Nama : Tertiera .N. Azizah
Kelas : 3EA18
NPM : 19210435
Loyalitas
Konsumen
Perangkap
Loyalitas Pelanggan : Sebuah Pemahaman
Terhadap Noncomplainers Pada Seting Jasa
Titik Desi
Harsoyo, SE, MSi
April,
2009
LATAR BELAKANG
Loyalitas
pelanggan merupakan tujuan setiap penyedia jasa (service provider).
Sudah menjadi kesepakatan umum di kalangan praktisi dan akademisi di bidang
pemasaran, bahwa variabel tersebut lahir sebagai konsekuensi dari kepuasan
pelanggan. Artinya, pelanggan yang puas akan loyal kepada penyedia jasa yang
sama. Atau sebaliknya, pelanggan yang loyal selalu adalah pelanggan yang puas.
Kedua variabel ini memiliki hubungan yang sangat kuat dan berbanding lurus.
Artinya, jika kepuasan pelanggan meningkat maka loyalitas pelanggan juga akan
meningkat, dan demikian sebaliknya.
Meskipun
hampir dapat dipastikan bahwa pelanggan yang loyal adalah pelanggan yang puas,
ada pertanyaan yang menarik untuk direnungkan kembali. Seberapa akuratkah
kepuasan dalam membangun loyalitas? Apakah selalu benar bahwa di dalam konstrak
loyalitas hanya terdiri dari pelanggan yang puas saja? Ataukah ada kelompok
pelanggan tipe lain yang ikut pula berkontribusi terhadap pembentukan konstrak
tersebut?
Memahami perilaku tertentu dari
pelanggan akan memberikan pemahaman yang lebih jelas tentang kepuasan dan
loyalitas mereka. Pelanggan yang tidak puas tampaknya tidak selalu menunjukkan
perilaku yang sama. Sebagian dari mereka mungkin akan menyuarakan ketidakpuasan
dengan mengajukan keluhan (complain), tetapi tidak sedikit pula dari
mereka yang memilih untuk diam. Penanganan keluhan pelanggan akan berkaitan
erat dengan pemulihan jasa (service recovery), sedangkan perilaku diam
dari pelanggan yang tidak puas berhubungan erat dengan studi mengenai noncomplainers.
Keluhan yang tidak disuarakan (unvoiced complaint) sesungguhnya
merupakan opportuniy cost bagi organisasi untuk beberapa alasan:
1. Perusahaan akan
kehilangan kesempatan untuk mengidentifikasi kegagalan dan menentukan sumber
masalah Fornell dan Wernerfelt (1987 seperti dikutip oleh Voorhees et al.
2006).
2. Berpotensi mengakibatkan
perpindahan merek (brand switching)(Richins 1987 seperti dikutip
Voorhees et al. 2006).
3. Perusahaan gagal
mengatasi masalah dan mempertahankan pelanggan (Hirschman, 1970 dalam Stephens
dan Gwinner, 1998).
4. Merusak reputasi
perusahaan yang ditimbulkan oleh negative word-of-mouth yang disampaikan
oleh pelanggan tersebut kepada pihak lain.
5. Perusahaan gagal memperoleh feedback
tentang kualitas produknya sehingga gagal pula melakukan perbaikan.
Sebagai
respon terhadap semakin pentingnya manajemen penanganan keluhan bagi
perusahaan, semakin banyak studi dilakukan untuk menginvestigasi karakteristik
pelanggan yang mempengaruhi timbulnya keluhan. Dalam artikel empirisnya,
Voorhees et al (2006) menyebutkan dua penelitian yang menghasilkan temuan penting.
Singh pada tahun 1990 menemukan bahwa pelanggan yang sering mengajukan keluhan
adalah pelanggan usia muda, berlatarbelakang pendidikan yang baik, dan relatif
makmur. Sedangkan Richins pada tahun 1987 menemukan bahwa assertiveness,
aggression, attitude dan social activity akan mempengaruhi perilaku
mengeluh.
MASALAH
DAN TUJUAN
Garret dan Meyers (1996 seperti
dikutip oleh Susskin 2005) menjelaskan bahwa selama proses penyampaian jasa
berlangsung, pelanggan dan penyedia jasa memiliki peran masing-masing. Di satu
sisi, ketika membeli sebuah jasa, pelanggan akan membangun persepsi mengenai
kualitas layanan yang diberikan oleh pihak penyedia jasa. Di sisi lain,
penyedia jasa akan berusaha untuk mengidentifikasi persepsi pelanggan, dan jika
terjadi, mencari penyebab ketidakpuasan pelanggan. Jika layanan yang diterima
dari penyedia jasa ternyata tidak memenuhi harapan pelanggan, maka pelanggan
akan kecewa. Sesungguhnya pelanggan yang kecewa memiliki hak untuk menyampaikan
keluhan kepada penyedia jasa. Sebagai respon atas meningkatnya perhatian
terhadap keluhan pelanggan, semakin banyak studi bertema keluhan. Tetapi
sebagian besar porsi topik tersebut masih didominasi oleh studi literatur dan
empiris tentang complainers. Dan masih sedikit studi yang mengeksplorasi
kelompok pelanggan yang tidak puas tetapi tidak menyuarakan ketidakpuasannya.
Atau yang disebut sebagai noncomplainers. Oleh karena itu kajian
konseptual ini mencoba memberikan tambahan pemahaman mengenai noncomplainers.
Bahkan lebih spesifik lagi, tentang noncomplainers yang tetap loyal pada
penyedia jasa yang telah mengecewakan mereka. Memahami noncomplainers yang
loyal akan membantu mengungkap misteri variabel kepuasan dan loyalitas
pelanggan.
Complainers maupun noncomplainers adalah
pelanggan yang tidak puas dengan kinerja penyedia jasa. Complainers menyuarakan
kekecewaannya dan umumnya akan memperoleh pemulihan jasa (service recovery) dari
pihak penyedia jasa, sedangkan noncomplainers adalah pelanggan yang
tidak puas tetapi juga tidak menyatakan keluhannya. Selanjutnya noncomplainers
terbagi lagi ke dalam dua kelompok. Pertama, noncomplainers yang
tidak mengajukan keluhan dan langsung berpindah ke penyedia jasa yang lain.
Kedua, noncomplainers yang tidak menyuarakan keluhannya dan memutuskan
untuk tetap loyal kepada penyedia jasa. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah
mengapa ada sebagian dari noncomplainers yang memutuskan untuk tetap
loyal pada penyedia jasa yang telah gagal memenuhi harapan mereka, padahal
mereka sesungguhnya memiliki kebebasan untuk memutuskan hubungan dengan
penyedia jasa tersebut dan berpindah ke penyedia jasa lain yang lebih baik?
Melalui
studi literatur tentang kepuasan dan ketidakpuasan, kegagalan dan pemulihan
jasa, loyalitas pelanggan dan complainers maupun noncomplainers,
tulisan ini mencoba untuk menjawab pertanyaan tersebut dalam seting jasa.
TUJUAN
STUDI LITERATUR
Dengan memahami sikap maupun perilaku
noncomplainers dalam seting jasa, studi literatur ini mencoba untuk:
1. Mengidentifikasi
faktor-faktor yang sangat mungkin melatarbelakangi mengapa noncomplainers tetap
memutuskan untuk loyal kepada penyedia jasa yang sudah pernah mengecewakan
mereka.
2. Memberikan tambahan kajian
literatur tentang noncomplainers di seting jasa dan sekaligus
menyediakan referensi bagi penelitian selanjutnya.
METODOLOGI
PENELITIAN
Oliver (1999) menyebutkan bahwa
semula, penelitian tentang kepuasan pernah menjadi „raja‟ dalam area pemasaran. Tetapi kemudian terjadi pergeseran
posisi. Raja kemudian perlahan-lahan turun tahta dan digantikan oleh konsep
baru. Diantaranya dinyatakan oleh Deming pada tahun 1986 bahwa „tidak lagi
cukup hanya dengan memiliki pelanggan yang puas‟.
Kemudian paradigma penelitian kembali bergeser ketika Jones dan Sasser pada
tahun 1995 menyatakan bahwa „hanya semata-mata memuaskan pelanggan yang
sesungguhnya memiliki kebebasan untuk memilih tidak lagi cukup untuk membuat
mereka loyal‟. Ditambah lagi pernyataan Stewart
pada tahun 1997 dalam artikelnya yang berjudul „A Satisfied Customer Isn‟t Enough‟ menyebutkan bahwa asumsi „kepuasan dan loyalitas yang
selalu bergerak seperti tandem‟ tidaklah benar. Mengutip Bain &
Company, Reichheld pada tahun 1996 (seperti dikutip oleh Oliver, 1999)
menyebutkan bahwa di industri otomotif, 85% hingga 95% pelanggan menyatakan
puas, tetapi hanya 30% sampai 40% saja yang benar-benar kembali. Paradigma
terus bergeser. Mencari celah yang layak dipertanyakan dan dijawab. Bahkan
sekarang ini kita bisa dengan berani mengeksplorasi konstrak loyalitas untuk
menemukan jawaban atas pertanyaan „ada apa dengan loyalitas?‟, „loyalitas seperti apa yang telah diberikan pelanggan
kepada penyedia jasa?‟
Dengan tetap optimis bahwa kepuasan
masih menjadi prediktor paling kuat bagi loyalitas pelanggan, perlu dilakukan
kaji-ulang untuk menjawab pertanyaan apakah loyalitas yang dicapai oleh
penyedia jasa adalah loyalitas murni. Terlebih lagi jika sudah disadari bahwa noncomplainers yang tidak
menyuarakan keluhannya ternyata ikut berpotensi menciptakan loyalitas.
Customer Satisfaction
Customers expectancy selalu menjadi variabel penting yang
terlibat dalam diskusi tentang kepuasan pelanggan. Karena mendefinisikan
kepuasan pelanggan harus dimulai terlebih dahulu dari variabel harapan
pelanggan. Berkaitan dengan harapan pelanggan, Parasuraman et al. (1985 dalam
Martín et al. 2000) menjelaskan bahwa harapan pelanggan bersifat dinamis,
karena dapat berubah dari satu pelanggan ke pelanggan yang lain, dari situasi
yang satu dengan situasi yang lain bagi individu yang sama, atau bahkan dapat
bervariasi menurut atribut jasa. Akibatnya, pelanggan memiliki harapan yang
berbeda-beda. Zeithaml et al (1993 dalam Martín et al. 2000) menyatakan bahwa
harapan tersebut bertindak sebagai standar yang akan dibandingkan dengan
pengalaman jasa yang sesungguhnya, dan kemudian perbandingan tersebut akan menghasilkan
kepuasan maupun ketidakpuasan. Pada seting jasa, dalam confirmation-disconfirmation
theory (Oliver 1980) disebutkan bahwa confirmation terjadi jika
harapan sama dengan kinerja sesungguhnya dari penyedia jasa. Positive
disconfirmation terjadi jika kinerja sesungguhnya lebih baik daripada
harapan, sehingga menciptakan kepuasan pelanggan. Sedangkan negative
disconfirmation terjadi ketika kinerja sesungguhnya lebih buruk
dibandingkan harapan, sehingga mengarah pada ketidakpuasan.
Customer Loyalty
Perspektif tentang loyalitas
pelanggan yang selama ini kita gunakan dalam penelitian dan kajian konseptual,
ternyata telah mengalami banyak penyempurnaan dalam sejarah panjang literatur
akademik. Di bidang pemasaran, sebagian akademisi mengaitkan loyalitas
pelanggan dengan loyalitas merek (Copeland, 1923 dalam Homburg dan Giering
2001). Ada pula yang mengaitkannya dengan perilaku tertentu, yaitu pembelian
berulang terhadap barang atau jasa tertentu pada periode waktu tertentu
(Homburg dan Giering 2001). Akibatnya, pengukuran terhadap loyalitas pelanggan
masih hanya berfokus pada proses pembelian merek tertentu (Brown, 1952;
Churchill, 1942 dalam Homburg dan Giering 2001), proporsi pembelian terhadap
merek tertentu (Brody dan Cunningham, 1968; Cunningham, 1956 dalam Homburg dan
Giering 2001), probabilitas pembelian (Farley, 1964; Frank, 1962; Lipstein,
1959 dalam Homburg dan Giering 2001), mengkombinasikan beberapa perilaku
tertentu (Frank et al, 1969; Tucker, 1964 dalam Homburg dan Giering, 2001).
Tipologi Loyalitas
Tipologi loyalitas pelanggan
berdasarkan perspektif dua-dimensional. Loyalitas pelanggan terbagi menjadi
empat: high (true) loyalty, latent loyalty, spurious loyalty dan low
(or no) loyalty.
Pelanggan dengan loyalitas murni (true
loyalty) memiliki ikatan sikap yang kuat dan melakukan patronasi berulang
yang tinggi. Dalam seting jasa, berarti pelanggan yang memiliki loyalitas murni
akan setia melakukan patronasi terhadap penyedia jasa yang sama dan tidak
sensitif terhadap penawaran pesaing. Pelanggan yang berada pada kuadran latent
loyalty menunjukkan tingkat patronasi yang rendah, meskipun memiliki
komitmen attitudinal yang kuat terhadap penyedia jasa. Rendahnya tingkat
patronasi bisa disebabkan oleh dua hal. Pertama, karena mereka tidak memiliki
sumberdaya yang cukup untuk meningkatkan patronasi. Kedua, adalah karena harga,
akses atau distribusi yang ditetapkan oleh penyedia jasa tidak cukup mendukung
mereka untuk melakukan patronasi-ulang. Pelanggan yang sering melakukan
pembelian meskipun tidak memiliki ikatan emosional dengan merek jasa atau
penyedia jasa merupakan karakteristik pelanggan dengan loyalitas semu (spurious
loyalty or artificial loyalty). Pelanggan kelompok ini bahkan sama
sekali tidak menyukai merek atau penyedia jasa tertentu tetapi terus melakukan
pembelian pada penyedia jasa yang sama. Tingginya patronasi yang mereka lakukan
dapat dijelaskan oleh faktor-faktor seperti: kebiasaan membeli (habitual
buying), insentif finansial, alasan kemudahan, kurang atau tidak adanya
alternatif lain maupun faktor situasional individu. Terakhir, pelanggan yang
memiliki ikatan attitudinal dan patronasi ulang yang sama-sama rendah
berada pada low (or no) loyalty. Kelompok spurious loyalty dan low
loyalty sangat rentan terhadap penawaran kompetitor.
Service Failure dan Service Recovery
Intangibility, inseparability,
heterogeneity, perishability (Zeithmal 1985). Empat karakteristik unik yang
dimiliki oleh jasa mengakibatkan kepuasan dan loyalitas pelanggan terhadap jasa
menjadi lebih sulit untuk diprediksi dibandingkan barang. Ketika penyedia jasa
tidak mampu menampakkan ketidaktampakan (tangible the intangibility) jasa,
karyawan jasa gagal melakukan interaksi dua-arah dengan pelanggan, gagal
menjamin konsistensi standar layanan dan tidak memenuhi permintaan pelanggan
pada saat mereka membelinya, bahkan pada periode peak season sekalipun,
maka tentu saja pelanggan akan kecewa dan tidak puas. Berbicara tentang
kegagalan jasa tidak dapat dipisahkan dari pemulihan jasa (service
recovery). Sebab ketika penyedia jasa gagal memberikan kinerja yang
maksimal, maka sudah seharusnya mereka kemudian melakukan pemulihan jasa.
Berdasarkan confirmation-disconfirmation theory, kegagalan jasa (service
failure) terjadi ketika kinerja aktual penyedia jasa berada di bawah harapan
pelanggan (Hoffman dan Bateson, 1997 dalam Hess et al. 2003). Sedangkan service
recovery meliputi tindakan dan aktifitas yang dilakukan oleh penyedia jasa dan
karyawannya untuk memperbaiki, mengganti kerugian dan memulihkan hilangnya
pengalaman pelanggan (Bell dan Zemke, 1987; Gronroos, 1998 dalam Hess et al,
2003). Bentuk pemulihan jasa dapat bervariasi, misalnya pembayaran ganti rugi,
diskon, meningkatkan layanan, memberikan barang atau jasa gratis, permintaan
maaf dan pemahaman terhadap masalah (Kelley et al, 1993 dalam Hess et al,
2003). Diskusi tentang kegagalan jasa maupun pemulihan jasa sangat berkaitan
erat dengan service encounter dimana pelanggan bertemu dan berinteraksi
langsung dengan karyawan jasa. Dengan mengambil obyek penelitian restoran, Hess
et al (2003) menginvestigasi tentang bagaimana pengaruh hubungan
pelanggan-organisasi terhadap reaksi pelanggan ketika terjadi kegagalan dan
pemulihan jasa. Jika hubungan pelanggan-organisasi jasa berjalan baik, maka
akibat yang ditimbulkan oleh kegagalan jasa dapat diminimalkan oleh hubungan
baik tersebut. Dan jika hubungan pelanggan-organisasi berjalan baik, maka
pelanggan memiliki harapan yang rendah terhadap pemulihan jasa. Hasil
penelitiannya menunjukkan bahwa hubungan baik antara pelanggan-organisasi
ternyata dapat membantu melindungi organisasi jasa dari efek negatif yang
diakibatkan oleh kegagalan jasa. Pelanggan yang memiliki harapan tinggi tentang
kontinuitas hubungannya dengan organisasi jasa ternyata menunjukkan harapan
pemulihan yang lebih rendah, dan pada gilirannya akan menyebabkan tingginya
tingkat kepuasan terhadap kinerja penyedia jasa setelah pemulihan. Dengan kata
lain, pelanggan yang memiliki hubungan baik dengan penyedia jasa pada umumnya
akan memiliki tingkat toleransi yang lebih tinggi terhadap kegagalan jasa.
Customer Complaint dan Complaint Handling
Saat ini, complaint handling menjadi
topik yang semakin diminati dalam area pemasaran jasa. Semakin banyak
organisasi yang mendukung pelanggan mereka untuk mengajukan keluhan jika tidak
puas (East 2000). Penyampaian keluhan oleh pelanggan memberikan benefit bagi
organisasi, antara lain: organisasi memiliki kesempatan untuk mengatasi
ketidakpuasan, mengurangi komentar negatif yang disampaikan oleh pelanggan pada
pihak ketiga, memperoleh informasi pasar yang bermanfaat dan sekaligus
mempertahankan pelanggan (Gilly dan Hansen 1985 seperti dikutip oleh East
2000). The Economist (2000) seperti dikutip oleh Maxham dan Netemeyer (2002)
melaporkan bahwa keluhan pelanggan meningkat tajam. Meskipun riteler tidak
mungkin mengeliminasi keluhan, tetapi mereka dapat belajar bagaimana mengelola
keluhan pelanggan secara efektif. Bahkan banyak perusahaan yang menganggap complaint
handling sebagai sebuah investasi untuk meningkatkan komitmen pelanggan dan
untuk membangun loyalitas pelanggan (Tax et al. 1998). Complaint handling akan
menentukan bentuk pemulihan jasa yang seharusnya diberikan kepada pelanggan
yang tidak puas. Berkaitan dengan siapa yang bertanggungjawab melakukan
pemulihan jasa, tidak mengherankan jika banyak studi diarahkan untuk
mengeksplorasi elemen-elemen di dalam organisasi yang mendukung kontak antara
karyawan dan pelanggan. Bell dan Luddington (2006) meneliti perilaku karyawan
jasa sehubungan dengan bagaimana mereka mengatasi keluhan. Dengan
menginvestigasi pengaruh variabel afektifitas positif, afektifitas negatif,
komitmen karyawan terhadap pelanggan dan menggunakan variabel training sebagai
variabel kontrol, ditemukan bahwa keluhan pelanggan menimbulkan dampak negatif
terhadap komitmen karyawan jasa. Selain itu, keluhan pelanggan mungkin akan
menimbulkan peran konflik. Perilaku karyawan yang diharapkan oleh pelanggan dan
organisasi jasa seringkali tidak searah. Karyawan jasa seringkali harus berada
pada posisi tidak nyaman, misalnya ketika harus menyampaikan kepada pelanggan
bahwa menu pesanan tidak tersedia karena keterbatasan persediaan barang. Atau
ketika karyawan harus menyampaikan penolakan retur barang kepada pelanggan.
Noncomplainers yang tetap loyal pada penyedia jasa yang lama
Seperti disebutkan sebelumnya, noncomplainers
adalah pelanggan yang tidak puas dan tidak menyuarakan ketidakpuasan
mereka. Kajian konseptual ini mengeksplorasi noncomplainers menjadi dua
kelompok. Pertama: noncomplainers yang berpindah ke penyedia jasa lain.
Kedua: noncomplainers yang tetap loyal pada penyedia jasa semula. Tidak
seperti pelanggan yang mengalami pemulihan jasa dari penyedia jasa maupun complainers
yang menerima pemulihan jasa yang memuaskan, noncomplainers tidak
menerima pemulihan jasa. Oleh karena itu noncomplainers memperoleh
pengalaman jasa yang negatif (Voorhees et al 2006).
KESIMPULAN dan PENUTUP
Studi literatur ini mengaitkan
loyalitas pelanggan dengan perilaku noncomplainers dalam seting jasa. Noncomplainers
adalah pelanggan yang tidak puas dengan kinerja penyedia jasa, tetapi tidak
menyampaikan keluhan. Selanjutnya studi literatur ini mencoba memperluas
konsep. Pertama, noncomplainers dikelompokkan lagi menjadi dua, yaitu
noncomplainers yang berpindah ke penyedia jasa yang lain dan noncomplainers yang
memutuskan untuk tetap loyal kepada penyedia jasa yang sudah mengecewakannya.
Sementara pada literatur sebelumnya tentang kemungkinan perilaku noncomplainers
yaitu voice, exit dan negative word-of-mouth, studi literatur
ini mencoba mengajukan proposisi tentang kemungkinan lain yaitu loyal.
Pembuktian variabel yang diduga menjadi alasan mengapa loyal-noncomplainers
tetap setia, tentu saja memerlukan studi lanjutan. Terakhir, studi literatur
ini diharapkan dapat memberikan pencerahan munculnya ide baru tentang noncomplainers
bagi studi selanjutnya.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar