NAMA : Tertiera N. Azizah
KELAS : 3EA18
NPM : 19210435
KOMPULSIF KONSUMEN
Abstrak
Studi
ini bertujuan untuk memahami faktor kompulsif dan materialism pada konsumen
Indonesia. Pentingnya kajian ini karena dapat menggambarkan fenomena yang
sering terjadi di masyarakat. Di satu sisi dampak positif dari perilaku
pembelian kompulsif dalam jangka pendek adalah kepuasan yang langsung dapat
dirasakan dari aktivitas pembelian tersebut. Compulsive buyers tidak melakukan pembelian semata-mata hanya
untuk mendapatkan suatu produk tertentu, melainkan lebih kepada hasrat untuk
mencapai kepuasan melalui proses pembelian itu sendiri. Hasil studi diharapkan
dapat memberikan manfaat bagi beberapa pihak yakni manfaat teoritis dan
praktis.
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Dewasa ini, perilaku pembelian semakin komplek dimana
seringkali konsumen membeli produk tidak sebagai rutinitas melainkan sebagai
pembelian berdasarkan situasi yang terjadi pada saat itu. Keputusan di bidang
pemasaran dimulai dengan menganalisa perilaku pembelian dalam situasi yang
tepat, sehingga dapat mempengaruhi kesediaan konsumen untuk membeli barang dan
jasa yang ditawarkan, dengan kata lain bahwa faktor situasi dapat mempengaruhi
pembelian konsumen terhadap kategori produk tertentu (Anic dan Radas, 2006
dalam Mihic dan Kursan, 2010). Keinginan membeli suatu produk dapat datang
secara tiba-tiba karena berbagai alasan situasional (Sutisna, 2001: 156).
Terdapat lima karakteristik pengaruh situasional yang dapat
mempengaruhi perilaku pembelian konsumen, yaitu: pertama, lingkungan fisik (physical
surrounding) merupakan fitur situasi yang paling terlihat. Lingkungan fisik
ini meliputi lokasi, dekorasi, suara, aroma, pencahayaan, cuaca, serta
konfigurasi barang dagangan atau material lain yang berada di sekeliling
rangsangan produk. Kedua, lingkungan sosial (social surrounding)
merupakan individu yang hadir selama proses konsumsi, yang meliputi
faktor-faktor seperti: kehadiran orang lain, karakteristik orang-orang yang
hadir pada situasi tersebut, peranan nyata orang-orang yang hadir, dan
interaksi interpersonal. Ketiga, pespektif waktu (temporal
perspective) merupakan dimensi situasi yang dapat dispesifikasikan kedalam
unit waktu dari situasi, misal kejadian tertentu ketika perilaku pembelian
terjadi (hari, bulan, musim). Waktu juga dapat diukur secara relatif pada
kejadian di masa lalu atau di masa mendatang, misal waktu ketika pembelian
terakhir. Keempat, definisi tugas (task definition) merupakan alasan
mengapa aktivitas konsumsi oleh konsumen berlangsung, dan dapat dikatakan
sebagai tujuan atau sasaran yang dimiliki konsumen dalam situasi tertentu.
Dengan kata lain. dapat juga dikatakan bahwa hal ini merupakan maksud atau
prasyarat untuk memilih, berbelanja atau mendapatkan informasi mengenai
pembelian umum atau spesifik. Kelima, pernyataan anteseden (antecendent
state) merupakan perasaan (mood) sementara, seperti rasa cemas atau
gembira atau
kondisi
yang dibawa konsumen ke dalam situasi, seperti kondisi pada saat memegang uang
tunai (Belk, 1975 dalam Mihic dan Kursan, 2010). Situasi dalam toko yang
menarik diharapkan dapat merangsang perilaku pembelian, khususnya yang mengarah
pada situasi pembelian impulsif (Abratt dan Goodey, 1990 dalam Jalan, 2006).
Pembelian impulsif merupakan bagian dari pola pembelian konsumen dimana
keputusan pembelian dilakukan pada saat berada didalam toko dan pada saat itu
konsumen mengalami perasaan tiba-tiba, merasakan perasaan yang sangat kuat dan
berkeras hati terhadap dorongan emosional untuk membeli sesuatu dengan segera (Belk,
1995 dalam Dittmar, 2005). Perilaku pembelian impulsif yang dilakukan secara
berulang menyebabkan orang berperilaku kompulsif. Pembelian kompulsif merupakan
proses pengulangan yang sering berlebihan dalam berbelanja yang dikarenakan
oleh rasa ketagihan, tertekan, atau rasa bosan (Solomon, 2002 dalam Shoham dan
Brencic, 2003).
Perilaku pembelian kompulsif merupakan salah satu bagian
dari konsumsi kompulsif yang merupakan sisi negatif dari sebuah perilaku
konsumsi (Mowen dan Minor, 2002: 130). Konsumen yang kompulsif adalah konsumen
yang merasa ketagihan, dalam beberapa kondisi mereka berlaku diluar kontrol dan
sikap mereka dapat berdampak buruk bagi diri sendiri maupun orang lain.
Perilaku berbelanja yang tidak terkontrol, berjudi, merokok, kecanduan narkoba,
dan pecandu alkohol merupakan beberapa contoh dari konsumsi kompulsif
(Schiffman dan Kanuk, 2007: 119).
Pembeli kompulsif adalah konsumen yang keranjingan belanja
atau cenderung suka membelanjakan uang untuk membeli barang meskipun barang
tersebut tidak mereka butuhkan. Untuk beberapa pelaku kompulsif, uang dan harta
benda telah menggantikan keberadaan teman, keluarga bahkan “tempat ibadah”.
Pusat perbelanjaan telah menjadi pengganti “tempat ibadah” dan berbelanja menjadi
“ritualnya” (Boundy, 2000 dalam Yang, 2006).
Manfaat Penelitian
Hasil Penelitian ini
diharapkan dapat memberikan manfaat bagi beberapa pihak, antara lain:
1)
Manfaat Teoritis
Melalui penelitian ini diharapkan mampu
memberikan sumbangan studi empiris yang lebih kaya khususnya mengenai faktor
situasional pusat perbelanjaan, materialisme dan perilaku pembelian kompulsif
para pengguna kartu kredit terhadap pembelian produk fashion.
2)
Manfaat praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan
informasi pada pihak pemasar produk fashion, para manager pusat-pusat
perbelanjaan maupun perusahaan penerbit kartu kredit untuk menerapkan
strategi-strategi perusahaan agar tepat sasaran dan memberikan perlakuan khusus
kepada para pengguna kartu kredit dalam hal melakukan pembelian produk fashion.
