Selasa, 29 Maret 2011

Kisah Guru Bersahaja

Kisah Guru Bersahaja
Oleh : Tertiera Nurariefani Azizah

Rasa malu selalu menghampiriku setiap hari. Bahkan pelangi yang ada dalam raut wajah ibu sekejapnya hilang saat anak – anak itu mengejekku. Perasaan jijik – pun timbul saat wanita – wanita itu melihatku. Seperti melihat segerombolan cacing yang mengganggu penglihatan mereka. Aku lahir dalam keadaan kurang beruntung, kaki kananku yang cacat membuat aku sulit berjalan. Kedua orang tuaku adalah saudara sekandung. Dari segi genetika, hal tersebut sangat tidak dianjurkan karena saat mereka mempunyai keturunan, kemungkinan besar anak yang dilahirkan terlahir dengan keadaan kurang sempurna. Itulah yang menyebabkan Aku mempunyai kaki yang cacat. Keterbelakangan pendidikan dan kurangnya perhatian dari kedua orangtua-nya-lah yang membuat kedua orang tuaku menikah. Mereka tidak mengetahui hal tersebut akan menyebabkan keadaan fisikku berbeda dengan orang lain.
“Untung saja Darno anak tunggal, kamu sudah tidak bisa hamil lagi. Mungkin kalau kamu hamil, adik Darno akan bernasib sama sepertinya”. Ayahku berkata tanpa memikirkan perasaan Aku dan Ibuku. Ayahku seorang yang kasar, pemabuk, dan suka berjudi. Kata Ibu, Ayah dulu orang yang baik, suka menolong, dan pekerja keras. Tapi saat aku lahir ke Dunia ini, Ia menjadi frustasi, Ayah seakan-akan tidak terima melihat keadaanku yang seperti ini. Ia sangat membenciku.
Saat usiaku menginjak 19 tahun, Aku berniatan untuk hijrah ke Desa kecil yang jauh dari tempat kelahiranku. Aku bertekad untuk hidup mandiri tanpa tanggungan orang tua.
“Aku ingin menjadi Guru bu, aku ingin pergi ke Desa Batu, Darno dengar dari Mang Ujang, anak – anak disana membutuhkan seorang Guru. Darno ingin membantu mereka”.
“Kamu yakin nak? apa kamu tega meninggalkan Ibu bersama Ayahmu yang sering mabuk – mabukan ini?”. Ibunya memandang dengan berkaca-kaca.
“Tidak bu, tapi Darno harus pergi, ini kesempatan Darno untuk mengejar impian Darno. Darno akan mengirimkan ibu surat setiap minggu.” Raut wajahnya yang mantap membuat ibunya luluh dengan keputusan Darno untuk pergi. Tanpa berpamitan kepada Ayah, Aku pun berangkat dengan penuh harapan. Aku ingin membuktikan kepada semua orang terutama kepada ayahku, bahwa keterbatasan yang aku miliki saat ini tidak akan menjadi penghalang kesuksesanku. Ibu selalu mengatakan kepadaku bahwa Tuhan Maha Adil, dan Rezeki ditangan Tuhan. “Tapi, apabila aku tidak berusaha, apa tuhan akan memberi rezeki kepadaku?” Karena itu aku yakin dengan apa yang aku miliki sekarang dan dengan usahaku untuk menjadi lebih baik. Aku yakin Tuhan akan berlaku adil kepadaku.
Aku memang hanya lepasan Sekolah Dasar, tapi aku mempunyai tekad yang kuat. Menjadi seorang Guru adalah impianku sejak aku berumur lima tahun. Karena itu aku tidak pernah berhenti membaca dan terus belajar untuk mengejar impianku ini. Aku ingin mendidik, serta mengajar anak – anak agar menjadi orang yang berkualitas. Lebih dari orang Jepang ataupun Amerika sana. Di Desa kelahiranku, Aku selalu diremehkan, dicemooh, diejek karena kekurangan yang kumiliki. Motivasiku adalah Ibu. Ya, Aku memang sangat mencintai Ibuku. Karena itu Aku selalu bersemangat dalam mengarungi kehidupan yang berada dalam arus deras ini.
Dengan modal hanya sepuluh ribu rupiah Aku pergi ke Desa batu yang letaknnya ribuan kilometer dari rumahku. Dengan bertumpu kaki, Aku-pun tetap semangat berjalan menelusuri jalan. Hingga setengah perjalanan ada lelaki tua dermawan yang bersedia menumpangiku ke tempat tujuan. Hatiku sangat senang, bahagia, serta penuh gairah melihat impianku sudah di depan mata. Tidak sabar rasanya aku tiba di Desa yang akan aku pijaki. Berharap mentari yang cerah akan menjemputku suatu hari nanti.
Sungguh miris aku melihat Sekolah Dasar tempat aku mengajar ini. “Bagaimana siswa akan merasa nyaman belajar dengan keadaan seperti ini?”. Tembok yang bolong, atap yang bocor, plafon yang nyaris patah akan membahayakan keselamatan siswaku nanti. Bagaikan kandang sapi, bahkan lebih parah dari itu.
Melihat keceriaan para siswa ini, semangat belajar, serta harapan yang terlihat dari mata mereka yang mempunyai pandangan jauh kedepan membuatku lebih tertantang untuk membantu mereka. Dengan hanya bermodalkan badan dan alat seadanya yang aku pinjam dari warga Desa sekitar, serta bahan-bahan bekas yang digunakan untuk membetulkan plafon, aku-pun tergerak untuk membantu merapikan sekolah ini. Walau tidak maksimal, tapi sekiranya cukup untuk meningkatkan semangat anak – anak calon pemimpin negara ini.
Dengan semangat baru haripun berganti, anak – anak yang bersiap untuk mendulang ilmupun kini lebih bersemangat belajar. Enam kelas-pun usai aku berbagi pengetahuan. Disini hanya terdapat dua Guru, termasuk aku. Kami membagi tugas dengan mengajar masing – masing tiga kelas. Tapi dalam tiga hari aku belum bertemu dengan rekanku itu. Murid – murid bilang Ia sedang sakit.
Hari ke empat mengajar, dari luar jendela kelas aku melihat seorang wanita yang sangat cantik, berparas ayu, memancarkan aura kebaikan yang muncul dari caranya ia mengajar anak - anak. “Astaga! Apakah dia rekanku yang selama ini di sebut – sebut para muridku?”. Aku sangat kagum dengan kecantikan dan kelihaiannya dalam mendidik anak – anak. Ia juga  terlihat bersih, tidak menampakan dari keluarga miskin sepertiku dan Ia tampak seperti wanita yang berpendidikan.
Tiang-pun sudah diketukan, menandakan bel istirahat berbunyi. Wanita itu berjalan menghampiriku. Mungkin Ia heran ada lelaki usang berdiri melihatnya tidak berpaling. Tubuhku gemetar, layaknya seorng pria biasa aku-pun bisa merasakan ketertarikan dengan wanita.
“ maaf, bapak ini siapa ?”. wanita itu bertanya dengan herannya.
Suarnya yang halus, dan kata – katanya yang beraturan menandakan Ia adalah wanita yang berpendidikan, serta berada.
“ sa, saya Darno, saya Guru baru dari Desa Ranum”. Suaraku gemetar, gugup,  lidah ini kelu. Rasanya susah untuk mengatakan kata – kata yang ada di pikiranku.
“oh, saya Retno, dari Jakarta. Saya sudah tiga tahun mengajar disini”. Sambil menjabatkan tangannya ke Darno.
Darno pun tidak bisa berkata apa – apa. Rasanya seluruh darah dalam tubuhnya mengalir sangat kencang. Jantung pun berdetak sangat cepat. “Apa ini yang dinamakan cinta?” tidak bisa tidur aku memikirkan Retno. Bahkan tangan halusnya masih membekas dalam tanganku ini.
