuk melakukan perilaku kompulsif.
Perspektif psikologi ini dijelaskan oleh konrol diri dan nilai materialisme. Individu yang memiliki kontrol diri yang rendah, cenderung tidak mampu mengalih-kan perhatian untuk memiliki produk baru (Hirschman,1992).
Pendekatan psikologi lain yang diuji adalah nilai materialisme. Sifat materialistis cenderung menyebabkan individu untuk berusaha memperkaya diri dengan terus menerus menumpuk kekayaan (Richins & Dawson, 1992). Tindakan untuk mengumpulkan kekayaan atau materi merupakan sumber kebahagiaan dan kesuksesan. Tindakan untuk memperkaya diri yang dilakukan dengan frekuensi tinggi menyebabkan individu untuk melakukan kompulsif. Menurut Richin dan Dawson (1992) konsep ini terdiri dari tiga dimensi, yaitu : kesuksesan, sentralitas dan kebahagiaan.

Referensi :
jurnal.upi.edu/file/Prima.pdf

3. consumer ethnocentrism
Sikap etnosentrisme adalah sikap yang menggunakan pandangan dan cara hidup dari sudut pandangnya sebagai tolok ukur untuk menilai kelompok lain.
Apabila tidak dikelola dengan baik, perbedaan budaya dan adat istiadat antarkelompok masyarakat tersebut akan menimbulkan konflik sosial akibat adanya sikap etnosentrisme. Sikap tersebut timbul karena adanya anggapan suatu kelompok masyarakat bahwa mereka memiliki pandangan hidup dan sistem nilai yang berbeda dengan kelompok masyarakat lainnya.
etnosentrisme adalah kebiasaan setiap kelompok untuk menganggap kebudayaan kelompoknya sebagai kebudayaan yang paling baik. Etnosentrisme membuat kebudayaan kita sebagai patokan untuk mengukur baik buruknya, tinggi rendahnya dan benar ganjilnya kebudayaan lain dalam proporsi kemiripannya dengan kebudayaan kita. Sebagian besar meskipun tidak semuanya, kelompok dalam suatu masyarakat bersifat etnosentrime. Etnosentrisme adalah suatu tanggapan manusiawi yang universal, yang ditemukan dalam seluruh masyarakat yang dikenal, dalam semua kelompok dan praktisnya dalam seluruh individu.
Konsumen dengan etnosentrisme tinggi akan cenderung memiliki perasaan bersalah apabila mengonsumsi produk dari luar negeri karena berakibat buruk pada perekonomian bangsanya sendiri. Adapun konsumen dengan etnosentrisme rendah tidak merasakan hal tersebut. Implikasinya bagi pemasar adalah penggunaan penekanan pada aspek kebangsaan dalam penggunaan produk dalam negeri bagi konsumen dengan tingkat etnosentrisme tinggi.
Konsumen yang cenderung kurang etnosentris adalah mereka yang masih muda, mereka yang laki-laki, orang-orang yang berpendidikan lebih baik, dan mereka dengan tingkat pendapatan yang lebih tinggi. Karena  faktor-faktor penentu etnosentrisme konsumen dapat bervariasi dari satu negara ke negara dan budaya ke budaya. Di Turki, patriotiotisme ditemukan motif yang paling penting untuk etnosentrisme konsumen. Diteorikan, adalah karena budaya kolektivis Turki, dengan patriotisme menjadi ekspresi penting dari kesetiaan kepada kelompok.  Di Republik Ceko lebih individualistis, perasaan nasionalisme berdasarkan rasa superioritas dan dominasi muncul untuk memberikan kontribusi yang paling penting untuk etnosentrisme konsumen.
Referensi :
mbahkarno.blogspot.com/2012/10/pengertian-etnosentrisme-dan.html

Tidak ada komentar :

Posting Komentar