Tujuan
Penelitian
1.
Untuk mengetahui apakah faktor situasional
berpengaruh terhadap perilaku pembelian kompulsif
2.
Untuk mengetahui apakah materialisme berpengaruh
terhadap perilaku pembelian kompulsif
3.
Untuk mengetahui apakah penggunaan kartu kredit
berperan signifikan sebagai variable pemoderasi dalam hubungan antara
materialisme dengan perilaku pembelian kompulsif
TINJAUAN
PUSTAKA
Konsep pembelian kompulsif berasal dari pembuatan keputusan
pembelian konsumen pada umumnya. Studi perilaku konsumen menjelaskan bahwa,
stimulus dalam model perilaku konsumen meliputi aspek individu dan lingkungan
(Assael, 1998; Schiffman & Kanuk, 2004). Aspek individu meliputi persepsi,
motivasi atau keinginan, pembelajaran, kepribadian, emosi, dan sikap; sedangkan
aspek eksternal meliputi budaya, subbudaya, demografi, status sosial, kelompok
referensi, dan strategi pemasaran. Perilaku pembelian kompulsif merupakan
komponen perilaku negatif konsumen. Mowen dan Minor (2002: 280) mendifinisikan
perilaku pembelian kompulsif sebagai suatu pembelian yang tidak terencana dan
konsumen terlibat dalam perilaku ini karena mereka sangat berhasrat untuk
memperoleh perasaan atau kesenangan tertentu.
Konsep dasar perilaku pembelian kompulsif adalah konsumsi
yang berlebihan pada suatu barang (Stones IV, 2001 dalam Shoham dan Brencic, 2003).
Pembelian kompulsif merupakan suatu perilaku pembelian yang tanpa direncanakan
dan dilakukan secara berulang-ulang dan merupakan suatu perilaku yang negatif
(O'Guinn dan Faber, 1992; Solomon, 2002 dalam Shoham dan Brencic, 2003). Banyak
peneliti yang mengkategorikan perilaku pembelian kompulsif sebagai gangguan
terhadap kontrol pembelian impulsif (Black, dkk., 1998; Christenson, dkk.,
1992; Faber, 1992; McElroy dkk., 1991; O’Guinn dan Faber, 1989;
Schlosser, dkk., 1994 dalam Yang, 2006).
Pembelian impulsif adalah tidak direncanakan dan tidak
diatur sebelum memasuki toko (Hawkin, dkk.,1998: 590). Ketika konsumen
tidak terlibat akan suatu produk, mereka cenderung melakukan pengambilan
keputusan pembelian di dalam toko, dimana tidak terdapat motivasi yang cukup
untuk melakukan rencana pembelian (Assael, 2004: 103).
Pembelian impulsif terjadi ketika konsumen mengalami
dorongan tiba-tiba, keinginan yang kuat untuk membeli sesuatu dengan segera
(Engel, dkk., 1995: 159). Pembelian impulsif dapat dijelaskan sebagai
dorongan untuk membeli sesuatu yang tiba-tiba, tanpa ada niat atau rencana,
bertindak atas dorongan tanpa mempertimbangkan tujuan jangka panjang atau
cita-cita.
Konsumen yang memanfaatkan kognisi akan lebih cenderung
untuk membuat pembelian dan keputusan rasional juga melakukan pembelian dengan
sedikit dorongan sedangkan konsumen yang lebih emosional akan lebih cenderung
melakukan pembelian impulsif .
Menurut Rooks dalam Engle, dkk., (1995: 159) ciri
pembelian impulsif yang dikemukan oleh adalah sebagai berikut:
1.
Keinginan mendadak dan spontan untuk bertindak
disertai dengan urgensi
2.
Keadaan ketidakseimbangan psikologis di mana
seseorang dapat berada di luar kendali
3.
Rendahnya evaluasi objektif, sementara
pertimbangan emosional lebih dominan
4.
Kurang memperhatikan konsekuensi yang
ditimbulkan Sementara itu jenis atau tipe pembelian impulsif dapat digolongkan
dalam beberapa bentuk.
Blythe (1997) dalam Shoham dan Brencic (2003) menggolongkan
jenis pembelian impulsif menjadi empat jenis, yaitu:
1.
Pure impulsive.
Pembelian yang dilakukan murni tanpa rencana atau terkesan mendadak. Biasanya
terjadi setelah melihat barang yang dipajang di toko dan muncul keinginan untuk
membelinya saat itu juga.
2.
Reminder impulsive.
Pembelian yang dilakukan tanpa rencana terjadi setelah diingatkan karena
melihat iklan atau brosur yang ada di pusat perbelanjaan.
3.
Suggestion impulsive.
Pembelian yang dilakukan tanpa rencana pada saat berbelanja di pusat
perbelanjaan. Pembelian dilakukan pada saat di pusat perbelanjaan, setelah
pembeli terpengaruh dan diyakinkan oleh tenaga sales atau teman yang
ditemuinya pada saat berbelanja, yang menawarkanproduknya dengan meyakinkan.
4.
Planned impulsive.
Pembelian yang dilakukan sebenarnya sudah direncanakan, tetapi karena barang
yang dimaksud habis atau tidak sesuai dengan yang diinginkan, maka yang
dilakukan adalah membeli jenis barang yang sama tetapi dengan merek atau ukuran
yang berbeda.
Menurut Rindfleisch et al., 1997; Roberts, 1998; Roberts,
2000; Dittmar, 2005a, dalam Xu, 2008, terdapat beberapa faktor yang dapat
mendorong terjadinya pembelian impulsif dan kompulsif yaitu faktor internal dan
eksternal. Faktor eksternal mencakup karakteristik produk dan karakteristik
pemasaran, sedangkan faktor internal mencakup karakteristik-karakteristik
konsumen yang muncul sehubungan dengan pembelian yang dilakukan konsumen, yang
didapat dijelaskan sebagai berikut:
I.
Karakteristik produk meliputi:
a)
harga yang rendah
b)
adanya sedikit kebutuhan dengan produk tersebut
c)
siklus kehidupan produknya pendek
d)
ukuranya kecil dan ringan
e)
mudah disimpan
II.
Faktor marketing, diantaranya:
a)
distribusi massa pada self servise terhadap
pemasangan iklan besarbesaran dan material yang akan didiskon. Ketersediaan
informasi seperti melalui pemasangan iklan, website, penjaga toko, adalah sumber
utama informasi konsumen.
b)
posisi pajangan produk dan lokasi toko yang
menonjol turut mempengaruhi pembelian impulsif. Selain itu, jumlah, lokasi dan
jarak toko mempengaruhi jumlah kunjungan konsumen ke toko sebelum pembelian.
