1. consumer
innovativeness
Tingkat dimana konsumen menerima
produk baru, layanan baru, atau praktik baru. Sifat ini penting untuk konsumen
dan pemasar karena keduanya bisa mendapatkan keuntungan dari inovasi yang
tepat. Peneliti banyak konsumen telah mencoba untuk mengembangkan instrumen
pengukuran untuk mengukur tingkat inovasi konsumen.
Para pemasar seringkali berusaha untuk mempelajari perilaku dari para
consumer innovators, yaitu mereka yang selalu menjadi yang pertama untuk
mencoba hal-hal baru baik barang, jaa maupun kegiatan-kegiatan baru. Tanggapan
dari para innovator ini seringkali merupakan gambaran mengenai akan sukses atau
tidaknya suatu produk dipasaran.
Seperti saat kita membeli kaset
lagu. Misalkan kita pendengar lagu pop. Suatu saat anda membandingkan dengan
kaset lagu teman anda dengan aliran yang berbeda seperti lagu rock. Setelah
anda membandingkannya. Anda berpikiran untuk membeli kaset tersebut. Walaupun
anda bukan pecinta lagu rock.
Referensi :
2. compulsive consumer / konsumen kompulsif
Perilaku pembelian kompulsif merupakan salah satu bagian
dari konsumsi kompulsif yang merupakan sisi negatif dari sebuah perilaku
konsumsi (Mowen dan Minor, 2002: 130). Konsumen yang kompulsif adalah konsumen
yang merasa ketagihan, dalam beberapa kondisi mereka berlaku diluar kontrol dan
sikap mereka dapat berdampak buruk bagi diri sendiri maupun orang lain.
Perilaku berbelanja yang tidak terkontrol, berjudi, merokok,
kecanduan narkoba, dan pecandu alkohol merupakan beberapa contoh dari konsumsi
kompulsif (Schiffman dan Kanuk, 2007: 119).
Pembeli kompulsif adalah konsumen yang keranjingan belanja
atau cenderung suka membelanjakan uang untuk membeli barang meskipun barang
tersebut tidak mereka butuhkan. Untuk beberapa pelaku kompulsif, uang dan harta
benda telah menggantikan keberadaan teman, keluarga bahkan “tempat ibadah”.
Pusat perbelanjaan telah menjadi pengganti “tempat ibadah” dan berbelanja
menjadi
“ritualnya” (Boundy, 2000 dalam Yang, 2006).
Hasil penelitian Koran, dkk., (2006) terhadap 2.500
orang responden mempertegas bahwa fenomena pembelian kompulsif sudah sedemikian
parah terjadi pada masyarakat baik pada kaum wanita maupun kaum pria bahkan
pembelian kompulsif akan menyebabkan penderitaan psikologis dan dampak serius
pada kehidupan individu seperti berhutang (Dittmar, 2005). Pembelian kompulsif
terjadi karena ketegangan psikologi yang menyebabkan meningkatnya keinginan
seseorang untuk melakukan pembelian saat itu juga (Roberts dan Pirog III,
2004).
Dasawarsa terakhir ini banyak kita jumpai generasi muda kita
yang masih berstatus sebagai siswa sering berada di mall dan menunjukkan
perilaku yang konsumtif. Hal ini sangat mengkhawatirkan orang tua pada umumnya,
dan bagi para pendidik pada khususnya. Bagi akademisi, hal ini patut dicermati
dan dikaji lebih mendalam.
Perilaku konsumtif tersebut oleh kalangan akademis dikenal
sebagai perilaku pembelian kompulsif. Fenomena tentang perilaku pembelian
kompulsif konsumen menjadi objek kajian dalam studi di bidang pemasaran
khususnya perilaku konsumen. Studi-studi empiris yang terdahulu mengindikasi
adanya fenomena kompulsif yang ditinjau dari perspektif psikiatrik individu
(Roberts, 2000; Roberts & Jones, 2001; Dittmar, 2005).
Perspektif psikiatrik individu menunjukkan bahwa, individu
yang melakukan suatu tindakan kompulsif cenderung mengalami suatu
ketidakteraturan kondisi jiwa, memiliki penyimpangan seksual, cenderung
menyukai suatu tindakan perjudian, penggunaan alkohol yang berlebihan, pola
makan tidak teratur, dan penggunaan obat yang tidak tepat (Hirschman, 1992;
Lesieur & Heineman, 1988; Lesieur & Blume, 1991).
Fokus pendekatan psikiatrik menyebabkan adanya suatu
pemodelan yang cenderung berlaku pada situasi terbatas. Situasi terbatas ini
menunjukkan bahwa, perilaku kompulsif hanya ditujukan pada individu yang
cenderung mengalami kondisi jiwa atau mental yang menyimpang. Perkembangan
studi literatur peri-laku konsumen, perilaku kompulsif bisa terjadi pada setiap
individu yang memiliki kondisi jiwa yang normal (D’Astous, Maltais, &
Roberge, 1990). Perilaku kompul-sif bisa terjadi pada perilaku pembelian
konsumen secara umum, khususnya pada individu yang memiliki daya beli cukup dan
kecenderungan untuk membeli produk dengan frekuensi tinggi (Glatt & Cook,
1987; Faber, Christenson, Zwaan, Mitchell, 1995).
Hal ini berarti bahwa, ada suatu pendekatan lain di luar
pendekatan psikiatrik untuk menjelaskan, memprediksi, dan memahami perilaku
kompulsif lebih mendalam. Perilaku pembelian kompulsif didefinisi sebagai
perilaku konsumsi negatif. Perilaku ini dikarakteristikkan sebagai :
1)
Pembelian produk ditujukan bukan karena nilai
guna produk
2)
Konsumen yang membeli produk secara
terus-menerus tidak mempertimbangkan dampak negatif pembelian
3)
pembelian produk yang tidak bertujuan memenuhi
kebutuhan utama dalam frekuensi tinggi dapat mempengaruhi harmonisasi dalam
keluarga dan lingkungan social
4)
perilaku ini merupakan perilaku pembelian yang
tidak bisa dikontrol oleh individu
5)
ada dorongan yang kuat untuk mempengaruhi
konsumen segera membeli produk tanpa mempertimbangkan risiko, misalnya keuangan
6)
pembelian dilakukan secara tiba-tiba tanpa
mencari informasi
7)
pembelian dilakukan untuk menghilangkan
kekhawatiran atau ketakutan dalam diri; (8) perilaku yang ditujukan untuk melakukan
kompensasi, misalnya kurangnya perhatian keluarga (Krueger, 1988; Magee, 1994).
Isu ini mengetengahkan adanya pergeseran perspektif dalam
memahami perilaku pembelian kompulsif dari perspektif psikiatrik ke perspektif
lain yakni perspektif psikologi.. Pendekatan psikologi berkaitan dengan
pemahaman emosi, sikap, motivasi yang dimiliki oleh konsumen. Pendekatan ini
juga berkaitan dengan segi kejiwaan seseorang yang meliputi kepribadian. Mowen
dan Spears (1999) berpendapat bahwa, aspek kepribadian bisa menjelaskan kecenderungan
seseorang untuk melakukan perilaku kompulsif.
Perspektif psikologi ini dijelaskan oleh konrol diri dan
nilai materialisme. Individu yang memiliki kontrol diri yang rendah, cenderung
tidak mampu mengalih-kan perhatian untuk memiliki produk baru (Hirschman,1992).
Pendekatan
psikologi lain yang diuji adalah nilai materialisme. Sifat materialistis cenderung
menyebabkan individu untuk berusaha memperkaya diri dengan terus menerus
menumpuk kekayaan (Richins & Dawson, 1992). Tindakan untuk mengumpulkan kekayaan
atau materi merupakan sumber kebahagiaan dan kesuksesan. Tindakan untuk
memperkaya diri yang dilakukan dengan frekuensi tinggi menyebabkan individu
untuk melakukan kompulsif. Menurut Richin dan Dawson (1992) konsep ini terdiri
dari tiga dimensi, yaitu : kesuksesan, sentralitas dan kebahagiaan.
Referensi
:
jurnal.upi.edu/file/Prima.pdf
3. consumer ethnocentrism
Sikap
etnosentrisme adalah sikap yang menggunakan pandangan dan cara hidup dari sudut
pandangnya sebagai tolok ukur untuk menilai kelompok lain.
Apabila
tidak dikelola dengan baik, perbedaan budaya dan adat istiadat antarkelompok
masyarakat tersebut akan menimbulkan konflik sosial akibat adanya sikap
etnosentrisme. Sikap tersebut timbul karena adanya anggapan suatu kelompok
masyarakat bahwa mereka memiliki pandangan hidup dan sistem nilai yang berbeda
dengan kelompok masyarakat lainnya.
etnosentrisme
adalah kebiasaan setiap kelompok untuk menganggap kebudayaan kelompoknya sebagai
kebudayaan yang paling baik. Etnosentrisme membuat kebudayaan kita sebagai
patokan untuk mengukur baik buruknya, tinggi rendahnya dan benar ganjilnya
kebudayaan lain dalam proporsi kemiripannya dengan kebudayaan kita. Sebagian
besar meskipun tidak semuanya, kelompok dalam suatu masyarakat bersifat
etnosentrime. Etnosentrisme adalah suatu tanggapan manusiawi yang universal,
yang ditemukan dalam seluruh masyarakat yang dikenal, dalam semua kelompok dan
praktisnya dalam seluruh individu.
Konsumen dengan etnosentrisme tinggi akan cenderung memiliki
perasaan bersalah apabila mengonsumsi produk dari luar negeri karena berakibat
buruk pada perekonomian bangsanya sendiri. Adapun konsumen dengan etnosentrisme
rendah tidak merasakan hal tersebut. Implikasinya bagi pemasar adalah
penggunaan penekanan pada aspek kebangsaan dalam penggunaan produk dalam negeri
bagi konsumen dengan tingkat etnosentrisme tinggi.
Konsumen yang cenderung kurang etnosentris adalah mereka yang masih
muda, mereka yang laki-laki, orang-orang yang berpendidikan lebih baik, dan
mereka dengan tingkat pendapatan yang lebih tinggi.
Karena faktor-faktor penentu etnosentrisme konsumen dapat bervariasi
dari satu negara ke negara dan budaya ke budaya. Di Turki, patriotiotisme
ditemukan motif yang paling penting untuk etnosentrisme
konsumen. Diteorikan, adalah karena budaya kolektivis Turki, dengan
patriotisme menjadi ekspresi penting dari kesetiaan kepada
kelompok. Di Republik Ceko lebih individualistis, perasaan
nasionalisme berdasarkan rasa superioritas dan dominasi muncul untuk memberikan
kontribusi yang paling penting untuk etnosentrisme konsumen.
Referensi :
mbahkarno.blogspot.com/2012/10/pengertian-etnosentrisme-dan.html
Tidak ada komentar :
Posting Komentar