Berminggu – minggu sudah aku mengajar di SD Pancasila. Tak lupa aku pun selalu mengirimkan surat untuk Ibu. Anak – anak yang cerdas, serta masyarakat sekitar yang bersahaja membuat saya betah tinggal di Desa ini. Aku pun sangat menikmati pekerjaan ini. Walau terkadang tidak mendapat gaji, tapi aku tulus, ikhlas membantu anak – anak muridku untuk mengejar cita – citanya. Melihat pengorbanan Retno pun menjadi motivasiku untuk lebih bersemangat mengajar. Dengan sukarela kami berdua mendidik siswa – siswi SD Pancasila. Saya dan Retno-pun semakin dekat karena pekerjaan-lah yang mengharuskan kita untuk tetap bersama. Sampai pada suatu saat Retno menanyakan hal yang tidak terduga olehku.
“Mas Darno sudah punya istri-kah?” matanya menatap Darno dengan penuh keseriusan.
“Belum dik, toh mana ada yang mau dengan saya yang buntung ini. berjalan-pun susah, hanya bisa menyulitkan saja”. Darno menunduk dengan merendah diri.
“Retno mau”. Pipinya pun merah saat mengatakan hal itu.
Darno terkejut, dia bingung. Dalam hatinya bertanya. “apa semua wanita kota berani mengatakan hal yang seharusnya dikatakan lelaki?” namun dibalik pertanyaan itu Darno pun senang bukan kepayang rasanya bagaikan mimpi. Seperti dihempas ombak lautan yang sangat kencang, kemudian diselamatkan oleh bidadari. Darno dan Retno pun membayangkan akan membangun sekolah ini bersama- sama, mendidik anak – anak ini bersama – sama dan akan terus bersama.
Sampai pada akhirnya kami berdua menjalani hubungan baik. Aku pun berniat melamar Retno dan akan memperkenalkannya kepada orang tuaku. Saat jalan pulang, bertepatan dengan liburan semester, aku mengajak Retno ke rumah orang tuaku. Sepanjang jalan Aku merasa sangat bahagia, terasa nyaman, senang, saat didekat wanita yang Aku cintai ini. Saat dijalan, Retno pun hendak membelikan minum untuku di warung seberang. Dia memang wanita yang aku impi – impikan, sangat perhatian, dan setia.
Tanpa terduga – duga benda bermesin melesat kencang mendekati Retno. Aku bergegas menolongnya. Namun apadaya, Retno tertabrak mobil itu. Tanpa pikir panjang aku langsung membawanya kerumah sakit. Tidak peduli berapa uang yang aku punya, yang penting Retno selamat. Pemuda berjubah putih di Rumah Sakit menyuruhku untuk tetap menunggu dan bersabar. Perasaanku hancur remuk, penuh penyesalan. “kenapa tidak aku saja yang membeli minum?” air mata pun mengucur dari mataku.
Berselang beberapa menit, lelaki berjubah putih itu pun keluar dan menghampiriku.
“Maaf pak, wanita ini tidak dapat diselamatkan, ia telah dijemput oleh yang Maha Kuasa”. Dengan nada rendah penuh simpatik lelaki itu mengatakannya.
Mendengar kata – kata itu, aku tidak bisa berkata apa – apa. Aku pun langsung berlari dengan tergopoh-nya ke ruang perawatan Retno, aku peluk Ia. Berharap ini hanya mimpi, berharap Tuhan akan mengembalikannya kembali ke Bumi ini.
Namun itu semua hanya harapan. Seminggu sudah Retno meninggalkan aku. “esok aku sudah harus mengajar lagi. Liburan semester telah usai”. Tiada gunanya terus berlarut. Aku harus mengejar misi awalku berada di Desa ini. Yaitu menjadikan murid didikku menjadi orang yang berkualitas.
Melihat murid – murid ini aku-pun kembali bersemangat. Keceriaan mereka-lah yang membangkitkan semangatku untuk berbagi pengetahuan. Potensi – potensi yang dimiliki siswa – siswi ini seperti membakar semangatku. Bagaikan api yang telah lama redup, hitam menjadi abu, kemudian kembali berkobar dengan percikan panas mentari yang ada dalam senyuman mereka. Aku-pun berteriak dengan lantang. “Inilah awal dari kesuksesan kita!”.

Tidak ada komentar :

Posting Komentar