Kunjungan ke toko membutuhkan energi, uang,waktu dan jarak kedekatan seringkali
meningkatkan aspek ini dari pencarian dari luar.
III.
Karakteristik konsumen seperti:
a)
kepribadian konsumen
b)
demografis meliputi usia, jenis kelamin,
pendapatan, dan sebagainya
Perilaku impulsif yang dilakukan berkali-kali dan dalam
jangka waktu yang lama menimbulkan suatu perilaku pembelian yang diberi nama
perilaku pembelian kompulsif. Definisi pembelian kompulsif harus mencakup dua
criteria yaitu: (1) perilakunya harus berulang ulang, dan (2) perilakunya harus
problematik untuk individu (O’Guinn dan Faber, 1989 dalam Shoham dan Brencic,
2003). Perilaku pembelian kompulsif sangat erat terkait dengan perilaku obsesif
pelanggan yang berorientasi pada pikiran mereka untuk mendapatkan produk atau
jasa tertentu (Rajagopal, 2008). Compulsive buyer biasanya memiliki
tingkat kepercayaan diri yang rendah, tingkat berhayal, depresi, kecemasan, dan
obsesi yang tinggi.
Studi tentang pembelian kompulsif merupakan studi yang
penting karena perilaku tersebut dapat menyebabkan kekacauan pada individu dan
atau orang disekitarnya. Bahkan dalam beberapa kasus ekstrim, pembeli kompulsif
mampu menghabiskan uang lebih banyak dari yang mereka miliki, menghancurkan
hidup mereka bahkan kehidupan keluarga (d’Astous, 1990; Faber dan O’Guinn,
1992; Rindfeisch, Borroughs dan Denton, 1997 dalam Kwak, dkk., 2003).
Pembeli kompulsif dapat berasal dari semua golongan ekonomi.
Seseorang yang kompulsif adalah seorang yang pemboros yang dicirikan sebagai
seseorang yang menghabiskan uang dengan cepat, mengemudikan mobil mewah, rumah
yang mahal walaupun uang yang dimiliki tidak dapat menutupi segala
keinginannya. Bahkan mereka membentuk citra diri bahwa orang lain harus
mengagumi mereka dengan segala yang dimilikinya. Untuk beberapa pelaku
kompulsif, uang dan harta benda telah menggantikan keberadaan teman, keluarga
bahkan tempat ibadah. Pusat perbelanjaan telah menjadi pengganti tempat ibadah
dan berbelanja menjadi ritualnya (Boundy, 2000 dalam Yang, 2006). Menurut Dittmar,
2000 dalam Yang, 2006 menemukan bahwa konsumen yang kompulsif berbelanja diatas
batas kemampuan yang termotivasi oleh tingginya keinginan mereka untuk memiliki
harta benda dan menganggap bahwa kepemilkan harta benda merupakan tolok ukur
identitas diri, keberhasilan, dan kebahagiaan dalam hidup.
Faktor Situasional
Faktor
situasional adalah faktor-faktor eksternal yang berasal dari lingkungan
berbelanja ketika konsumen tertarik akan rangsangan visual tertentu (produk
atau promosi) yang menciptakan pembelian yang tidak direncanakan. Saat itu
konsumen mungkin merasa perlu tiba-tiba untuk membeli produk tertentu yang
telah menarik perhatiannya (Youn, 2000 dalam Mihic dan Kursan, 2010). Pengaruh
situasional merupakan kondisi sementara atau setting yang terjadi pada
lingkungan pada lingkungan dan tempat yang spesifik (Assael: 2004, 122). Belk
mengidentifikasi lima karakteristik pembelian dan konsumsi situasional yang
mempengaruhi pembelian konsumen yaitu (Belk dalam Sutisna, 2001: 159): (1)
Lingkungan fisik (Physical Surrounding) yaitu aspek-aspek lingkungan
fisik dan ruang yang nyata yang mencangkup aktivitas konsumen seperti warna,
suara, cahaya, cuaca dan pengaturan ruangan. (2) Lingkungan sosial (Social
Surrounding) yaitu pengaruh orang lain terhadap aktivitas konsumen,
individu yang hadir selama proses konsumsi, yang meliputi faktor-faktor
seperti: kehadiran orang lain, karakteristik orang-orang yang hadir pada
situasi tersebut, peranan nyata orang-orang yang hadir, dan interaksi interpersonal.
(3) Definisi tugas (Task Definition) yaitu alasan kebutuhan konsumen
untuk membeli atau mengkonsumsi barang atau jasa. Dengan kata lain dapat juga
dikatakan bahwa hal ini merupakan maksud atau prasyarat untuk memilih,
berbelanja atau mendapatkan informasi mengenai pembelian umum atau spesifik.
(4) Waktu (Time) adalah situasi yang dapat dispesifikasikan kedalam unit
waktu dari situasi, misal kejadian tertentu ketika perilaku pembelian terjadi
(hari, bulan, musim). Waktu juga dapat diukur secara relatif pada kejadian di
masa lalu atau di masa mendatang, misal waktu ketika
pembelian
terakhir. (5) Pernyataan anteseden (Antecendent state) merupakan
perasaan (mood) sementara, seperti rasa cemas atau gembira atau kondisi
yang dibawa konsumen ke dalam situasi, seperti kondisi pada saat memegang uang
tunai. Keterbatasan pilihan konsumen dalam pengambilan keputusan untuk
pembelian dan pengkonsumsian suatu produk akan dipengaruhi oleh faktor-faktor
situasi.
Beberapa
tipe situasi yang mempengaruhi keputusan konsumen menurut Assael (2004, 122)
dibedakan dalam 3 jenis yaitu:
(1)
Situasi konsumsi merupakan salah satu situasi yang mana konsumen menggunakan
merek atau kelompok produk tertentu. Pemasar harus mengidentifikasikan situasi
konsumsi yang relevan terhadap kategori produk
(2)
Situasi pembelian merupakan situasi yang mempengaruhi keputusan konsumen.
Situasi ini dapat dipengaruhi oleh strategi pemasaran dengan mendesain
lingkungan di dalam toko. Situasi ini dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:
pertama, situasi di lingkungan toko berkaitan dengan tata letak barang di rak,
suasana ramai di dalam toko, ketersediaan produk, perubahan harga, dan
pelayanan pramuniaga. Kedua, situasi pembelian yang berkaitan dengan tujuan.
Situasi ini menyangkut tujuan konsumen dalam berbelanja barang-barang yang akan
dikonsumsi, misal konsumen membeli barang untuk hadiah atau dirinya sendiri,
berbelanja bersama keluarga dan teman atau berbelanja sendiri. Ketiga, situasi
pembelian berkaitan dengan mood, misal perasaan gembira atau sedih.
Situasi ini sulit diantisipasi oleh pemasar.
(3)
Situasi komunikasi merupakan setting dimana konsumen tidak
menyembunyikan informasi terhadap orang lain. Situasi ini berkaitan dengan
perspektif waktu, ditunjukkan oleh aktivitas yang dilakukan oleh konsumen.
Situasi ini dapat terjadi dari orang ke orang atau impersonal misalnya
dari iklan atau informasi di dalam toko.
Situasi
merupakan keseluruhan faktor pada suatu waktu dan tempat tertentu dari
pengamatan yang tidak berasal dari pengetahuan personal (intraindividu) dan
atribut rangsangan (pilihan alternatif), serta mempunyai pengaruh yang terlihat
dan sistematis terhadap perilaku saat ini.
Materialisme
Richin dan Dawson (1992)
berpendapat bahwa, materialisme adalah salah satu trait kepribadian yang
berkaitan dengan kepemilikan barang atau materi. Trait ini membedakan
seseorang dari orang lain terkait dengan apakah materi merupakan sesuatu yang
penting dan memberinya identitas ataukah hanya merupakan sesuatu yang sekunder.
Peneliti yang menguji skala materialisme menemukan beberapa karakteristik
berikut: (1) individu menekankan nilai pada materi dan menunjukkan kepemilikan;
(2) umumnya bersifat mementingkan diri sendiri; (3) mencari gaya hidup yang
penuh dengan kepemilikan (ingin memiliki banyak barang); (4) banyaknya materi
yang dimiliki tidak memberinya kepuasan pribadi yang lebih besar (kepemilikan
tidak menyebabkan dirinya menjadi lebih bahagia).
Studi Dittmar (2005) menun-jukkan bahwa, nilai
materialisme yang dimiliki oleh individu menyebabkan seseorang memiliki
kecenderungan untuk melakukan pembelian secara kompulsif. Keinginan untuk mendapatkan
barang dipersepsi menjadikan seseorang memiliki kepuasan dan kualitas hidup
tanpa mempertimbangkan konsekuensi negatif (Belk, 1985). Konsekuensi negatif
bisa berupa risiko sosial, keuangan, psikis, bahkan fisik. Bagi individu,
kepemilikan materi menjadi aspek terpenting dalam kehidupannya. Makin kuat
nilai materialisme yang dimiliki oleh seseorang, makin kuat kecenderungan untuk
tidak dapat menunda suatu pembelian. Individu dengan nilai materialisme yang
kuat menganggap bahwa dengan melakukan pembelian barang dengan segera akan
memuaskan hidupnya. Kepemili-kan terhadap benda menjadi sesuatu yang dipuja. Nilai
materialisme yang kuat menyebabkan individu merasakan tidak berarti bila tidak
memiliki suatu barang.
Menurut Richin dan Dawson (1992) konsep ini terdiri
dari tiga dimensi, yaitu : kesuksesan, sentralitas dan kebahagiaan.
PENELITIAN
TERDAHULU
Hasil penelitian Koran, dkk., (2006) terh adap 2.500 orang
responden mempertegas bahwa fenomena pembelian kompulsif sudah sedemikian parah
terjadi pada masyarakat baik pada kaum wanita maupun kaum pria bahkan pembelian
kompulsif akan menyebabkan penderitaan psikologis dan dampak serius pada
kehidupan individu seperti berhutang (Dittmar, 2005). Pembelian kompulsif
terjadi karena ketegangan psikologi yang menyebabkan meningkatnya keinginan
seseorang untuk melakukan pembelian saat itu juga (Roberts dan Pirog III,
2004).
Kecenderungan pembelian kompulsif mengalami peningkatan selama
sepuluh tahun terakhir (Neuner, dkk., 2005 dalam Xu, 2008). Peningkatan
perilaku pembelian kompulsif dipicu oleh peranan materialisme (Dittmar, 2005). Materialisme
merupakan tingkat dimana seseorang dianggap “materialistis” (Schiffman dan
Kanuk, 2007: 117). Konsumen dengan nilai materialisme yang tinggi menyakini
bahwa pendapatan dan benda materi sangatlah penting untuk hidup mereka yang
selanjutnya menjadi sebuah indicator dari kesuksesan dan diperlukan untuk
mencapai kepuasan dalam hidup bahkan tingkat konsumsi yang tinggi akan membuat
mereka merasa lebih bahagia. Konsumen yang materialistis menganggap kepemilikan
barang dan materi sebagai pusat dari kehidupan mereka, menilai kesuksesan
sebagai kualitas harta seseorang dan melihat harta sebagai bagian yang penting
dalam mencapai kebahagian dan kesejahteraan dalam hidup (Fitzmaurice, 2008).
Seseorang yang materialistis cenderung untuk menganggap berbelanja sebagai
tujuan hidup utama sama halnya dengan mencapai kebahagian dan kepuasan dalam
hidup (Xu, 2008). Seseorang yang materalistis sangatlah tertarik pada produk
pakaian sehingga seseorang dengan materialisme tinggi cenderung akan melakukan
pembelian kompulsif yang tinggi pada produk fashion (Browne dan
Kaldenberg, 1997; Yurchisin dan Johnson, 2004 dalam O’Cass, 2004).
Hal tersebut juga sependapat dengan penelitian yang dilakukan oleh
Krugger (1998 dalam Park dan Burn, 2005) yang menyatakan bahwa orang yang
berperilaku kompulsif cenderung untuk sangat peduli akan penampilannya dan
selalu terlibat dalam pencaharian sesuatu yang tanpa henti terutama terkait
dengan pakaian. Kecenderungan seseorang untuk memiliki penampilan yang menarik
menyebabkan orang tersebut sering melakukan pembelian tanpa direncanakan untuk
produk fashion. Hal ini diperparah lagi saat seseorang secara financial
memiliki kemampuan untuk membeli produk tersebut. Salah satu indikasi kemampuan
finansial adalah kepemilikan kartu kredit. Kartu kredit memberikan fasilitas
kepada konsumen untuk mempermudah proses pembelian baik yang direncanakan
maupun pembelian impulsif pada berbagai produk termasuk produk fashion.
Selain itu, kartu kredit juga memberikan kemudahan bagi konsumen karena
konsumen dapat mencicil tagihan yang dibebankan kepada konsumen dan juga
memberikan jangka waktu yang lebih panjang bagi konsumen untuk membayar tagihan
kartu kreditnya. Kartu kredit bahkan telah menjadi alat pembayaran barang dan
jasa yang diterima secara luas dan sangat nyaman untuk digunakan dan menjadi
alat transaksi yang patut dimiliki oleh semua orang bahkan pengguna kartu
kredit bisa membelanjakan uang masa depannya hari ini juga (Lie, dkk.,
2010). Hal ini menunjukkan bahwa perilaku belanja kompulsif pada produk fashion
akan menjadi lebih tinggi apabila difasilitasi oleh
kepemilikan kartu kredit.
Penelitian yang dilakukan oleh Park dan Burns (2005) menemukan
bahwa penggunaan kartu kredit oleh masyarakat Korea dalam beberapa tahun
terakhir menunjukkan peningkatan yang dramatis. Bahkan pada akhir tahun 2002, terdapat
lebih dari 100 juta kartu kredit dikeluarkan oleh perusahaan penerbit kartu
kredit karena konsumen lebih memilih membayar menggunakan kartu kredit (Kim,
2002 dalam Park dan Burns, 2005). Hal yang serupa juga terjadi di Indonesia.
Peningkatan jumlah peredaran kartu kredit ternyata diiringi dengan peningkatan
transaksi dengan kartu kredit, seperti yang ditunjukkan pada Lampiran 1 (www.bi.go.id).
Di Jakarta berdasarkan pengamatan perilaku belanja pengguna kartu kredit sebuah
bank, 57 persen transaksi disumbangkan dari pembelanjaan pakaian (fashion),
sepatu, dan aksesori. Data pada tahun 2009 ini menunjukkan belanja kartu kredit
untuk fashion menduduki ranking pertama, diikuti oleh makanan dan
minuman, peralatan elektronik, dan sisa porsi lainnya diberikan untuk
produk-produk yang sifatnya jarang digunakan (www.female.kompas.com).
HIPOTESIS
Konsumen
yang banyak melakukan pembelian secara spontan dan memutuskan secara mendadak
atau impulsif di dalam toko ataupun pusat perbelanjaan, akan cenderung
menunjukan perilaku pembelian kompulsif (Schiffman dan Kanuk, 2007: 128).
Perilaku pembelian kompulsif dapat terjadi pada segala jenis produk, salah satu
produk yang sering dibeli konsumen tanpa direncana adalah pakaian. Pakaian
sebagai salah satu kebutuhan pokok manusia selain pangan dan papan mendapat
porsi yang lebih banyak dibandingkan kategori produk lainnya. Penelitian ini
berfokus pada produk pakaian karena pakaian merupakan salah satu kebutuhan
primer dan pakaian merupakan sarana untuk menunjang penampilan atau sebagai
identitas diri serta yang berhubungan dengan gaya hidup yang disebut sebagai fashion.
Oleh karenanya, konsumen berusaha untuk selalu mengikuti mode produk-produk fashion
yang selanjutnya akan berdampak pada perilaku konsumtif (O’Cass, 2004).
Kecenderungan seseorang untuk memiliki penampilan yang menarik menyebabkan
orang sering melakukan pembelian tanpa direncanakan untuk jenis produk fashion.
Lebih lanjut, semakin tinggi tingkat pembelian impulsif akan berakibat pada
kecenderungan pembelian kompulsif (Shoham dan Brencic, 2003). Keinginan untuk
membeli produk fashion di suatu pusat perbelanjaan bisa muncul secara
tiba-tiba karena berbagai alasan faktor situasional. Faktor situasional
merupakan faktor eksternal yang muncul karena seseorang melakukan kontak dengan
lingkungan dan produk yang nantinya dapat menyebabkan pembelian impulsif dan
pembelian impulsif yang berulang akan menyebabkan terjadinya perilaku pembelian
kompulsif (Mihic dan Kursan, 2010). Faktor situsional membuat konsumen
melakukan pengambilan keputusan di dalam toko pada saat itu juga (Gor, 2002).
Berdasarkan uraian tersebut maka dapat diajukan hipotesis sebagai berikut:
H1:
Faktor situasional berpengaruh positif dan signifikan terhadap perilaku
pembelian kompulsif.
Pembelian
kompulsif dewasa ini menjadi salah satu topik yang menarik bagi sejumlah
peneliti dibidang konsumsi maupun bidang pemasaran karena dianggap sebagai
akibat dari materialisme dan dampak buruk dari konsumerisme. Dari penelitian
ditemukan bahwa materialisme mempengaruhi perilaku pembelian kompulsif (O’Guinn
dan Faber, 1989, Dittmar, dkk., 1996; Mowen and Spears, 1999; Yurchisin
and Johnson, 2004 dalam Jonshon, 2009). Seseorang yang materialis memiliki
keterlibatan yang tinggi pada produk pakaian (Browne dan Kaldenberg, 1997;
Yurchisin dan Johnson, 2004 dalam Johnson dan Attman, 2009). Oleh karenanya,
sangatlah beralasan bahwa seseorang dengan nilai materialistik yang tinggi akan
memiliki tingkat pembelian kompulsif pakaian yang tinggi.
H2:
Materialisme berpengaruh positif dan signifikan terhadap perilaku pembelian kompulsif.
Penelitian
yang dilakukan oleh Park dan Burns (2005) yang merupakan pengembangan dari
penelitian Gutman dan Mills (1982) menambahkan konstruk penggunaan kartu kredit
sebagai konstruk yang meningkatkan pembelian kompulsif. Dalam penelitiannya,
Park dan Burns (2005) menyatakan bahwa pembelian kompulsif akan menjadi lebih
tinggi saat seorang individu memiliki kemampuan secara finansial dalam bentuk
kepemilikan kartu kredit. Beberapa studi telah mengidentifikasi bahwa kartu
kredit yang memainkan peran penting yang mendorong untuk pembelian kompulsif
sebagai akibat dari tekanan social dan kurangnya kontrol diri (Baumeister,
2000; Roberts dan Jones, 2001 dalam Rutherford, 2008). Hal ini menunjukkan
bahwa perilaku belanja kompulsif pada produk fashion akan menjadi lebih
tinggi dengan penggunaan kartu kredit. Seseorang yang materialistis adalah
seorang pemboros dan memiliki keinginan yang kuat untuk berhutang (Fitzmurice,
2006). Seseorang yang menganut nilai materialisme cenderung untuk menganggap
harta, materi sebagai tolok ukur status dalam masyarakat dan produk fashion dianggap
sebagai salah satu parameternya. Konsumen yang menaruh perhatian tinggi
terhadap produk fashion cenderung menggunakan kartu kredit lebih tinggi
karena mungkin mereka tidak dapat membeli tanpa kartu kredit dan mereka diberi
kemudahan untuk “beli sekarang, bayar kemudian” (Richin, 1994 dan Rindfleisch, dkk,
1997 dalam Park dan Burn, 2005). Kartu kredit mempermudah proses pembelian
tanpa direncanakan pada produk fashion. Dengan kata lain, perilaku
pembelian impulsif dan kompulsif akan meningkatkan sejalan dengan peningkatan
penggunaan kartu kredit, karena kartu kredit digunakan sebagai alternatif
pembayaran non tunai seperti yang terjadi pada mahasiswa di Korea dan Amerika
(Park dan Forney, 2004). Berdasarkan uraian tersebut maka dapat diajukan
hipotesis sebagai berikut:
H3:
Penggunaan kartu kredit berperan signifikan sebagai variabel pemoderasi yang
memperkuat pengaruh materialisme terhadap perilaku pembelian kompulsif.
METODOLOGI PENELITIAN
Jenis Penelitian
Penelitian
ini termasuk dalam kategori riset eksplanatori dengan tujuan utamanya adalah
memperoleh penjelasan mengenai hubungan sebab-akibat (kausal). Malhotra (2007 :
85) menyatakan bahwa riset kausal sebagai salah satu jenis riset konklusif yang
dapat dimanfaatkan untuk maksud-maksud sebagai berikut: (1) memahami variabel
mana yang mempengaruhi dan variabel mana yang merupakan variabel akibat pada
fenomena tertentu, dan (2) menentukan sifat hubungan antara variabel independen
dan pengaruhnya yang akan diperkirakan.
Variable Penelitian
Indentifikasi Variable
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi pengaruh faktor
situasional pusat perbelanjaan dan materialisme konsumen terhadap perilaku
pembelian kompulsif dimana penggunaan kartu kredit merupakan variabel moderasi
dalam hubungan ini. Berdasarkan pokok permasalahan dan hipotesis yang diajukan,
variabel-variabel dalam analisis ini dapat diidentifikasi secara garis besar
sebagai
berikut :
1). Variabel independen (X)
Seluruh indikator yang mengidentifikasi variabel faktor
situasional diadopsi dari dari penelitian Mihic dan Kursan (2010) yang telah
dimodifikasi dan disesuaikan dengan konteks penelitian yang disajikan lebih
rinci. Sedangkan, seluruh indikator yang mengidentifikasi variable materialisme
diadopsi dari penelitian Richins dan Dawson, 1994 dalam Schiffman dan Kanuk,
2007: 192 yang telah dimodifikasi dan disesuaikan dengan konteks penelitian
yang disajikan lebih rinci.
2). Variabel dependen (Y)
Variabel dependen dalam penelitian yaitu: perilaku pembelian
kompulsif. Seluruh indikator yang mengidentifikasi variabel perilaku pembelian
kompulsif diadopsi dari penelitian Faber dan O’Guinn, 1992 dalam Shoham dan
Brencic, 2003; Roberts dan Pirog III, 2004; Park dan Burn, 2005 yang telah
dimodifikasi dan disesuaikan dengan konteks penelitian yang disajikan lebih
rinci
3). Variabel moderasi (Z)
Variabel moderasi dalam penelitian yaitu: penggunaan kartu kredit.
Seluruh indikator yang mengidentifikasi variabel penggunaan kartu kredit
diadopsi dari penelitian Roberts dan Jones, 2001; Park dan Burn, 2005 yang
telah dimodifikasi dan disesuaikan dengan konteks penelitian yang disajikan
lebih rinci
Definisi operasional variabel
(a) Faktor situasional (X1), adalah faktor-faktor eksternal yang
berasal dari lingkungan berbelanja ketika konsumen tertarik akan rangsangan
visual tertentu.
1) Saya sering melakukan pembelian yang tidak terencana (X1.1)
adalah perilaku seseorang yang sering melakukan pembelian diluar daftar belanja
yang direncanakan.
2) Saya berbelanja lebih banyak daripada yang direncanakan
sebelumnya ketika berbelanja dengan teman (X1.2) adalah perilaku seseorang yang
melakukan pembelian lebih banyak dari yang direncanakan sebelumnya ketika
berbelanja dengan teman.
3) Pengaturan toko yang menarik membuat saya berbelanja diluar
rencana sebelumnya (X1.3) adalah perilaku seseorang yang keputusan pembeliannya
terpengaruh oleh pengaturan barang di dalam toko.
4) Pramuniaga yang ramah membuat saya membeli produk diluar rencana
sebelumnya (X1.4) adalah perilaku pembelian seseorang yang dipengaruhi oleh
pelayanan yang diberikan oleh pramuniaga.
5) Alunan musik membuat saya berbelanja diluar rencana sebelumnya
(X1.5) adalah perilaku pembelian seseorang yang terpengaruh oleh alunan musik
di dalam pusat perbelanjaan.
6) Aroma ruangan yang harum membuat saya diluar rencana sebelumnya
(X1.6) adalah perilaku pembelian seseorang yang terpengaruh oleh aroma ruangan
yang harum.
7) Lokasi pusat perbelanjaan yang mudah dijangkau merangsang saya
untuk berbelanja (X1.7) adalah perilaku seseorang yang melakukan pembelian
karena lokasi pusat perbelanjaan yang strategis dan mudah dijangkau misal
berada di pusat kota, dekat dengan rumah atau dekat dengan kantor.
8) Kegiatan promosi merangsang saya untuk melakukan pembelian
diluar rencana sebelumnya (X1.8) adalah perilaku seseorang yang melakukan
pembelian karena terpengaruh dengan promosi yang dilakukan oleh pusat
perbelanjaan misal potongan harga, beli satu gratis satu, iklan spanduk,
banner, iklan di media massa dan sebagainya.
9) Display yang menarik merangsang saya untuk melakukan
pembelian diluar rencana sebelumnya (X1.9) adalah perilaku pembelian seseorang
yang terpengaruh karena display atau pajangan yang menarik.
10) Kemasan produk yang menarik merangsang saya untuk melakukan
pembelian diluar rencana sebelumnya (X1.10) adalah perilaku pembelian seseorang
dalam membeli produk fashion terpengaruh oleh kemasan yang menarik.
11) Penempatan produk yang mudah dijangkau mempengaruhi saya untuk
melakukan pembelian diluar rencana sebelumnya (X1.11) adalah perilaku pembelian
seseorang dalam membeli produk fashion terpengaruh oleh kemudahan dalam
menjangkau penempatan produk fashion.
12) Merek yang terkenal merangsang saya untuk melakukan pembelian
diluar rencana sebelumnya (X1.12) adalah perilaku pembelian seseorang yang
dipengaruhi oleh karena ketertarikanya akan suatu merek fashion yang
sudah familiar atau dikenal sebelumnya.
(b) Materialisme (X2) yaitu terdiri atas tiga dimensi yaitu:
(1). Dimensi pentingnya harta dalam hidup seseorang/ acquisition
centrality (X3) adalah persepsi seseorang yang menganggap bahwa harta benda
sangatlah penting dalam kehidupan seseorang dan harta ditempatkan
sebagai posisi sentral atau utama dalam kehidupan seseorang.
1) Saya sering membeli
sesuatu yang tidak saya butuhkan (X3.1) adalah perilaku seseorang yang
menggunakan uangnya untuk membeli barang-barang yang tidak dibutuhkan dalam
hidupnya.
2) Saya menyukai
kemewahan (X3.2) adalah adalah perilaku seseorang yang menyukai kemewahan dalam
hidup.
3) Membeli sesuatu memberikan kesenangan bagi saya (X3.3) adalah
perasaan bahagia seseorang apabila mampu membeli barang yang diinginkannya
dalam hal ini produk fashion.
(2) Dimensi kepemilikian merupakan ukuran kesuksesan hidup/ possession
defined success(X4) adalah persepsi seseorang bahwa kepemilikan harta benda
merupakan suatu ukuran untuk menilai kesuksesan sesorang. Semakin banyak
harta benda yang dimiliki, semakin sukses pula orang tersebut.
1) Saya sangat mengagumi orang lain yang memiliki barang-barang
yang mahal (X4.1) adalah perilaku seseorang yang mengagumi orang lain yang
memiliki barang-barang yang mahal yang dijadikan sebagai salah satu tolok ukur
keberhasilan seseorang dalam hidup.
2) Jumlah materi yang dimiliki seseorang merupakan ukuran sebuah
kesuksesan (X4.2) adalah persepsi seseorang yang menganggap bahwa kesuksesan
dalam hidup ditentukan oleh kepemilikan harta benda.
3) Saya senang memiliki sesuatu yang dapat membuat orang lain
terkesan (X4.3) adalah perasaan senang dikarenakan memiliki barang yang mampu
membuat orang lain terkesan.
(3) Dimensi kepemilikan dan harta benda merupakan sumber
kebahagian acquisition as the pursuit of happiness (X5) adalah persepsi
bahwa kepemilikan harta benda merupakan hal yang sangat penting dalam mencapai
kebahagiaan, kesejahteraan dan kepuasan dalam hidup. Semakin banyak harta benda
yang dimiliki, seseorang akan semakin berbahagia.
1) Memiliki barang yang saat ini belum saya miliki membuat saya
bahagia (X5.1) adalah persepsi seseorang yang menganggap bahwa hidupnya akan
lebih bahagia apabila mampu memiliki segala barang yang belum dimiliki.
2) Membeli banyak barang membuat saya bahagia (X5.2) adalah
persepsi seseorang bahwa hidupnya akan lebih bahagia apabila memiliki kemampuan
(uang) untuk membeli barang dan materi .
3) Saya merasa resah saat tidak sanggup membeli barang yang saya
sukai (X5.3) adalah persepsi seseorang bahwa akan mengalami kegelisahan apabila
tidak dapat membeli harta benda yang diinginkan.
(c) Penggunaan kartu kredit (Z) adalah satu alat pembayaran dengan
cara kredit, di mana konsumen dapat berbelanja meskipun pada saat itu tidak
mempunyai uang.
1) Tagihan kartu kredit saya mencapai batas kredit maksimum (Z1.1)
adalah perilaku seseorang yang menggunakan fasilitas kartu kreditnya sampai
dengan batas maksimum yang diberikan oleh pihak penerbit kartu kredit.
2) Saya tidak khawatir dengan harga produk fashion ketika
menggunakan kartu kredit (Z1.2) adalah perilaku seseorang yang tidak merasa
khawatir akan harga produk fashion ketika menggunakan kartu kredit yang memberikan
fasilitas untuk membelanjakan uang masa depannya
sekarang.
3) Saya sering melakukan pembelian tanpa direncanakan ketika
berbelanja produk fashion dengan menggunakan kartu kredit(Z1.3) adalah
ketika berbelanja produk fashion, perilaku pembelian tanpa direncanakan dengan
menggunakan kartu kredit menjadi lebih tinggi.
4) Saya berbelanja produk fashion lebih banyak ketika
menggunakan kartu kredit (Z1.4) adalah perilaku seseorang dalam berbelanja
produk fashion menjadi lebih banyak baik secara nominal maupun volume
ketika menggunakan kartu kredit.
5) Saya sering berbelanja produk fashion melebihi batas
kredit yang saya dapatkan (Z1.5) adalah perilaku seseorang dalam melakukan
pembelian produk fashion melebihi batas kredit maksimum yang diperoleh
dari bank penerbit.
6) Saya sering mengambil uang tunai menggunakan kartu kredit saya untuk
berbelanja produk fashion (Z1.6) adalah perilaku seseorang yang sering
menarik tunai dari kartu kredit dan selanjutnya digunakan untuk berbelanja
produk fashion.
7) Saya menggunakan lebih dari satu kartu kredit (Z1.7) adalah
perilaku seseorang memiliki dan menggunakan lebih dari satu kartu kredit.
d) Perilaku pembelian kompulsif (Y) yaitu suatu perilaku pembelian
yang tanpa direncanakan dan dilakukan secara berulang-ulang pada produk fashion
akibat rasa ketagihan, bosan, tertekan terhadap pakaian pesta, pakaian
kantor, kaos, celana, rok, baju, dan lain sebagainya.
1) Saat memilki uang lebih pada akhir bulan, saya sering
menghabiskan uang tersebut untuk membeli produk fashion (Y1.1) adalah
perilaku seseorang yang menghabiskan sisa uangnya untuk membeli produk fashion
saat memiliki uang lebih pada akhir bulan.
2) Orang lain akan heran jika mereka tahu kebiasaan saya dalam berbelanja
produk fashion yang saya inginkan (Y1.2) adalah perasaan seseorang bahwa
perilaku belanja produk fashionnya mampu membuat orang lain merasa
heran.
3) Saya sering membeli produk fashion meskipun saat ini
belum memiliki kemampuan membayar (Y1.3) adalah perilaku seseorang yang saat
ini membeli produk fashion dengan cara bukan tunai salah satunya dengan menggunakan
kartu kredit.
4) Saya berusaha mencari pinjaman uang dari orang lain demi
membeli produk fashion (Y1.4) adalah perilaku seseorang yang rela
meminjam uang dari orang lain untuk membeli produk fashion yang
diinginkan.
5) Saya membeli produk fashion agar saya merasa senang
(Y1.5) adalah perilaku seseorang yang merasa senang setelah melakukan pembelian
produk fashion.
6) Saya merasa terganggu ketika tidak berbelanja produk fashion
yang saya inginkan (Y1.6) adalah perasaan seseorang yang merasa gelisah ketika
tidak berbelanja produk fashion yang diinginkan.
7) Saya sering melakukan pembayaran kartu kredit dalam jumlah minimum
untuk produk fashion yang saya beli (Y1.7) adalah perilaku seseorang
yang hanya melakukan pembayaran minimum pada tagihan kartu kreditnya, biasanya
berkisar antara 5-10 persen dari total tagihan.
PENGEMBANGAN HIPOTESIS
Hipotesis
pertama mendukung bahwa faktor situasional berpengaruh secara positif dan
signifikan terhadap perilaku pembelian kompulsif. Hasil penelitian ini
mendukung temuan Mihic dan Kursan (2010) yaitu factor situasional merupakan
faktor eksternal yang muncul karena seseorang melakukan kontak dengan
lingkungan dan produk yang nantinya dapat menyebabkan pembelian impulsif dan
pembelian impulsif yang berulang akan menyebabkan terjadinya perilaku pembelian
kompulsif.
Hipotesisi
kedua mendukung bahwa materialisme berpengaruh secara positif dan signifikan
terhadap perilaku pembelian kompulsif. Hasil penelitian ini mendukung temuan
O’Guinn dan Faber, 1989; Dittmar, dkk., 1996; Mowen and Spears, 1999;
Yurchisin dan Johnson, 2004 (Jonshon, 2009) yang menyatakan bahwa materialisme
mempengaruhi perilaku pembeli kompulsif. Seseorang yang
materialis
memiliki keterlibatan yang tinggi pada produk pakaian (Browne dan Kaldenberg,
1997; Yurchisin dan Johnson, 2004 dalam Johnson dan Attman, 2009). Oleh
karenanya, sangatlah beralasan bahwa seseorang dengan nilai materialistik yang
tinggi akan memiliki tingkat pembelian kompulsif pakaian yang tinggi.
Hipotesis
ketiga mendukung bahwa penggunaan kartu kredit sebagai pemoderasi yang
memperkuat pengaruh materialisme terhadap perilaku pembelian kompulsif. Hasil
penelitian ini mendukung penelitian Park dan Forney (2004) yang menemukan
bahwa, perilaku pembelian kompulsif mahasiswa Korea dan Amerika meningkatkan
sejalan dengan peningkatan penggunaan kartu kredit, karena kartu kredit
digunakan sebagai alternatif pembayaran non tunai.
IMPLIKASI HASIL PENELITIAN
Implikasi Teoritis
Implikasi
teoritis yang dapat diberikan dari temuan penelitian ini adalah sebagai
berikut:
a.
Temuan penelitian ini telah memperkuat penelitian-penelitian sebelumnya yang
dilakukan oleh beberapa peneliti seperti dukungan terhadap pengaruh baik secara
langsung maupun dengan pemoderasi dari variabel-variabel yang ada, terutama
mengenai variabel faktor situasional pusat
perbelanjaan,
materialisme dan perilaku pembelian kompulsif para pengguna kartu kredit
terhadap pembelian produk fashion
Implikasi
Praktis
Implikasi
praktis yang dapat diberikan dari temuan penelitian ini adalah sebagai berikut.
a.
Kajian ini dapat dijadikan sebagai model dasar untuk melakukan evaluasi
strategi penjualan oleh pemasar dengan memperhatikan pengaruh factor situasional,
materialisme dan penggunaan kartu kredit, sehingga pihak pemasar produk fashion,
manager pusat perbelanjaan maupun perusahaan penerbit kartu kredit dapat
mengubah strategi ke arah yang lebih baik, dengan memaksimalkan
indikator-indikator variabel faktor situasional, materialisme konsumen dan
penggunaan kartu kredit.
b.
Berdasarkan karekteristik responden, pihak pemasar produk fashion,
manager pusat perbelanjaan maupun pihak penerbit kartu kredit dapat mengetahui
konsumen yang lebih banyak melakukan pembelian kompulsif adalah wanita yang
usianya berkisar antara 26-35 tahun, di mana pekerjaannya adalah karyawan
BUMN/BUMD, dengan pengeluaran individu berkisar antara Rp 3.500.001-Rp
4.000.000,-. Pihak pemasar produk fashion, manager pusat perbelanjaan maupun
pihak penerbit kartu kredit dapat mempengaruhi perilaku pembelian kompulsif
konsumen dengan memperhatikan karakteristiknya. Lebih lanjut, pihak pemasar
produk fashion, manager pusat-pusat perbelanjaan maupun perusahaan
penerbit kartu kredit hendaknya dapat saling bekerjasama untuk memberikan
perlakuan khusus bagi para pengguna kartu tidak hanya dari kalangan wanita,
berusia 26-35 tahun, karyawan BUMN/BUMD, dengan pengeluaran individu berkisar
antara Rp 3.500.001-Rp 4.000.000.
KESIMPULAN
Berdasarkan
hasil pembahasan bab-bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan sebagai berikut.
(1)
Faktor situasional berpengaruh positif dan signifikan terhadap perilaku
pembelian kompulsif. Ini berarti bahwa semakin baik faktor situasional maka
semakin tinggi pula perilaku pembelian kompulsif konsumen.
(2)
Materialisme berpengaruh positif dan signifikan terhadap perilaku pembelian
kompulsif. Ini berarti bahwa konsumen yang semakin berorientasi pada materi
akan meningkatkan perilaku pembelian kompulsifnya karena kuputusan konsumen
untuk melakukan pembelian dilakukan untuk menunjang penampilannya.
(3)
Penggunaan kartu kredit secara signifikan berperan sebagai pemoderasi yang
memperkuat pengaruh antara materialisme terhadap perilaku pembelian kompulsif.
Ini berarti bahwa kehadiran kartu kredit meningkatkan hubungan materialisme
dengan perilaku pembelian kompulsif. Dengan adanya kartu kredit, keinginan
untuk melakukan pembelian produk-produk fashion yang tidak terencana dapat
dipermudah karena dapat dibayar dikemudian hari.
Dikutip
dari jurnal :
1.
unud-368-1898979481-bab 1-6.pdf
2. Prima Naomi – Iin
Mayasari. Faktor Faktor Yang
Mempengaruhi Siswa SMA Dalam Perilaku Pembelian Kompulsif: Perspektif
Psikologi.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar