Nama : Tertiera Nurariefani Azizah
Kelas : 3EA18
NPM : 19210435
ANALISIS LOYALITAS KONSUMEN
Jurnal:
1. Budhi
Haryanto dan Soemarjati T.J. (2009) : Pengaruh Relationship Marketing, Trust, Commitment, Citra, dan Fasilitas pada
Customer Loyalty.
2. Lin
Mayasari (2008) : PERILAKU PENCARIAN VARIASI: DITINJAU DARI PERSPEKTIF
PSIKOLOGI DAN IMBASNYA PADA LOYALITAS KESIKAPAN KONSUMEN
3. Titik Desi
Harsoyo, SE, MSi (2009)
: PERANGKAP
LOYALITAS PELANGGAN: SEBUAH PEMAHAMAN TERHADAP NONCOMPLAINERS PADA SETING JASA
TEORI & PENELITIAN TERDAHULU
Landasan
Teori
Loyalitas
konsumen secara umum dapat diartikan kesetiaan seseorang atas suatu produk,
baik barang maupun jasa tertentu. Loyalitas konsumen merupakan manifestasi dan
kelanjutan dari kepuasan konsumen dalam menggunakan fasilitas maupun jasa
pelayanan yang diberikan oleh pihak perusahaan, serta untuk tetap menjadi
konsumen dari perusahaan tersebut. Loyalitas adalah bukti konsumen yang selalu
menjadi pelanggan, yang memiliki kekuatan dan sikap positif atas perusahaan
itu. Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa masing-masing pelanggan
mempunyai dasar loyalitas yang berbeda, hal ini tergantung dari obyektivitas
mereka masing-masing.
Lovelock
(1991:44) menjelaskan bahwa tingkat kesetiaan dari para konsumen terhadap suatu
barang atau jasa merek tertentu tergantung pada beberapa faktor: besarnya biaya
untuk berpindah ke merek barang atau jasa yang lain, adanya kesamaan mutu,
kuantitas atau pelayanan dari jenis barang atau jasa pengganti, adanya risiko
perubahan biaya akibat barang atau jasa pengganti dan berubahnya tingkat
kepuasan yang didapat dari merek baru dibanding dengan pengalaman terhadap
merek sebelumnya yang pernah dipakai.”
Loyalitas
bukan tentang persentase dari konsumen yang sebelumnya membeli dari anda,
tetapi tentang pembelian ulang. Loyalitas adalah tentang persentase dari orang
yang pernah membeli dalam kerangka waktu tertentu dan melakukan pembelian ulang
sejak pembeliannya yang pertama.
Menurut
Philip Kotler (1997:262), loyalitas konsumen berdasarkan pola pembeliannya
dapat dibagi menjadi empat golongan:
- Golongan Fanatik
Adalah konsumen yang selalu
membeli satu merek sepanjang waktu, sehingga pola membelinya adalah X,
X, X, X, yaitu setia pada merek X tanpa syarat
- Golongan Agak Setia
Adalah konsumen yang setia pada
dua atau tiga merek. Di mana kesetiaan yang terpecah antara dua pola (X
dan Y) dapat dituliskan dengan pola membeli X, X, Y, Y, X, Y
- Golongan Berpindah Kesetiaan
Adalah golongan konsumen yang
bergeser dari satu merek ke merek lain, maka bila konsumen pada awalnya
setia pada merek X tetapi kemudian pada saat berikutnya berpindah ke
merek Y. Pola membelinya dapat dituliskan X, X, X, Y, Y
- Golongan Selalu Berpindah-pindah
Adalah kelompok konsumen yang
sama sekali tidak setia pada merek apapun, maka pola membelinya dapat
dituliskan X, Y, Z, S, Z
Penelitian Terdahulu
Perspektif tentang loyalitas
pelanggan yang selama ini kita gunakan dalam penelitian dan kajian konseptual,
ternyata telah mengalami banyak penyempurnaan dalam sejarah panjang literatur
akademik. Di bidang pemasaran, sebagian akademisi mengaitkan loyalitas
pelanggan dengan loyalitas merek (Copeland, 1923 dalam Homburg dan Giering
2001). Ada pula yang mengaitkannya dengan perilaku tertentu, yaitu pembelian
berulang terhadap barang atau jasa tertentu pada periode waktu tertentu
(Homburg dan Giering 2001). Akibatnya, pengukuran terhadap loyalitas pelanggan
masih hanya berfokus pada proses pembelian merek tertentu (Brown, 1952;
Churchill, 1942 dalam Homburg dan Giering 2001), proporsi pembelian terhadap
merek tertentu (Brody dan Cunningham, 1968; Cunningham, 1956 dalam Homburg dan
Giering 2001), probabilitas pembelian (Farley, 1964; Frank, 1962; Lipstein,
1959 dalam Homburg dan Giering 2001), mengkombinasikan beberapa perilaku
tertentu (Frank et al, 1969; Tucker, 1964 dalam Homburg dan Giering, 2001).
Menjawab tantangan mengenai konsep
loyalitas pelanggan, kemudian muncul sebuah kritikan yang dikemukakan oleh Day
(1969 dalam Homburg dan Giering 2001). Kritikannya mengungkapkan bahwa tidak
cukup jika mengukur loyalitas hanya berdasarkan perilaku saja, karena berarti
tidak akan ada perbedaan antara true loyalty dan spurious loyalty.
Spurious loyalty berasal dari pembeli yang tidak memiliki keterlibatan
dengan atribut merek, sehingga mereka akan mudah berpindah ke merek lain yang
menawarkan benefit yang lebih baik. Untuk memecahkan masalah potensial
tersebut, Day mengusulkan konsep loyalitas dua-dimensional, dengan tetap
menggunakan dimensi perilaku (behavioral) dan menambahkan dimensi sikap (attitudinal).
Perspektif baru ini menciptakan kemajuan yang sangat besar di area
pemasaran dan menjadi acuan bagi penelitian dan kajian konseptual tentang
loyalitas pelanggan hingga sekarang.
Salah satu definisi loyalitas
pelanggan yang melibatkan dimensi perilaku dan sikap dikemukakan oleh Oliver
(1999):
Customer Loyalty is a “a deeply held
commitment to rebuy or repatronize a preferred product/service consistently in
the future, thereby causing repetitive same-brand or same-brand-set purchasing,
despite situational influences and marketing efforts having the potential to
cause switching behavior.”
Loyalitas
pelanggan dapat berupa insensitifitas harga, positive word-of-mouth,
patronasi ulang, merekomendasikan kepada orang lain dan niat beli ulang
(Parasuraman et al. 1985). Kepuasan hingga saat ini masih diyakini merupakan
prediktor terkuat bagi loyalitas pelanggan. Namun untuk menjawab seberapa
kuatkan hubungan tersebut, Homburg dan Giering (2001) melakukan penelitian
tentang hubungan antara kepuasan dan loyalitas, dengan melibatkan lima variabel
moderator: jender, usia, tingkat pendapatan, keterlibatan (involvement),
dan pencarian variasi (variety seeking). Dengan menggunakan 943
pelanggan dealer mobil buatan Jerman sebagai sampel, hasil penelitian
mengindikasikan bahwa diantara kelima variabel moderator tersebut, ternyata
usia tingkat pendapatan, dan pencarian variasi terbukti memoderasi hubungan
kepuasan dan loyalitas.
Complaining sudah sejak lama menjadi perhatian
studi di bidang pemasaran jasa. Salah satunya dilakukan oleh Singh (1990).
Penelitiannya menghubungkan keluhan dan loyalitas dengan mengadopsi pendapat
Richins (1983) yang menyatakan bahwa keluhan paling sedikit akan terdiri dari
tiga aktifitas: (1) mengajukan keluhan kepada penjual (voice,) (2)
berpindah merek/toko (exit) dan (3) mengatakan ketidakpuasannya kepada
orang lain (negative word-of-mouth). Data dikumpulkan dari 497 pelanggan
yang tidak puas pada tiga jenis jasa: toko makanan-minuman, bengkel mobil dan
perawatan kesehatan. Hasil penelitiannya mengindikasikan terjadinya variasi
pada variabel voice, exit maupun negative word-of-mouth. Keluhan
yang disampaikan oleh pelanggan yang tidak puasn (voice) paling tinggi
terjadi pada jasa bengkel mobil, diikuti toko makanan-minuman (75,8%) dan
paling rendah terjadi pada jasa perawatan kesehatan (47,2%). Pelanggan tidak
puas yang memutuskan untuk exit paling sering terjadi pada jasa
perawatan kesehatan (63%) dan paling sedikit terjadi pada toko makanan-minuman
(12,9%). Untuk variabel negative word-of-mouth, toko makanan-minuman
menghasilkan insiden terendah (28,2%). Sedangkan jasa perawatan kesehatan dan
bengkel mobil masing-masing 56,8% dan 56,9%.
Sebagian besar studi mengenai complaining
behavior dan complaint handling lebih berfokus pada complainers. Tetapi
belum banyak studi tentang noncomplainers. Dua penelitian yang
memberikan kontribusi besar tentang sikap dan perilaku noncomplainers
adalah studi yang dilakukan oleh Stephen dan Gwinner (1998) dan Voorhees et
al (2006).
1. Stephens dan Gwinner (1998)
mengkaji fenomena noncomplaining dengan melibatkan variabel emosi
pelanggan. Ia mengajukan proposisi tentang keterlibatan emosi yang berupa:
kemarahan, rasa jijik, penghinaan, kesedihan, ketakutan, malu dan perasaan
bersalah. Emosi inilah yang kemudian menjadi alasan mengapa pelanggan yang
tidak puas tidak menyampaikan keluhan.
Alasan noncomplainers berpindah
ke penyedia jasa yang lain dapat dijelaskan dengan konsep perilaku berpindah
merek (Switching behavior). Salah satu penelitian yang banyak diacu
dalam investigasi mengenai perilaku ini adalah studi yang dilakukan oleh
Keaveney (1995). Keaveney (1995) menemukan delapan variabel yang berpotensi
menyebabkan pelanggan berpindah merek jasa: pricing, inconvenience, core
service failure, service encounter failure, response to service failure,
competition, ethical problems dan involuntary switching (perpindahan
terpaksa). Dengan menggunakan referensi ini, mungkin saja noncomplainers
yang memutuskan untuk berpindah ke penyedia jasa bisa disebabkan oleh
ketidakpuasan mereka atas variabel-variabel tersebut. Tanpa menyuarakan
keluhannya, mereka berpindah ke penyedia jasa yang lain. Penyedia jasa yang
ditinggalkan kehilangan kesempatan untuk mengidentifikasi kegagalan jasa dan
tidak memiliki kesempatan untuk melakukan pemulihan jasa.
2. Voorhees et al (2006) melakukan
studi tentang noncomplainers melalui studi kualitatif dan kuantitatif.
Studi kualitatif dilakukan terhadap 149 pelanggan yang tidak puas, dengan
tujuan untuk mengeksplorasi alasan mengapa mereka tidak menyampaikan keluhan
ketika mengalami kegagalan jasa. Dalam studi kuantitatif, dilakukan
perbandingan antara noncomplainers yang (1) menerima pemulihan jasa atau (2)
pelanggan yang keluar dari hubungan pelanggan-penyedia jasa tanpa menerima
pemulihan jasa dengan complainers yang (1) menerima pemulihan jasa yang
memuaskan, (2) pemulihan jasa yang tidak memuaskan dan (3) tidak memperoleh
pemulihan jasa. Studi kuantitatif dilakukan terhadap 530 responden. Kelima
kelompok pelanggan tersebut dibandingkan berdasarkan intensi pembelian, afeksi
negatif, penyesalan, dan intensi untuk melakukan negative word-of-mouth.
Hasil penelitiannya membuktikan bahwa untuk variabel repurchase intention,
pelanggan yang memperoleh pemulihan jasa menunjukkan tingkat niat beli ulang
yang paling tinggi, kemudian berturut-turut diikuti oleh complainers yang
memperoleh pemulihan jasa yang memuaskan, noncomplainers, pelanggan yang
memperoleh pemulihan jasa yang tidak memuaskan dan terakhir adalah complainners
yang menerima pemulihan jasa tetapi tidak memperoleh pemulihan jasa. Untuk
variabel negative affect, pelanggan yang menerima pemulihan jasa
menunjukkan afeksi negatif yang paling rendah, kemudian diikuti oleh pelanggan
yang memperoleh pemulihan jasa yang memuaskan, noncomplainers, dan complainers
yang tidak memperoleh pemulihan jasa. Sedangkan untuk variabel penyesalan (regret),
pelanggan yang memperoleh pemulihan jasa yang memuaskan menunjukkan
tingkaat penyesalan yang terendah dibandingkan dengan kelompok yang lain.
Kemudian diikuti oleh noncomplainers, pelanggan yang menerima pemulihan
jasa yang diberikan oleh penyedia jasa, pelanggan yang tidak menerima pemulihan
jasa setelah mengajukan keluhan, dan terakhir adalah complainers yang
memperoleh pemulihan jasa yang tidak memuaskan. Pelanggan yang menerima
pemulihan jasa menunjukkan niat negative word-of-mouth yang rendah.
Kemudian diikuti oleh complainers yang memperoleh pemulihan jasa yang
memuaskan, noncomplainers, noncomplainers yang memperoleh
pemulihan jasa yang tidak memuaskan dan complainers yang sama sekali
tidak menerima pemulihan jasa.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar