Nama : Tertiera Nurariefani Azizah
Kelas : 3EA18
NPM : 19210435
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Loyalitas
konsumen selalu menjadi topik yang tidak habis untuk dieksplorasi. Loyalitas
konsumen telah dihubungkan dengan banyak sekali variabel lainnya. Dilihat dari
faktor – faktor yang mempengaruhi, ragam variable, maupun sisi psikologis
pencarian variasi dari konsumen terkait. Loyalitas Konsumen berhubungan dengan
kepuasan konsumen. Setiap perusahaan sangat mengharapkan memiliki konsumen /
pelanggan yang loyal terhadap produk atau jasa yang ditawarkan . Untuk itu,
menarik bagi saya menggarap masalah tentang loyalitas konsumen yang dilihat
dari berbagai aspek dan variable penting lainnya.
1.2 Masalah dan Tujuan
1.2.1 Permasalahan
Studi ini menguji sebuah model yang menjelaskan
aspek internal sebagai stimuli dalam mempengaruhi konsumen untuk melakukan
pencarian variasi. Adapun dilihat dari berbagai variable. Aspek yang dianalisis
sejalan dengan isu yang dibahas berkaitan dengan pentingnya aspek internal
konsumen, yaitu persepsi konsumen terhadap stimuli lingkungan yang dihadapi.
Aspek internal konsumen dijelaskan oleh konsep tingkat stimulasi optimum
sebagai bagian dari perspektif psikologi seseorang terhadap stimuli tertentu.
Konsep tingkat stimulasi optimum merupakan konsep yang menjelaskan sisi
internal individu yang menunjukkan kondisi psikologis konsumen untuk melakukan
pencarian variasi. Studi mengenai pengaruh tingkat stimulasi optimum pada
konsep-konsep, misalnya adopsi produk baru, pencarian informasi, pengambilan
produk sudah diuji secara impiris (Mittelstaedt, Grossbart, Curtis, 1976; Raju
& Venkatesan, 1980; Joachimsthaler & Lastovicka, 1984; Wahlers &
Etzel, 1986)
Selain membahas pengaruh aspek internal konsumen
pada perilaku pencarian variasi, studi ini juga menguji pengaruh perilaku
pencarian variasi pada loyalitas kesikapan, variable yang mempengaruhu
loyalitas konsumen, serta pembahasan yang lebih dalam lagi, yakni
noncomlainers.
Memahami perilaku tertentu dari pelanggan akan memberikan pemahaman
yang lebih jelas tentang kepuasan dan loyalitas mereka. Pelanggan yang tidak
puas tampaknya tidak selalu menunjukkan perilaku yang sama. Sebagian dari
mereka mungkin akan menyuarakan ketidakpuasan dengan mengajukan keluhan (complain),
tetapi tidak sedikit pula dari mereka yang memilih untuk diam. Penanganan
keluhan pelanggan akan berkaitan erat dengan pemulihan jasa (service
recovery), sedangkan perilaku diam dari pelanggan yang tidak puas
berhubungan erat dengan studi mengenai noncomplainers. Keluhan yang
tidak disuarakan (unvoiced complaint) sesungguhnya merupakan opportuniy
cost bagi organisasi untuk beberapa alasan:
1. Perusahaan akan
kehilangan kesempatan untuk mengidentifikasi kegagalan dan menentukan sumber
masalah Fornell dan Wernerfelt (1987 seperti dikutip oleh Voorhees et al.
2006).
2. Berpotensi mengakibatkan
perpindahan merek (brand switching)(Richins 1987 seperti dikutip
Voorhees et al. 2006).
3. Perusahaan gagal
mengatasi masalah dan mempertahankan pelanggan (Hirschman, 1970 dalam Stephens
dan Gwinner, 1998).
4. Merusak reputasi
perusahaan yang ditimbulkan oleh negative word-of-mouth yang disampaikan
oleh pelanggan tersebut kepada pihak lain.
5.
Perusahaan gagal memperoleh feedback tentang kualitas produknya sehingga
gagal pula melakukan perbaikan.
Sebagai respon terhadap
semakin pentingnya manajemen penanganan keluhan bagi perusahaan, semakin banyak
studi dilakukan untuk menginvestigasi karakteristik pelanggan yang mempengaruhi
timbulnya keluhan.
Berbicara tentang masalah “Konsep loyalitas
kesikapan” merupakan aspek internal konsumen yang penting untuk diperhatikan
karena secara manajerial, para praktisi pemasaran sulit untuk mempertahankan
loyalitas kesikapan konsumen yang didasari oleh motivasi yang beragam. Di satu
sisi, pemasar menginginkan konsumen untuk tidak berpindah pada merek lain; sedangkan
di sisi lain, konsumen merupakan individu yang selalu berusaha mencari stimulus
baru ketika stimuli lingkungan yang ada sudah tidak menarik lagi.
Gounaris dan
Stathakopoulos (2004) berpendapat bahwa, loyalitas kesikapan menjadi penting
bagi tujuan perencanaan pasar jangka panjang. Di samping itu, loyalitas
dijadikan dasar untuk pengembangan keunggulan kompetitif yang berkelanjutan,
yaitu keunggulan yang dapat direalisasi melalui upaya-upaya pemasaran.
Perusahaan-perusahaan yang berorientasi pada konsumen berusaha untuk memenuhi
kebutuhan konsumen sepanjang waktu secara lebih baik melalui penawaran produk
dengan variasi yang beragam (Sawhney, 1998; Nelson, 2002).
Karakteristik produk
beragam yang ditawarkan bisa menjadi pemicu bagi konsumen mencoba variasi
produk. Secara khusus, memahami loyalitas kesikapan merek penting bagi pemasar
karena bisa memahami aspek psikologis konsumen, yaitu berkaitan dengan aspek
afektif pada sebuah merek. Jika hanya memahami loyalitas keperilakuan, maka
pemasar merasa sulit untuk membedakan antara loyalitas merek dan perilaku
pembelian ulang. Perilaku pembelian ulang dapat diartikan sebagai perilaku
konsumen yang membeli sebuah produk secara berulang-ulang tanpa menyertakan
aspek afektif di dalamnya. Perilaku pencarian variasi menjadikan konsumen sulit
memiliki loyalitas kesikapan merek tertentu karena perilaku ini dilakukan oleh
konsumen yang mudah terbuka terhadap stimuli pemasaran (Oliver, 1999; Gounaris
& Stathakopoulos, 2004). Konsumen bisa dengan mudah untuk berpindah dari
satu merek ke merek produk lainnya karena berkeinginan untuk mencoba hal-hal
baru.
1.2.2
Tujuan
Berdasarkan uraian secara garis besar
konsep-konsep yang digunakan dalam penelitian ini, studi literatur ini mencoba
untuk:
1.
Apakah tingkat
stimulasi optimum mempengaruhi perilaku pencarian variasi?
2.
Apakah
perilaku pencarian variasi mempengaruhi loyalitas kesikapan?
3.
Mengidentifikasi
faktor-faktor yang sangat mungkin melatarbelakangi mengapa noncomplainers tetap
memutuskan untuk loyal kepada penyedia jasa yang sudah pernah mengecewakan
mereka.
4.
Memberikan
tambahan kajian literatur tentang noncomplainers di seting jasa dan
sekaligus menyediakan referensi bagi penelitian selanjutnya.
BAB
II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teori
Loyalitas konsumen secara
umum dapat diartikan kesetiaan seseorang atas suatu produk, baik barang maupun
jasa tertentu. Loyalitas konsumen merupakan manifestasi dan kelanjutan dari
kepuasan konsumen dalam menggunakan fasilitas maupun jasa pelayanan yang
diberikan oleh pihak perusahaan, serta untuk tetap menjadi konsumen dari
perusahaan tersebut. Loyalitas adalah bukti konsumen yang selalu menjadi
pelanggan, yang memiliki kekuatan dan sikap positif atas perusahaan itu. Dari
penjelasan di atas dapat diketahui bahwa masing-masing pelanggan mempunyai
dasar loyalitas yang berbeda, hal ini tergantung dari obyektivitas mereka
masing-masing.
Lovelock (1991:44)
menjelaskan bahwa tingkat kesetiaan dari para konsumen terhadap suatu barang
atau jasa merek tertentu tergantung pada beberapa faktor: besarnya biaya untuk
berpindah ke merek barang atau jasa yang lain, adanya kesamaan mutu, kuantitas
atau pelayanan dari jenis barang atau jasa pengganti, adanya risiko perubahan
biaya akibat barang atau jasa pengganti dan berubahnya tingkat kepuasan yang
didapat dari merek baru dibanding dengan pengalaman terhadap merek sebelumnya
yang pernah dipakai.”
Loyalitas bukan tentang
persentase dari konsumen yang sebelumnya membeli dari anda, tetapi tentang
pembelian ulang. Loyalitas adalah tentang persentase dari orang yang pernah
membeli dalam kerangka waktu tertentu dan melakukan pembelian ulang sejak
pembeliannya yang pertama.
Menurut Philip Kotler
(1997:262), loyalitas konsumen berdasarkan pola pembeliannya dapat dibagi
menjadi empat golongan:
- Golongan
Fanatik
Adalah
konsumen yang selalu membeli satu merek sepanjang waktu, sehingga pola membelinya
adalah X, X, X, X, yaitu setia pada merek X tanpa syarat
- Golongan
Agak Setia
Adalah
konsumen yang setia pada dua atau tiga merek. Di mana kesetiaan yang terpecah
antara dua pola (X dan Y) dapat dituliskan dengan pola membeli X, X, Y, Y, X,
Y
- Golongan
Berpindah Kesetiaan
Adalah
golongan konsumen yang bergeser dari satu merek ke merek lain, maka bila konsumen
pada awalnya setia pada merek X tetapi kemudian pada saat berikutnya berpindah
ke merek Y. Pola membelinya dapat dituliskan X, X, X, Y, Y
- Golongan
Selalu Berpindah-pindah
Adalah
kelompok konsumen yang sama sekali tidak setia pada merek apapun, maka pola
membelinya dapat dituliskan X, Y, Z, S, Z
2.2 Penelitian Terdahulu
Perspektif
tentang loyalitas pelanggan yang selama ini kita gunakan dalam penelitian dan
kajian konseptual, ternyata telah mengalami banyak penyempurnaan dalam sejarah
panjang literatur akademik. Di bidang pemasaran, sebagian akademisi mengaitkan
loyalitas pelanggan dengan loyalitas merek (Copeland, 1923 dalam Homburg dan
Giering 2001). Ada pula yang mengaitkannya dengan perilaku tertentu, yaitu
pembelian berulang terhadap barang atau jasa tertentu pada periode waktu
tertentu (Homburg dan Giering 2001). Akibatnya, pengukuran terhadap loyalitas
pelanggan masih hanya berfokus pada proses pembelian merek tertentu (Brown,
1952; Churchill, 1942 dalam Homburg dan Giering 2001), proporsi pembelian
terhadap merek tertentu (Brody dan Cunningham, 1968; Cunningham, 1956 dalam
Homburg dan Giering 2001), probabilitas pembelian (Farley, 1964; Frank, 1962;
Lipstein, 1959 dalam Homburg dan Giering 2001), mengkombinasikan beberapa
perilaku tertentu (Frank et al, 1969; Tucker, 1964 dalam Homburg dan Giering,
2001).
Menjawab
tantangan mengenai konsep loyalitas pelanggan, kemudian muncul sebuah kritikan
yang dikemukakan oleh Day (1969 dalam Homburg dan Giering 2001). Kritikannya
mengungkapkan bahwa tidak cukup jika mengukur loyalitas hanya berdasarkan
perilaku saja, karena berarti tidak akan ada perbedaan antara true loyalty dan
spurious loyalty. Spurious loyalty berasal dari pembeli yang tidak
memiliki keterlibatan dengan atribut merek, sehingga mereka akan mudah
berpindah ke merek lain yang menawarkan benefit yang lebih baik. Untuk memecahkan
masalah potensial tersebut, Day mengusulkan konsep loyalitas dua-dimensional,
dengan tetap menggunakan dimensi perilaku (behavioral) dan menambahkan
dimensi sikap (attitudinal). Perspektif baru ini menciptakan kemajuan
yang sangat besar di area pemasaran dan menjadi acuan bagi penelitian dan
kajian konseptual tentang loyalitas pelanggan hingga sekarang.
Salah
satu definisi loyalitas pelanggan yang melibatkan dimensi perilaku dan sikap
dikemukakan oleh Oliver (1999):
Customer
Loyalty is a “a deeply held commitment to rebuy or repatronize a preferred
product/service consistently in the future, thereby causing repetitive
same-brand or same-brand-set purchasing, despite situational influences and
marketing efforts having the potential to cause switching behavior.”
Loyalitas pelanggan dapat
berupa insensitifitas harga, positive word-of-mouth, patronasi ulang,
merekomendasikan kepada orang lain dan niat beli ulang (Parasuraman et al.
1985). Kepuasan hingga saat ini masih diyakini merupakan prediktor terkuat bagi
loyalitas pelanggan. Namun untuk menjawab seberapa kuatkan hubungan tersebut,
Homburg dan Giering (2001) melakukan penelitian tentang hubungan antara
kepuasan dan loyalitas, dengan melibatkan lima variabel moderator: jender,
usia, tingkat pendapatan, keterlibatan (involvement), dan pencarian
variasi (variety seeking). Dengan menggunakan 943 pelanggan dealer mobil
buatan Jerman sebagai sampel, hasil penelitian mengindikasikan bahwa diantara
kelima variabel moderator tersebut, ternyata usia tingkat pendapatan, dan
pencarian variasi terbukti memoderasi hubungan kepuasan dan loyalitas.
Complaining
sudah sejak lama menjadi perhatian studi di bidang pemasaran jasa.
Salah satunya dilakukan oleh Singh (1990). Penelitiannya menghubungkan keluhan
dan loyalitas dengan mengadopsi pendapat Richins (1983) yang menyatakan bahwa
keluhan paling sedikit akan terdiri dari tiga aktifitas: (1) mengajukan keluhan
kepada penjual (voice,) (2) berpindah merek/toko (exit) dan (3)
mengatakan ketidakpuasannya kepada orang lain (negative word-of-mouth). Data
dikumpulkan dari 497 pelanggan yang tidak puas pada tiga jenis jasa: toko
makanan-minuman, bengkel mobil dan perawatan kesehatan. Hasil penelitiannya
mengindikasikan terjadinya variasi pada variabel voice, exit maupun negative
word-of-mouth. Keluhan yang disampaikan oleh pelanggan yang tidak puasn (voice)
paling tinggi terjadi pada jasa bengkel mobil, diikuti toko makanan-minuman
(75,8%) dan paling rendah terjadi pada jasa perawatan kesehatan (47,2%).
Pelanggan tidak puas yang memutuskan untuk exit paling sering terjadi
pada jasa perawatan kesehatan (63%) dan paling sedikit terjadi pada toko
makanan-minuman (12,9%). Untuk variabel negative word-of-mouth, toko
makanan-minuman menghasilkan insiden terendah (28,2%). Sedangkan jasa perawatan
kesehatan dan bengkel mobil masing-masing 56,8% dan 56,9%.
Sebagian
besar studi mengenai complaining behavior dan complaint handling lebih
berfokus pada complainers. Tetapi belum banyak studi tentang noncomplainers.
Dua penelitian yang memberikan kontribusi besar tentang sikap dan perilaku
noncomplainers adalah studi yang dilakukan oleh Stephen dan Gwinner
(1998) dan Voorhees et al (2006).
1.
Stephens dan Gwinner (1998) mengkaji fenomena noncomplaining dengan
melibatkan variabel emosi pelanggan. Ia mengajukan proposisi tentang
keterlibatan emosi yang berupa: kemarahan, rasa jijik, penghinaan, kesedihan,
ketakutan, malu dan perasaan bersalah. Emosi inilah yang kemudian menjadi
alasan mengapa pelanggan yang tidak puas tidak menyampaikan keluhan.
Alasan noncomplainers
berpindah ke penyedia jasa yang lain dapat dijelaskan dengan konsep
perilaku berpindah merek (Switching behavior). Salah satu penelitian
yang banyak diacu dalam investigasi mengenai perilaku ini adalah studi yang
dilakukan oleh Keaveney (1995). Keaveney (1995) menemukan delapan variabel yang
berpotensi menyebabkan pelanggan berpindah merek jasa: pricing,
inconvenience, core service failure, service encounter failure, response to
service failure, competition, ethical problems dan involuntary switching
(perpindahan terpaksa). Dengan menggunakan referensi ini, mungkin
saja noncomplainers yang memutuskan untuk berpindah ke penyedia jasa
bisa disebabkan oleh ketidakpuasan mereka atas variabel-variabel tersebut.
Tanpa menyuarakan keluhannya, mereka berpindah ke penyedia jasa yang lain.
Penyedia jasa yang ditinggalkan kehilangan kesempatan untuk mengidentifikasi
kegagalan jasa dan tidak memiliki kesempatan untuk melakukan pemulihan jasa.
2.
Voorhees et al (2006) melakukan studi tentang noncomplainers melalui
studi kualitatif dan kuantitatif. Studi kualitatif dilakukan terhadap 149
pelanggan yang tidak puas, dengan tujuan untuk mengeksplorasi alasan mengapa
mereka tidak menyampaikan keluhan ketika mengalami kegagalan jasa. Dalam studi
kuantitatif, dilakukan perbandingan antara noncomplainers yang (1) menerima
pemulihan jasa atau (2) pelanggan yang keluar dari hubungan pelanggan-penyedia
jasa tanpa menerima pemulihan jasa dengan complainers yang (1) menerima
pemulihan jasa yang memuaskan, (2) pemulihan jasa yang tidak memuaskan dan (3)
tidak memperoleh pemulihan jasa. Studi kuantitatif dilakukan terhadap 530
responden. Kelima kelompok pelanggan tersebut dibandingkan berdasarkan intensi
pembelian, afeksi negatif, penyesalan, dan intensi untuk melakukan negative
word-of-mouth. Hasil penelitiannya membuktikan bahwa untuk variabel repurchase
intention, pelanggan yang memperoleh pemulihan jasa menunjukkan tingkat
niat beli ulang yang paling tinggi, kemudian berturut-turut diikuti oleh complainers
yang memperoleh pemulihan jasa yang memuaskan, noncomplainers, pelanggan
yang memperoleh pemulihan jasa yang tidak memuaskan dan terakhir adalah
complainners yang menerima pemulihan jasa tetapi tidak memperoleh pemulihan
jasa. Untuk variabel negative affect, pelanggan yang menerima pemulihan
jasa menunjukkan afeksi negatif yang paling rendah, kemudian diikuti oleh
pelanggan yang memperoleh pemulihan jasa yang memuaskan, noncomplainers, dan
complainers yang tidak memperoleh pemulihan jasa. Sedangkan untuk variabel
penyesalan (regret), pelanggan yang memperoleh pemulihan jasa yang
memuaskan menunjukkan tingkaat penyesalan yang terendah dibandingkan dengan
kelompok yang lain. Kemudian diikuti oleh noncomplainers, pelanggan yang
menerima pemulihan jasa yang diberikan oleh penyedia jasa, pelanggan yang tidak
menerima pemulihan jasa setelah mengajukan keluhan, dan terakhir adalah
complainers yang memperoleh pemulihan jasa yang tidak memuaskan. Pelanggan yang
menerima pemulihan jasa menunjukkan niat negative word-of-mouth yang
rendah. Kemudian diikuti oleh complainers yang memperoleh pemulihan jasa
yang memuaskan, noncomplainers, noncomplainers yang memperoleh
pemulihan jasa yang tidak memuaskan dan complainers yang sama sekali
tidak menerima pemulihan jasa.
2.3 Hipotesis
Dalam
studi, relationship marketing digunakan untuk menjelaskan intensitas perusahaan
dalam membangun hubungan panjang dengan pelanggannya, sehinga kaitannya dengan
loyalitas pelanggan, relationship marketing diproposisikan berpengaruh
positif pada variable tersebut. Dalam studi ini, fenomena yang dijelaskan
adalah semakin tinggi relationship marketing semakin tinggi loyalitas
pelanggan. Dengan demikian, hipotesis yang dirumuskan adalah:
H1: Semakin
tinggi intensitas perusahaan melakukan strategi relationship marketing, semakin
tinggi tingkat loyalitas pelanggan.
Customer
Trust. Variabel ini didefinisi sebagai kepercayaan pelanggan terhadap janji
perusahaan (Lihat Ndubisi 2007). Pengertian ini mengisyaratkan bahwa konsep
janji (membuat, menjaga dan memenuhi janji) merupakan suatu aspek yang dianggap
penting untuk membangun kepercayaan dengan mitra atau rekan kerja. Selanjutnya,
trust merupakan dasar yang dipertimbangkan penting untuk membangun
hubungan yang baik dengan konsumen dan menjadi elemen utama untuk mengembangkan
suatu hubungan antara perusahaan dengan konsumen (Lihat Liang dan Wang 2007).
Kaitannya
dengan relationship marketing, trust diproposisikan berkaitan
positif dengan relationship marketing. Pendapat ini mengacu pada studi
yang dilakukan oleh Too et al., (2000) dan Ndubisi (2007) yang
mengindikasi bahwa semakin tinggi tingkat kepercayaan, semakin tinggi tingkat
loyalitas pelanggan. Dengan demikian, hipotesis yang dirumuskan adalah:
H2: Semakin
tinggi tingkat kepercayaan, semakin tinggi loyalitas pelanggan.
Customer
commitment. Variabel ini didefinisikan sebagai keinginan yang
kuat yang bersifat terus menerus untuk selalu menjaga hubungan baik dengan
perusahaan (Lihat Fullerton 2003; Clark dan Maher 2007; Lacey 2007). Definisi
ini menjelaskan bahwa komitmen yang tinggi mengekspresikan upaya konsumen untuk
menjaga hubungan baik dengan perusahaan.
Studi
literatur mengindikasi 2 tipe komitmen yaitu affective commitment dan continuance
commitment (Fullerton 2003; Bansar et al. 2004; Dimtriades 2006). Affective
commitment dibangun melalui perasaan kecintaan yang tinggi pada perusahaan
yang dapat berupa komitmen individu yang kuat, atau kerelaannya sebagai anggota
organisasi dan mempunyai keterlibatan yang tinggi pada organisasi. Sedangkan continuance
commitment diartikan sebagai bentuk komitmen yang didasarkan pada
pendekatan biaya yang digunakan sebagai alasan utama untuk tetap bersama dengan
perusahaan.
Customer
commitment menjadi variabel kunci dalam menciptakan dan
memelihara relationship marketing. (Morgan dan Hunt 1994 dalam Fullerton
2005). Fenomena yang dijelaskan adalah semakin tinggi customer commitment semakin
tinggi loyalitas pelanggan (Shemweel et al 1993; Too et al 2000;
Ndubisi 2006). Dengan demikian, hipotesis yang diirumuskan untuk menjelaskan
fenomena ini adalah:
H3:
Semakin tinggi tingkat komitmen semakin tinggi loyalitas konsumen.
Citra variabel ini didefinisi sebagai kesan tertentu
yang dipersepsikan pelanggan terkait dengan nama, reputasi, symbol yang
digunakan oleh perusahaan dalam memasarkan produk-produknya. Hal ini mengacu
pada pengertian citra yang menjelaskan tingkatan persepsian individu terhadap
suatu produk, merek, atau perusahaan tertentu (Zeithaml dan Bitner 1996).
Dengan demikian, citra mendeskripsikan suatu gambaran atau image yang
baik yang mensinyalkan reputasi, pelayanan, harga, dan keseluruhan nilai yang
ditawarkan oleh perusahaan.
Ada
beberapa faktor yang mempengaruhi citra (image) perusahaan yaitu
pelayanan, fasilitas fisik, kualitas produk atau jasa (Palupi 2006).
Selanjutnya dijelaskan bahwa citra dapat terbentuk melalui dua faktor, yaitu
faktor komunikasi dan faktor pengalaman konsumen selama meengkonsumsi barang
atau jasa. Komunikasi antara suatu organisasi dengan publik dapat mempengaruhi
persepsi konsumen terhadap organisasi tersebut. Komunikasi dapat berupa promosi
yang dilakukan oleh perusahaan tersebut, misalnya brosur, poster atau media
informasi atau melaui komunikasi antara konsumen satu dengan konsumen lainnya
yang biasa disebut ‖word-of-mouth-communication”.
Pengaruh komunikasi jenis ini besar efeknya terutama terhadap persepsi
konsumen yang belum memiliki pengalaman berhubungan dengan perusahaan tersebut.
Faktor kedua yang mempengaruhi citra adalah pengalamn konsumen baik secara
langsung maupun tidak langsung dalam berhubungan dengan penyedia produk maupun
jasa. Jika konsumen memperoleh pengalaman yang bagus, maka niat berperilaku
mereka adalah positif seperti keinginan untuk melakukan pembelian ulang pada
satu toko dibanding toko lainnya, meningkatkan pembelian, dan
merekomendasikannya kepada orang lain.
Dalam
studi ini, citra merupakan variabel amatan yang dipertimbangakan penting oleh
pelanggan untuk membentuk pola hubungan utama dan hubungan interaksi dalam
kaitannya dengan proses pembentukan loyalitas pelanggan hotel. Hal ini berarti
bahwa kemungkinan pelanggan untuk loyal terhadap jasa hotel yang ditawarkan
terkait dengan kesesuian yang tinggi antara citra hotel yang dipersepsikan dan
citra yang diinginkan.
Dalam
konteks hubungan utama, kesesuaian citra diperkirakan mempengaruhi loyalitas
pelanggan hotel. Hal ini dapat terjadi, karena perusahaan yang mempunyai citra
yang baik berdampak pada keinginan konsumen untuk melakukan pembelian ulang.
Dengan demikian, hipotesis yang dirumuskan adalah:
H4:
Semakin tinggi kesesuaian citra, semakin tinggi loyalitas pelanggan.
Fasilitas
adalah sarana – sarana kelengkapan yang disediakan serta kemudahan
yang diberikan oleh pihak hotel kepada konsumen pemakai jasanya. Fasilitas
hotel dibuat untuk memberikan kepuasan bagi konsumen, sehingga dengan adanya
fasilitas yang baik menunjukkan adanya kualitas pelayanan yang baik pula.
Fasilitas
merupakan variabel amatan terakhir yang digunakan untuk menjelaskan pembentukan
loyalitas pelanggan. Variabel ini didefinisi sebagai tingkatan kelengkapan
fasilitas hotel yang ditawarkan untuk memuaskan pelanggan. Dalam studi ini,
fasilitas diperkirakan membentuk hubungan utama dan hubungan interaksi dalam
proses pembentukan loyalitas pelanggan.
Dalam
konteks hubungan utama, fasilitas yang lengkap diperkirakan mempengaruhi
loyalitas pelanggan hotel. Hal ini dapat terjadi, karena perusahaan yang
mempunyai kelengkapan fasilitas berdampak pada keinginan konsumen untuk
melakukan pembelian ulang. Dengan demikian, hipotesis yang dirumuskan adalah:
H5:
Semakin tinggi kelengkapan fasilitas semakin tinggi loyalitas pelanggan.
Hasil penelusuran studi
literatur tingkat stimulasi optimum dapat disimpulkan bahwa, individu yang
berada dalam tingkat stimulasi optimum menyebabkan individu melakukan pencarian
variasi. Tingkat stimulasi optimum ini merupakan aspek internal konsumen yang
lebih bersifat psikologis (Van Trijp, Hoyer, Inman, 1996). Teori motivasi arousal
menyatakan bahwa, keinginan individu untuk mencari sesuatu yang berbeda
merupakan hal yang alamiah dan manusiawi. Tingkat stimulasi ini bervariasi
antar individu. Ketika tingkat stimulasi lingkungan dipersepsi rendah, perilaku
pencarian variasi menjadi salah satu cara untuk meningkatkan stimulasi dan
memulihkannya pada kondisi yang disukai. Pada kondisi tersebut, individu
mempersepsikan stimuli lingkungan sebagai stimulasi yang cenderung monoton dan
tidak memiliki daya tarik lagi. Kondisi ini menimbulkan suatu afeksi negatif
dalam diri individu (Hill & Perkins, 1985; Perkins & Hill, 1985).
Individu akan memberikan penilaian rendah pada kondisi yang memiliki tingkat
stimuli yang monoton dan yang tidak menawarkan sesuatu yang baru. Oleh karena
itu, individu dengan tingkat stimulasi optimum secara terus-menerus cenderung
melakukan pencarian variasi. Berkaitan dengan kepemilikan produk, jika konsumen
menggunakan suatu produk dengan atribut tertentu secara terus-menerus, maka
pada waktu tertentu, konsumen akan mengalami kebosanan. Konsekuensinya,
konsumen akan mencari produk dengan atribut lain yang lebih menarik.
H6:
Tingkat stimulasi optimum berpengaruh positif pada perilaku pencarian variasi.
Hubungan antara perilaku
dan sikap dibahas dalam teori sikap. Sheth (1974) berpendapat bahwa, sikap
merupakan predisposisi evaluatif. Oleh karena itu, sikap memiliki konsekuensi
terhadap cara orang bertindak terhadap yang lain dan tindakan yang dilakukan.
Sikap selalu menjadi pendahulu perilaku. Meskipun asumsi ini sudah diterima
luas, hubungan antar keduanya tidak selalu demikian.
Berdasarkan kajian
literatur mengenai hubungan antara perilaku pencarian variasi dan loyalitas
kesikapan dapat disimpulkan bahwa, perilaku pencarian variasi mempengaruhi
loyalitas kesikapan secara negatif. Perilaku pencarian variasi dianggap sebagai
manifestasi bentuk kepribadian. Menurut teori loyalitas, individu yang
melakukan pencarian variasi dianggap tidak mampu mengembangkan loyalitas
kesikapan pada satu-satunya merek. Perilaku pencarian variasi bisa terjadi
ketika sejumlah produk baru dan menarik ditawarkan. Individu yang cenderung
terbuka terhadap sesuatu yang baru dan selalu mencobanya memiliki loyalitas
dengan tingkat yang bervariasi (Baldinger & Rubinson; 1997; Burgess &
Harris, 1998). Konsumen cenderung memiliki preferensi terhadap beberapa merek. Perilaku
pencarian variasi memiliki aspek keterlibatan merek rendah sehingga konsumen
yang melakukan pencarian variasi tidak memandang bahwa, produk yang dibeli
memiliki risiko keuangan tinggi. Ketika tidak mempersepsikan suatu risiko dalam
pemilihan suatu merek produk, konsumen mudah melakukan pemilihan merek lain.
Ketika melakukan pemilihan merek untuk variasi, konsumen akan memilih merek
lain selain merek yang pernah dipilih sebelumnya.
H7:
Perilaku pencarian variasi berpengaruh negatif pada loyalitas kesikapan.
H8: Noncomplainers berpindah ke penyedia
jasa yang lain.
H9: Noncomplainers
tetap setia kepada
penyedia jasa.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Metode Penelitian
Metode berasal dari kata “methodos”
yang berarti jalan untuk suatu usaha untuk mencapai tujuan. Selain itu Metode
adalah suatu cara yang berhubungan dengan upaya ilmiah untuk memecahkan suatu
masalah kerja, yaitu cara untuk memahami objek yang menjadi sasaran ilmu
pengetahuan yang bersangkutan. Sedangkan penelitian merupakan suatu usaha untuk
memberikan atau mencari kebenaran guna memecahkan masalah secara ilmiah. Oleh
karena itu di dalam penelitian ini dituntut untuk adanya langkah-langkah yang
sistematis sebagai suatu usaha untuk menemukan, mengemukakan, mengembangkan,
dan menguji kebenaran atau pengetahuan dimana usaha yang dilakukan dengan
menggunakan metode ilmiah (Hadi, 1996 : 70).
3.2
Variabel Penelitian dan Definisi Operasional
3.2.1
Variabel Penelitian
Variabel penelitian adalah
construct (abstraksi dari fenomena-fenomena kehidupan nyata yang
diamati) yang diukur dengan berbagai macam nilai untuk memberikan
gambaran yang lebih nyata mengenai fenomena-fenomena (Indriantoro dan
Supomo, 2002). Adapun variabel yang digunakan dalam penelitian ini
adalah :
a) Variabel dependen
Variabel
dependen adalah variabel yang nilainya dipengaruhi oleh variable independen
(Husein Umar, 2001). Variabel dependen dalam penelitian ini adalah loyalitas
pelanggan.
b) Variabel independen
Variabel
independen adalah variabel yang menjadi sebab terjadinya atau terpengaruhinya
variabel dependen (Husein Umar, 2001).
Variabel
independen dalam penelitian ini adalah :
- Kualitas
produk
- Kualitas
pelayanan
- Kepercayaan
pelanggan
3.2.2
Definisi Operasional
Definisi operasional
adalah penentuan construct sehingga menjadi variable yang dapat
diukur. Definisi operasional menjelaskan cara tertentu yang digunakan oleh
peneliti dalam mengoperasionalkan construct, sehingga memungkinkan bagi
peneliti lain untuk melakukan replikasi pengukuran dengan cara yang sama
atau mengembangkan cara pengukuran construct yang lebih baik
(Indriantoro dan Supomo, 2002).
Adapun definisi operasional dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut :
- Loyalitas
pelanggan
Jennie, 1997; dalam Nuraini, 2009; menyatakan
bahwa pelanggan yang setia adalah mereka yang sangat puas dengan produk
tertentu sehingga mempunyai antusiasme untuk memperkenalkannya kepada
siapapun yang mereka kenal. Selanjutnya, pada tahap berikutnya,
pelanggan yang loyal tersebut akan memperluas “kesetiaan” mereka kepada
produk-produk lain buatan produsen yang sama. Pada akhirnya mereka
adalah konsumen yang setia kepada produsen tertentu untuk selamanya. Di lain
pihak menurut Fornell (dalam Mouren Margaretha, 2004) loyalitas merupakan
fungsi dari kepuasan pelanggan, rintangan pengalihan, dan keluhan pelanggan.
Pelanggan yang puas akan dapat melakukan pembelian ulang pada waktu yang akan
datang dan memberitahukan kepada orang lain atas apa yang dirasakan.
Adapun indikator variabel
ini menurut Ramadania (2002) adalah :
a. Pemberitaan hal positif tentang perusahaan kepada
orang lain.
b. Merekomendasikan perusahaan kepada seseorang yang
membutuhkan informasi.
c. Pilihan utama kepada perusahaan.
- Kualitas
produk
Kotler dan Amstrong (2001) mengartikan kualitas
produk adalah kemampuan suatu produk untuk melaksanakan fungsinya, meliputi
kehandalan, daya tahan, ketepatan, kemudahan operasi, dan perbaikan produk,
serta atribut bernilai lainnya. Sementara Kotler (1994) berpendapat bahwa mutu
produk dipakai untuk menyatakan tingkat kemampuan kerja suatu produk sesuai
spesifikasi yang dijanjikan.
Adapun indikator variabel
ini menurut Adianto (2007) adalah :
a. Kinerja (Performance).
b. Ciri / Keistimewaan Tambahan (Features).
c. Kesesuaian dengan Spesifikasi (Conformance to
Specification).
3. Kualitas
pelayanan
Pelayanan menurut Kotler dan Amstrong (2001)
adalah setiap tindakan atau kegiatan yang dapat ditawarkan oleh satu pihak
kepada pihak lain. Pada dasarnya jasa tidak berwujud dan tidak mengakibatkan
kepemilikan apapun. Produksi jasa mungkin berkaitan dengan produk fisik atau tidak.
Rangkuti (2002) berpendapat bahwa pelayanan merupakan pemberian suatu kinerja
atau tindakan tak kasat mata dari suatu pihak kepihak lain. Pada dasarnya jasa
diproduksi dan dikonsumsi secara bersamaan, dimana interaksi antara pemberi
jasa dan penerima jasa mempengaruhi hasil jasa tersebut.
Adapun indikator variabel
ini menurut Ramadania (2002) adalah :
a. Konsistensi sikap sopan dan ramah penjual.
b. Menyediakan layanan pada waktu yang dijanjikan.
c. Kecepatan pelayanan.
- Kepercayaan
pelanggan
Morgan dan Hunt (1994)
dalam Dharmmesta (2005) berpendapat bahwa ketika satu pihak mempunyai keyakinan
(confidence) bahwa pihak lain yang terlibat dalam pertukaran mempunyai
reliabilitas dan integritas, maka dapat dikatakan ada trust. Moorman,
Deshpande, dan Zatman (1993) seperti dikutip oleh Dharmmestha (2005)
mendefinisikan trust sebagai kesediaan (willingness) seseorang
untuk menggantungkan dirinya kepada pihak lain yang terlibat dalam pertukaran
karena ia mempunyai keyakinan (confidence) kepada pihak lain tersebut.
Adapaun indikator variabel
ini adalah (Nuraini, 2009):
a. Kejujuran penjual dalam bertransaksi.
b. Tanggungjawab penjual kepada pembeli.
c. Kepercayaan bahwa perusahaan memiliki reputasi
yang baik.
Sumber
analisis jurnal :
1. Budhi
Haryanto dan Soemarjati T.J. (2009) : Pengaruh Relationship Marketing, Trust, Commitment, Citra, dan Fasilitas pada
Customer Loyalty.
2. Lin
Mayasari (2008) : PERILAKU PENCARIAN VARIASI: DITINJAU DARI PERSPEKTIF
PSIKOLOGI DAN IMBASNYA PADA LOYALITAS KESIKAPAN KONSUMEN
3. Titik Desi
Harsoyo, SE, MSi (2009)
: PERANGKAP
LOYALITAS PELANGGAN: SEBUAH PEMAHAMAN TERHADAP NONCOMPLAINERS PADA SETING JASA
Daftar
Referensi :
- Jurusan
Ekonomi Manajemen, Fakultas Ekonomi – Universitas Kristen Petra http://puslit.petra.ac.id/journals/management/
- Ropinov
Saputro. Analisis Pengaruh Kualitas Produk, Kualitas Pelayanan, dan
Kepercayaan Pelanggan Terhadap Loyalitas Pelanggan (Studi Pada PT.
NUSANTARA SAKTI DEMAK). Fakultas Ekonomi, Universitas Diponogoro.
Semarang: 2010
Tidak ada komentar :
Posting Komentar