Kamis, 25 Oktober 2012

Tugas softskill ke-3 MK: Perilaku konsumen

"Bagaimana melakukan segmentasi dalam strategi?"


Segmentasi Pasar
Segmen pasar adalah bagian dari pasar yang lebih besar, yang kebutuhannya sedikit berbeda dibanding pasar yang lebih besar. Karena segmen pasar mempunyai kebutuhan yang unik, perusahaan yang mengkhususkan produk untuk segmen ini semata, akan lebih dapat memenuhi keinginan konsumen dibanding perusahaan yang meproduksi barang untuk segmen yang luas. Agar dapat terus berjalan segmen pasar khusus harus luas agar tetap dapat memberikan keuntungan.
Segmentasi pasar meliputi 4 langkah meliputi:
1. Mengidentifikasi kebutuhan yang berhubungan dengan produk
2. Mengelompokkan konsumen dengan kebutuhan yang sama
3. Menggambarkan / menjelaskan setiap kelompok
4. Menyeleksi segmen-segmen yang menarik untuk dilayani
Mengidentifikasi kebutuhan yang berhubungan dengan produk
Mengidentifikasi variasi kebutuhan yang mungkin akan diminati oleh pasar meliputi riset terhadap konsumen, mengkaji kecenderungan dari suatu kelompok dan wawancara mendalam. Kebutuhan identifikasi ini berhubungan dengan variabel lain seperti umur, taraf kehidupan rumah tangga, jenis kelamin, kelas sosial, kelompok etnis, atau gaya hidup, dan banyak perusahaan memulai proses segmentasi dengan berfokus pada salah satu atau beberapa variabel tersebut.
Mengelompokkan konsumen dengan kebutuhan yang sama
Pengelompokkan konsumen dapat dijadikan sebagai acuan bahwa ada pasar yang akan merespon produk yang akan dilempar ke masayarakat.
Menggambarkan / menjelaskan setiap kelompok
Ketika sudah melakukan pengelompokkan konsumenm perlu dikaji secara detail bagaimana keadaan secara demogrfis, gaya hidup, dan bagaimana cara mereka dalam berkomunikasi. Sebagai upaya untuk merancang program pemasaran yang efektif, penting kiranya untuk memahami konsumen secara penuh.
Menyeleksi segmen-segmen yang menarik untuk dilayani
Langkah selanjutnya setelah kita memastikan paham dengan setiap segmen adalah menentukan target pasar, segmen dari pasar yang besar dimana kita akan memfokuskan diri dalam upaya melakukan pemasaran.
Strategi Pemasaran
Tidaklah mungkin untuk menyeleksi target pasar tanpa merumuskan secara simultan strategi pemasaran di setiap segmen. Standar yang jelas dalam memilih target pasar adalah kemampuan untuk memberikan nilai yang lebih kepada segemen pasar. Karena nilai konsumen dihasilkan dari strategi pemasaran, perusahaan mampu untuk membangun strategi pemasaran mereka untuk mengevaluasi target pasar yang potensial.
Strategi pemasaran mampu menjawab , bagaimana kita akan memberikan nilai lebih untuk target pasar kita?  Jawaban dari pernyataan ini dibutuhkan perumusan dari marketing mix dalam hal ini meliputi produk, harga, komunikasi (promosi), distribusi, dan servis.
Produk
Segala sesuatu yang diusahakan atau sedang diusahakan oleh konsumen untuk memenuhi kebutuhannya, pada umumnya konsumen membeli produk yang memeberikan mereka kepuasan dari pada membeli produk karena penampakan luarnya.
Komunikasi
Komunikasi dalam pemasaran atau promosi meliputi iklan, sales force, public relation, pengemasan dan tanda lain yang mampu mempromosikan perusahaan atau produk tersebut.
Agar strategi promosi yang dibuat efektif, sebaiknya mampu menjawab pertanyaan sebagai berikut :
1. Kepada siapa kita akan berpromosi?
2. Efek apa yang kita inginkan dari promosi yang kita berikan?
3. Apakah pesan yang disampaikan dalam promosi akan meningkatkan keinginan pada audiens?
4. Metode apa dan apakah media yang diperlukan untuk meningkatkan target audiens?
5. Kapankah kita harus berpromosi dengan target audiens?
Harga
Harga adalah sejumlah uang yang harus dibayarkan untuk mendapatkan hak menggunakan barang. Terkadang besar kecilnya harga merepresentasikan kualitas dari suatu barang.
Distribusi
Menjamin ketersediaan produk dimana konsumen dapat membelinya, bagaimana dan dimana konsumen lebih suka membelinya, adalah tujuan dari pemilihan jalur distribusi. Keputusan yang keliru dalam pemilihan jalur dapat menyebabkan terhambatnya pasokan atau menyebabkan kebingungan konsumen ketika akan membli barang. Hal ini dapat menyebabkan konsumen mencari alternatif barang lain yang lebih mudah didapat.
Servis
Dalam pembahasan ini servis diartikan sebagai kegiatan yang mampu meningkatkan performansi dari produk atau jasa tersebut. Servis yang diberikan sepatutnya dapat memberikan nilai lebih pada konsumen, contohnya ketika kita membeli suatu barang elektronik, maka sebagai servisnya kita akan mendapatkan jasa antar barang, atau misalkan kita membeli sebuah sepeda motor, kita akan mendapatkan servis gratis selama beberapa kali.
Proses Pengambilan Keputusan Konsumen
Proses keputusan konsumen dipengaruhi oleh strategi pemasaran dan hasil yang diperoleh konsumen. Hasil dari strategi pemasaran ditentukan oleh proses pengambilan keputusan konsumen. Perusahaan akan berhasil jika, prosesnya adalah sebagai berikut; konsumen mengenali kebutuhan kemudian mengetahui keberadaan suatu produk dan kemampuannya, memutuskan bahwa produk ini solusi tepat, membelinya dan mendapatkan kepuasan dari produk yang dibelinya.
Referensi :

Tugas softskill ke-2 MK: Perilaku Konsumen

"Bagaimana perilaku konsumen terhadap perkembangan tekhnologi?"

Perilaku Konsumen Terhadap Perkembangan Teknologi
Membicarakan teknologi tak bisa lepas dari perkembangan media. Media berkembang searah dengan berkembangnya budaya di dalam masyarakat tetapi media juga mempengaruhi budaya masyarakat dengan suguhan suguhan yang bersifat positif dan bisa juga negatif, karena pada dasarnya tujuan media adalah menyampaikan sebuah informasi kepada khalayak umum atau konsumen
Perkembangan dunia saat ini diiringi dengan adanya perkembangan teknologi dan informasi yang menyebabkan tatanan bisnis juga mengalami perubahan, ini ditandai oleh adanya perubahan perilaku konsumen di dalam memandang dan membeli produk yang ditawarkan di pasaran
Di bidang bisnis baik perdagangan barang maupun jasa peranan teknologi akan sangat penting untuk kegiatan transaksi baik rutin, periodik, maupun insidental dan menyediakan banyak informasi dengan cepat dan tepat. Promosi banyak dilakukan dengan menggunakan social networking karena dianggap lebih efisien, mudah dan  hemat biaya dalam mempromosikan barang atau jasa yang ditawarkan dengan memberikan gambaran yang bagus serta penjelasan yang cukup menarik.
Orang-orang yang bergerak dibidang pemasaran menghadapi tantangan yang menggairahkan dan menakutkan sebagai tuntutan karena perkembangan perilaku konsumen bergerak sangat cepat. Perusahaan lokal mengahadapi tantangan persaingan internasional, selain itu harus memanfaatkan kesempatan meluaskan pemasaran termasuk Cina dan India. Di Amerika Serikat, perusahaan merespon perkembangan perbedaan dibeberapa wilayah termasuk perpindahan pasar Hispanic. Pengecer menghadapi tantangan dan kesempatan dari teknologi karena perkembangan pembelian secara online. Orang-orang yang bergerak dibidang pemasaran dan para pengatur kebijakan berusaha keras untuk tetap mempertahankan kode etik dan aspek sosial dari pemasaran termasuk pemasaran untuk produk anak-anak.
Referensi :

Tugas Softskill ke-1 MK: Perilaku Konsumen

"Apa yang dimaksud dengan perilaku konsumen?"


Perilaku Konsumen
Perilaku konsumen adalah proses dan aktifitas ketika seseorang berhubungan dengan pencarian, pemilihan, pembelian, penggunaan, serta pengevalusian produk dan jasa demi memenuhi kebutujan dan keinginan. Perilaku konsumen merupakan hal-hal yang mendasari konsumen untuk membuat keputusan pembelian. Pendekatan Perilaku Konsumen :
Perilaku Kardinal :
Pendekatan kardinal merupakan  kepuasan seorang konsumen diukur dengan satuan kepuasan (misalnya:uang). Setiap tambahan satu unit barang yang dikonsumsi akan menambah kepuasan yang diperoleh konsumen tersebut dalam jumlah tertentu. Semakin besar jumlah barang yang dapat dikonsumsi maka semakin tinggi tingkat kepuasannya. Konsumen yang rasional akan berusaha untuk memaksimalkan kepuasannya pada tingkat pendapatan  yang dimilikinya. Besarnya nilai kepuasan akan sangat bergantung  pada individu (konsumen) yang bersangkutan. Konsumen dapat mencapai kondisi equilibrium atau mencapai kepuasan yang maksimum apabila dalam membelanjakan pendapatannya mencapai kepuasan yang sama pada berbagai barang.
Perilaku Ordinal :
Dalam Pendekatan Ordinal daya  guna  suatu barang tidak  perlu diukur, cukup untuk diketahui dan konsumen mampu membuat urutan tinggi rendahnya daya guna yang diperoleh dari mengkonsumsi sekelompok barang.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi perilaku konsumen antara lain adalah :
Menurut James F. Engel - Roger D. Blackwell - Paul W. Miniard dalam Saladin terdapat tiga faktor yang mempengaruhinya, yaitu :
Pengaruh lingkungan, terdiri dari budaya, kelas sosial, keluarga dan situasi. Sebagai dasar utama perilaku konsumen adalah memahami pengaruh lingkungan yang membentuk atau menghambat individu dalam mengambil keputusan berkonsumsi mereka. Konsumen hidup dalam lingkungan yang kompleks, dimana perilaku keputusan mereka dipengaruhi oleh keempat faktor tersebut diatas.
Perbedaan dan pengaruh individu, terdiri dari motivasi dan keterlibatan, pengetahuan, sikap, kepribadian, gaya hidup, dan demografi. Perbedaan individu merupkan faktor internal (interpersonal) yang menggerakkan serta mempengaruhi perilaku. Kelima faktor tersebut akan memperluas pengaruh perilaku konsumen dalam proses keputusannya.
Proses psikologis, terdiri dari pengolahan informasi, pembelajaran, perubahan sikap dan perilaku. Ketiga faktor tersebut menambah minat utama dari penelitian konsumen sebagai faktor yang turut mempengaruhi perilaku konsumen dalam penambilan keputusan pembelian. Menurut Kotler dan Armstrong (1996) terdapat dua faktor dasar yang mempengaruhi perilaku konsumen yaitu faktor eksternal dan faktor internal.  
Faktor eksternal
Faktor eksternal merupakan faktor yang meliputi pengaruh keluarga, kelas sosial, kebudayaan, marketing strategy, dan kelompok referensi. Kelompok referensi merupakan kelompok yang memiliki pengaruh langsung maupun tidak langsung pada sikap dan prilaku konsumen. Kelompok referensi mempengaruhi perilaku seseorang dalam pembelian dan sering dijadikan pedoman oleh konsumen dalam bertingkah laku.
Faktor internal
Faktor-faktor yang termasuk ke dalam faktor internal adalah motivasi, persepsi, sikap, gaya hidup, kepribadian dan belajar. Belajar menggambarkan perubahan dalam perilaku seseorang individu yang bersumber dari pengalaman. Seringkali perilaku manusia diperoleh dari mempelajari sesuatu.
Referensi :

Selasa, 23 Oktober 2012

metode riset: Latar Belakang Masalah


Nama : Tertiera Nurariefani Azizah
Kelas : 3EA18
NPM : 19210435


LATAR BELAKANG MASALAH

Loyalitas konsumen selalu menjadi topik yang tidak habis untuk dieksplorasi. Loyalitas konsumen telah dihubungkan dengan banyak sekali variabel lainnya. Dilihat dari factor – factor yang mempengaruhi, ragam variable, maupun sisi psikologis pencarian variasi dari konsumen terkait. Loyalitas Konsumen berhubungan dengan kepuasan konsumen. Setiap perusahaan sangat mengharapkan memiliki konsumen / pelanggan yang loyal terhadap produk atau jasa yang ditawarkan . Untuk itu, menarik bagi saya menggarap masalah tentang loyalitas konsumen yang dilihat dari berbagai aspek dan variable penting lainnya.
Griffin (2003 ; 223) mengemukakan keuntungan-keuntungan yang akan diperoleh perusahaan apabila memiliki pelanggan yang loyal antara lain: (1) Mengurangi biaya pemasaran (karena biay\a untuk menarik pelangan baru lebih mahal). (2) Mengurangi biaya transaksi (seperti biaya negosiasi kontrak, pemrosesan pesanan, dll). (3) Mengurangi biaya turn over pelanggan (karena pergantian pelanggan yang lebih sedikit). (4) Meningkatkan penjualan silang yang akan memperbesar pangsa pasar perusahaan. (5) Word of mouth yang lebih positif dengan asumsi bahwa pelanggan yang loyal juga berarti mereka yang merasa puas. (6) Mengurangi biaya kegagalan (seperti biaya pergantian, dll).
Permasalahan yang ingin dikaji dalam penelitian ini adalah apa saja factor penentu dan variable-variabel dari loyalitas konsumen. Dari latar belakang tersebut maka peneliti merasa tertarik untuk mengadakan penelitian tentang “analisa loyalitas konsumen”.

metode riset: tema


Nama : Tertiera Nurariefani Azizah
Kelas : 3EA18
NPM : 19210435

LOYALITAS KONSUMEN
When a customer is loyal, he or she exhibits purchase behavior defined as non-random purchase expressed over time by some decision-making unit. Griffin (2003 ; 113)

Pentingnya untuk meningkatkan first-time customer menjadi lifetime buyer adalah: (1) Penjualan akan meningkat karena konsumen akan membeli lebih dari Anda. (2) Akan menguatkan posisi Anda di pasar jika konsumen membeli dari Anda dan bukan dari kompetitor. (3) Biaya pemasaran akan turun karena Anda tidak harus menggunakan uang lebih banyak untuk menarik konsumen karena Anda telah mengenalnya. Demikian juga konsumen yang puas akan menceritakan ke temannya sehingga akan mengurangi biaya iklan. (4) Anda akan dapat mengisolasi dari kompetensi harga karena konsumen yang loyal tidak gampang terpengaruh oleh discount dari pesaing. (5) Akhirnya konsumen yang puas akan senang untuk mencoba produk anda yang lainnya, sehingga membantu Anda untuk memperoleh pangsa pasar yang lebih luas.
Indikator dari loyalitas pelanggan menurut Kotler & Keller (2006 ; 57) adalah Repeat Purchase (kesetiaan terhadap pembelian produk); Retention (Ketahanan terhadap pengaruh yang negatif mengenai perusahaan); referalls (mereferensikan secara total esistensi perusahaan).

metode riset: analisis jurnal3

Nama : Tertiera Nurariefani Azizah
Kelas : 3EA18
NPM : 19210435
Loyalitas Konsumen
PERILAKU PENCARIAN VARIASI: DITINJAU DARI PERSPEKTIF PSIKOLOGI DAN IMBASNYA PADA LOYALITAS KESIKAPAN KONSUMEN
Lin Mayasari
April, 2008

LATAR BELAKANG
Perilaku pencarian variasi ditunjukkan oleh pergantian merek pada satu kategori produk, pergantian atribut dalam satu merek, dan pergantian kategori produk yang bisa memenuhi kebutuhan yang sama. Perilaku pencarian variasi bisa dilakukan oleh setiap konsumen yang memiliki daya beli. Perilaku pencarian variasi merupakan perilaku eksploratori yang tidak disebabkan oleh perubahan sikap, artinya konsumen yang sudah memiliki kepuasan pada suatu merek, dapat mencari variasi merek lain (Hansen, 1980; Raju, 1981; 1984; Ganesh, Arnold, & Reynolds, 2000). Perilaku ini terjadi ketika seseorang menginginkan stimuli produk yang berbeda dan baru.
Perkembangan penelitian perilaku pencarian variasi dimulai sejak tahun 1980-an. Topik penelitian perilaku pencarian variasi lebih memfokuskan permasalahan pada strategi pemasaran dan lingkungan retail untuk menjelaskan terjadinya perilaku pencarian variasi serta konsekuensinya, misalnya aspek desain produk, promosi harga, perluasan lini produk, media cetak, tata ruang, dekorasi, penggunaan aroma ruangan, musik, dan keragaman penyajian produk (Pessemier & McAlister, 1982; Handelsman & Munson, 1985; Kahn & Raju, 1991; Simonson & Winer, 1992; Morales, Kahn, Huffman, McAlister, & Broniarczyk, 2002).
Ganesh et al. (2000) berpendapat bahwa, strategi pemasaran dan lingkungan retail menjadi faktor penentu yang mempengaruhi ketertarikan konsumen dalam mencoba produk-produk baru, karena memudahkan konsumen untuk mengambil keputusan pembelian suatu produk tanpa harus mencari faktor yang menjadi pertimbangan terlebih dahulu, misalnya biaya yang harus dikeluarkan, pencarian informasi lebih lanjut, dan adanya saran dari teman. Konsumen yang suka melakukan pencarian variasi ini sangat rentan terhadap strategi yang disusun oleh pemasar dan lingkungan toko (Morgan & Dev, 1994). Oleh karena itu, pemasar berusaha untuk mempengaruhi konsumen dengan cara menyusun strategi pengembangan produk, penetapan harga, atau penataan lingkungan retail. Isu-isu penelitian yang muncul dari studi-studi perilaku pencarian variasi yang lebih memfokuskan pada strategi pemasaran dan lingkungan retail antara lain: (1) tidak membahas aspek internal konsumen, khususnya pada aspek psikologi konsumen; (2) tidak membahas dampak perilaku pencarian variasi pada loyalitas kesikapan. Steenkamp dan Gielens (2003) berpendapat bahwa, fokus penelitian yang tidak memahami aspek psikologi sesungguhnya dalam melakukan pembelian memiliki konsekuensi secara manajerial, karena hasil penelitian harus memiliki kontribusi pada pihak pemasar dalam membuat strategi untuk membidik pasar sasaran yang tepat. Ketika pemasar tidak memahami motivasi konsumen, pemasar bisa melakukan kesalahan dalam menentukan segmen pasar yang sesungguhnya. Penelitian yang memfokuskan pada strategi pemasaran dan lingkungan retail hanya memberikan solusi untuk pengembangan strategi segmentasi pasar berdasarkan variabelvariabel keperilakuan, yaitu variabel penggunaan dan demografi. Sementara itu, segmentasi psikologi menjadi kurang difokuskan. Segmentasi psikologi menjadi penting karena mengingat konsumen adalah individu yang memiliki motivasi yang mudah berubah.

MASALAH DAN TUJUAN
Permasalahan

Studi ini menguji sebuah model yang menjelaskan aspek internal sebagai stimuli dalam mempengaruhi konsumen untuk melakukan pencarian variasi. Aspek yang dianalisis sejalan dengan isu yang dibahas berkaitan dengan pentingnya aspek internal konsumen, yaitu persepsi konsumen terhadap stimuli lingkungan yang dihadapi. Aspek internal konsumen dijelaskan oleh konsep tingkat stimulasi optimum sebagai bagian dari perspektif psikologi seseorang terhadap stimuli tertentu.
Konsep tingkat stimulasi optimum merupakan konsep yang menjelaskan sisi internal individu yang menunjukkan kondisi psikologis konsumen untuk melakukan pencarian variasi. Studi mengenai pengaruh tingkat stimulasi optimum pada konsep-konsep, misalnya adopsi produk baru, pencarian informasi, pengambilan produk sudah diuji secara impiris (Mittelstaedt, Grossbart, Curtis, 1976; Raju & Venkatesan, 1980; Joachimsthaler & Lastovicka, 1984; Wahlers & Etzel, 1986)
Penelitian ini menguji pengaruh tingkat stimulasi optimum pada perilaku pencarian variasi. Konsep tingkat stimulasi optimum penting dipahami karena menunjukkan persepsi dan rasa suka konsumen terhadap stimuli lingkungan pemasaran, khususnya strategi pemasaran yang meliputi produk atau promosi. Perilaku konsumen tidak merupakan proses pembelajaran linier, artinya ada suatu aspek ketidakpastian dalam diri konsumen bahwa, tindakan saat ini tidak mungkin akan dilakukan lagi, misalnya pembelian terhadap merek tertentu tidak menjamin pembelian ulang merek yang sama di masa yang akan datang (Read & Louweinstein, 1995). Konsumen memiliki perubahan persepsi dan preferensi terhadap merek atau produk tertentu.
Perilaku pencarian variasi bisa terjadi ketika konsumen berada dalam kondisi tingkat stimulasi optimum yang terus-menerus. Hal ini menyebabkan tingkat stimulasi lingkungan dipersepsi menjadi tidak menarik lagi. Individu yang mempersepsi kondisi ini merasakan suatu dorongan untuk mencari suatu stimulus baru. Tingkat stimulasi optimum ini mendorong seseorang untuk melakukan pencarian variasi. Tingkat stimulasi optimum bisa dijelaskan oleh individu yang memiliki kecenderungan mudah terbuka. Kecenderungan untuk mau menerima hal-hal baru juga menunjukkan bahwa, individu menghindari sesuatu yang monoton sehingga berkeinginan untuk mencari variasi baru (Hill, 1975). Konsumen yang mau membuka dirinya terhadap sesuatu yang baru memiliki tingkat kreativitas tertentu, misalnya berusaha mencari informasi baru mengenai perkembangan produk.
Selain membahas pengaruh aspek internal konsumen pada perilaku pencarian variasi, studi ini juga menguji pengaruh perilaku pencarian variasi pada loyalitas kesikapan. Konsep loyalitas kesikapan merupakan aspek internal konsumen yang penting untuk diperhatikan karena secara manajerial, para praktisi pemasaran sulit untuk mempertahankan loyalitas kesikapan konsumen yang didasari oleh motivasi yang beragam. Di satu sisi, pemasar menginginkan konsumen untuk tidak berpindah pada merek lain; sedangkan di sisi lain, konsumen merupakan individu yang selalu berusaha mencari stimulus baru ketika stimuli lingkungan yang ada sudah tidak menarik lagi.
Gounaris dan Stathakopoulos (2004) berpendapat bahwa, loyalitas kesikapan menjadi penting bagi tujuan perencanaan pasar jangka panjang. Di samping itu, loyalitas dijadikan dasar untuk pengembangan keunggulan kompetitif yang berkelanjutan, yaitu keunggulan yang dapat direalisasi melalui upaya-upaya pemasaran. Perusahaan-perusahaan yang berorientasi pada konsumen berusaha untuk memenuhi kebutuhan konsumen sepanjang waktu secara lebih baik melalui penawaran produk dengan variasi yang beragam (Sawhney, 1998; Nelson, 2002). Karakteristik produk beragam yang ditawarkan bisa menjadi pemicu bagi konsumen mencoba variasi produk. Secara khusus, memahami loyalitas kesikapan merek penting bagi pemasar karena bisa memahami aspek psikologis konsumen, yaitu berkaitan dengan aspek afektif pada sebuah merek. Jika hanya memahami loyalitas keperilakuan, maka pemasar merasa sulit untuk membedakan antara loyalitas merek dan perilaku pembelian ulang.
Perilaku pembelian ulang dapat diartikan sebagai perilaku konsumen yang membeli sebuah produk secara berulang-ulang tanpa menyertakan aspek afektif di dalamnya. Perilaku pencarian variasi menjadikan konsumen sulit memiliki loyalitas kesikapan merek tertentu karena perilaku ini dilakukan oleh konsumen yang mudah terbuka terhadap stimuli pemasaran (Oliver, 1999; Gounaris & Stathakopoulos, 2004). Konsumen bisa dengan mudah untuk berpindah dari satu merek ke merek produk lainnya karena berkeinginan untuk mencoba hal-hal baru.
Berdasarkan uraian secara garis besar konsep-konsep yang digunakan dalam penelitian ini, permasalahan penelitian dapat diuraikan secara lebih rinci sebagai berikut :
1. Apakah tingkat stimulasi optimum mempengaruhi perilaku pencarian variasi?
2. Apakah perilaku pencarian variasi mempengaruhi loyalitas kesikapan?

Tujuan Penelitian
Tujuan pertama studi ini membahas model konseptual yang menguji pengaruh aspek internal konsumen pada perilaku pencarian variasi dan imbasnya pada loyalitas kesikapan merek dengan perspektif teori, yaitu perspektif. Perspektif psikologi digunakan untuk memahami kondisi konsumen yang berada dalam tingkat stimulasi optimum secara terus-menerus. Berkaitan dengan loyalitas kesikapan sebagai imbas perilaku pencarian variasi, memahami loyalitas kesikapan adalah hal penting karena loyalitas kesikapan menunjukkan suatu sikap positif konsumen pada merek produk. Pemasar menyadari bahwa, sulit untuk mempertahankan loyalitas kesikapan konsumen. Konsumen memiliki kecenderungan untuk terbuka dan mencoba merek atau produk baru. Hal ini didukung oleh keberadaan keragaman produk dengan atribut yang menyertainya sehingga memudahkan bagi konsumen untuk menentukan pilihan. Oleh karena itu, pemasar berusaha mempertahankan loyalitas kesikapan konsumen. Paling tidak, jika konsumen menentukan pilihan suatu merek, maka pilihan tidak akan jatuh pada merek lain.

METODE PENELITIAN

Produk Penelitian
Model penelitian ini diaplikasikan pada kategori produk telepon seluler. Studi eksploratori penelitian ini menunjukkan bahwa, produk-produk yang (1) mampu memberi baik manfaat maupun hiburan; (2) memiliki aspek social visibility; (3) memiliki desain dan atribut yang beragam; dan (4) menunjukkan identitas diri seseorang dipilih dalam penelitian ini. Keragaman variasi pada kategori produk dapat memudahkan konsumen menemukan pilihan produk. Produk yang tidak memberikan variasi pilihan membatasi individu untuk melakukan pencarian variasi.


Sampel Penelitian
Unit analisis penelitian ini adalah mahasiswa yang ada pada perguruan tinggi di Yogyakarta. Survei Surindo (Marketing, 2000) menunjukkan bahwa, mahasiswa merupakan pasar potensial karena memiliki kemampuan beli yang cukup besar. Pengaruh perubahan gaya hidup yang cukup kuat terlihat dalam pilihan mode para konsumen mahasiswa. Hasil survei tersebut juga menguatkan bahwa, mahasiswa mudah melakukan pembelian yang bersifat konsumtif khususnya produk-produk yang mudah dilihat oleh teman misalnya jam tangan, telepon seluler, pakaian, motor, dan bahkan mobil. Perilaku mahasiswa juga mudah terpikat oleh tawaran produk dengan atribut atau desain karena sebagai konsumen dengan daya beli yang cukup memiliki sensitivitas pada citra, gaya, dan merek. Penggunaan mahasiswa sebagai sampel penelitian dipertimbangkan karena memiliki proses kognitif khusus dan kemampuan untuk memahami konsep-konsep yang bersifat abstrak, misalnya baik atau buruk suatu tindakan.

Prosedur Penentuan Sampel
Metode yang digunakan untuk memilih sampel penelitian dalam studi ini adalah purposive sampling. Pengambilan sampel ini memiliki aspek non-probabilitas yang memenuhi kriteria-kriteria, yaitu (1) pernah melakukan pergantian merek telepon seluler lebih dari satu kali dalam setahun terakhir ketika kuesioner diberikan kepada responden penelitian; (2) memiliki umur dengan rentang 18-25 tahun; (3) memiliki karakteristik sebagai individu dengan kecenderungan lebih terbuka dan tampil berbeda.

Penyebaran Kuesioner
Cooper dan Schindler (2003) menyatakan bahwa, peneliti dapat memilih suatu lokasi atau waktu penelitian berdasarkan pertimbangan keterjangkauan, biaya, dan waktu. Beberapa perguruan tinggi yang dinilai memenuhi kriteria penentuan sampel adalah Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi YKPN, Universitas Sanata Dharma, Universitas Teknologi Yogyakarta, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Universitas Islam Indonesia, Universitas Atma Jaya, dan Universitas Pembangunan Nasional Yogyakarta. Sebelum memberikan kuesioner yang merupakan instrumen pengukuran utama konsep-konsep penelitian, kuesioner awal diberikan kepada mahasiswa terlebih dahulu. Kuesioner awal berisi pertanyaan umum yang ditujukan untuk mengetahui antara lain 1) biodata mahasiswa, 2) pengalaman mahasiswa menggunakan merek telepon seluler, 3) pengetahuan mahasiswa terhadap sejumlah merek.



Definisi Operasional
Tingkat stimulasi optimum adalah persepsi konsumen terhadap stimuli yang ada pada merek produk yang dimiliki. Tingkat stimuli optimum yang terus-menerus menunjukkan persepsi terhadap stimuli yang ada pada merek telepon seluler terdahulu menjadi tidak menarik lagi sehingga konsumen menginginkan sesuatu yang baru dan lebih menarik daripada merek lama. Konsep tingkat stimulasi optimum diukur dengan instrumen pengukuran Arousal Seeking Tendency yang diadaptasi baik dari studi Raju (1980) maupun Baumgartner dan Steenkamp (1996). Rentang pilihan jawaban berkisar dari 1 (sangat tidak setuju) sampai 5 (sangat setuju). Perilaku pencarian variasi yang diuji dalam studi ini adalah perilaku pencarian variasi eksploratori. Perilaku pencarian variasi sebenarnya disebabkan oleh factor kebosanan dan mencari sesuatu yang baru (McAlister & Pessemier, 1982; Raju, 1984; Baumgartner & Steenkamp, 1996). Konsep perilaku pencarian variasi diukur dengan menggunakan butir yang diadaptasi dari studi Raju (1980). Rentang pilihan jawaban berkisar dari 1 (sangat tidak setuju) sampai 5 (sangat setuju). Loyalitas kesikapan adalah kecenderungan yang dimiliki oleh konsumen untuk menyukai merek tertentu atau satu-satunya merek telepon seluler. Loyalitas kesikapan menggunakan butir yang diadaptasi dari studi Chaudhuri dan Holbrook (2001) serta Mullan dan Gilmore (2003). Rentang pilihan jawaban berkisar dari 1 (sangat tidak setuju) sampai 5 (sangat setuju).

Metode Analisis Data
Penelitian ini menggunakan teknik structural equation modeling (SEM) dengan program AMOS-4. Estimasi hubungan dependensi yang berkaitan secara berganda tidak hanya sebagai elemen unik SEM.

HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS
Pengumpulan data penelitian ini dilakukan selama hampir dua bulan, yaitu dari pertengahan bulan Januari 2006 sampai dengan awal bulan Maret 2006. Jumlah kuesioner yang disebarkan ke tujuh perguruan tinggi di Yogyakarta adalah 1100 eksemplar. Dari jumlah tersebut, kuesioner yang kembali adalah 1043 eksemplar. Hal ini menunjukkan bahwa, tingkat pengembalian kuesioner penelitian ini sebesar 94,8 persen. Tingkat pengembalian yang tinggi disebabkan oleh keberadaan peneliti di tiap kelas.
Berdasarkan perspektif psikologi, konsumen sebagai makhluk hidup memiliki sifat aktif dan juga reaktif. Sifat aktif ditunjukkan oleh keinginan untuk mencari sesuatu yang baru dan berbeda. Keinginan untuk mencoba sesuatu yang baru merupakan hal alamiah. Konsumen dianggap tidak hanya berusaha untuk menyelesaikan permasalahan psikologis seefisien mungkin, tetapi juga menyukai stimulasi tertentu. Pencarian hal-hal baru ini juga tidak terlepas dari karakteristik yang dimiliki oleh konsumen sebagai pribadi yang selalu ingin tahu dan memiliki kemampuan untuk mendapatkannya. Konsumen dalam berperilaku juga menunjukkan sikap yang tidak konsisten. Sikap tidak konsisten ini menunjukkan bahwa, individu tidak mempertahankan antara keyakinan dan perilaku aktual. Pada suatu saat, individu bisa memiliki sikap yang positif dengan cara menyukai sesuatu secara terusmenerus, tetapi pada saat yang berbeda, individu tidak menyukainya. Kondisi ini menunjukkan bahwa, individu cenderung mudah berpaling pada sesuatu yang baru.
Perilaku pencarian variasi juga menggambarkan sifat konsumen yang reaktif. Ketika individu merasakan adanya berbagai hal baru yang terjadi secara bersamaan, individu akan menolaknya. Keterbatasan rasionalitas dalam memori konsumen menyebabkannya untuk tidak menerima setiap informasi baru yang tidak sesuai dengan pengalaman yang dimiliki sebelumnya. Konsumen mengalami suatu kebingungan untuk memahami hal-hal yang baru dan mungkin cenderung menjadikannya untuk menghindar.
Oliver (1999) juga menekankan bahwa, individu yang cenderung melakukan pencarian variasi merupakan salah satu bentuk perwujudan kepribadian. Perilaku pencarian variasi memiliki peran negatif terhadap kesetiaan konsumen pada jasa tertentu (Berne, Mugica, Yague, 2001). Perilaku pencarian variasi didorong oleh perubahan motivasi yang ada pada diri konsumen. Aspek psikologis menjelaskan bahwa, hal ini berkaitan dengan keinginan intrinsik untuk melakukan pencarian itu sendiri yang sifatnya bias dan tidak bisa diprediksi dari waktu ke waktu.
Studi ini menunjukkan bahwa, konsumen tidak memiliki loyalitas kesikapan pada merek produk tertentu karena memiliki keterlibatan merek yang rendah. Keterlibatan didefinisi sebagai persepsi subyektif seseorang terhadap suatu obyek, aktivitas, dan situasi (Mittal, 1987; Knox & Walker, 2003). Keterlibatan konsumen dalam penelitian ini berkaitan dengan persepsi risiko keuangan rendah. Menurut Homburg dan Giering (2001), perilaku yang mudah berpindah dari satu merek ke merek lain merupakan perwujudan perilaku eksploratori yang mau menanggung tingkat risiko keuangan tertentu. Oleh karena itu, konsumen yang melakukan pencarian variasi tidak memandang bahwa, merek produk yang dibeli memiliki dampak negatif. Alasan harga tidak menjadi pertimbangan dalam memilih. Berdasarkan data penelitian, faktor harga hanya memiliki tingkat 4,8 persen dalam menjelaskan pergantian merek produk.

metode riset: analisis jurnal2


Nama : Tertiera .N. Azizah
Kelas   : 3EA18
NPM     : 19210435
Loyalitas Konsumen
Perangkap Loyalitas Pelanggan :  Sebuah Pemahaman Terhadap Noncomplainers Pada Seting Jasa
Titik Desi Harsoyo, SE, MSi
April, 2009

LATAR BELAKANG
Loyalitas pelanggan merupakan tujuan setiap penyedia jasa (service provider). Sudah menjadi kesepakatan umum di kalangan praktisi dan akademisi di bidang pemasaran, bahwa variabel tersebut lahir sebagai konsekuensi dari kepuasan pelanggan. Artinya, pelanggan yang puas akan loyal kepada penyedia jasa yang sama. Atau sebaliknya, pelanggan yang loyal selalu adalah pelanggan yang puas. Kedua variabel ini memiliki hubungan yang sangat kuat dan berbanding lurus. Artinya, jika kepuasan pelanggan meningkat maka loyalitas pelanggan juga akan meningkat, dan demikian sebaliknya.
Meskipun hampir dapat dipastikan bahwa pelanggan yang loyal adalah pelanggan yang puas, ada pertanyaan yang menarik untuk direnungkan kembali. Seberapa akuratkah kepuasan dalam membangun loyalitas? Apakah selalu benar bahwa di dalam konstrak loyalitas hanya terdiri dari pelanggan yang puas saja? Ataukah ada kelompok pelanggan tipe lain yang ikut pula berkontribusi terhadap pembentukan konstrak tersebut?
Memahami perilaku tertentu dari pelanggan akan memberikan pemahaman yang lebih jelas tentang kepuasan dan loyalitas mereka. Pelanggan yang tidak puas tampaknya tidak selalu menunjukkan perilaku yang sama. Sebagian dari mereka mungkin akan menyuarakan ketidakpuasan dengan mengajukan keluhan (complain), tetapi tidak sedikit pula dari mereka yang memilih untuk diam. Penanganan keluhan pelanggan akan berkaitan erat dengan pemulihan jasa (service recovery), sedangkan perilaku diam dari pelanggan yang tidak puas berhubungan erat dengan studi mengenai noncomplainers. Keluhan yang tidak disuarakan (unvoiced complaint) sesungguhnya merupakan opportuniy cost bagi organisasi untuk beberapa alasan:
1. Perusahaan akan kehilangan kesempatan untuk mengidentifikasi kegagalan dan menentukan sumber masalah Fornell dan Wernerfelt (1987 seperti dikutip oleh Voorhees et al. 2006).
2. Berpotensi mengakibatkan perpindahan merek (brand switching)(Richins 1987 seperti dikutip Voorhees et al. 2006).
3. Perusahaan gagal mengatasi masalah dan mempertahankan pelanggan (Hirschman, 1970 dalam Stephens dan Gwinner, 1998).
4. Merusak reputasi perusahaan yang ditimbulkan oleh negative word-of-mouth yang disampaikan oleh pelanggan tersebut kepada pihak lain.
5. Perusahaan gagal memperoleh feedback tentang kualitas produknya sehingga gagal pula melakukan perbaikan.

Sebagai respon terhadap semakin pentingnya manajemen penanganan keluhan bagi perusahaan, semakin banyak studi dilakukan untuk menginvestigasi karakteristik pelanggan yang mempengaruhi timbulnya keluhan. Dalam artikel empirisnya, Voorhees et al (2006) menyebutkan dua penelitian yang menghasilkan temuan penting. Singh pada tahun 1990 menemukan bahwa pelanggan yang sering mengajukan keluhan adalah pelanggan usia muda, berlatarbelakang pendidikan yang baik, dan relatif makmur. Sedangkan Richins pada tahun 1987 menemukan bahwa assertiveness, aggression, attitude dan social activity akan mempengaruhi perilaku mengeluh.
MASALAH DAN TUJUAN
Garret dan Meyers (1996 seperti dikutip oleh Susskin 2005) menjelaskan bahwa selama proses penyampaian jasa berlangsung, pelanggan dan penyedia jasa memiliki peran masing-masing. Di satu sisi, ketika membeli sebuah jasa, pelanggan akan membangun persepsi mengenai kualitas layanan yang diberikan oleh pihak penyedia jasa. Di sisi lain, penyedia jasa akan berusaha untuk mengidentifikasi persepsi pelanggan, dan jika terjadi, mencari penyebab ketidakpuasan pelanggan. Jika layanan yang diterima dari penyedia jasa ternyata tidak memenuhi harapan pelanggan, maka pelanggan akan kecewa. Sesungguhnya pelanggan yang kecewa memiliki hak untuk menyampaikan keluhan kepada penyedia jasa. Sebagai respon atas meningkatnya perhatian terhadap keluhan pelanggan, semakin banyak studi bertema keluhan. Tetapi sebagian besar porsi topik tersebut masih didominasi oleh studi literatur dan empiris tentang complainers. Dan masih sedikit studi yang mengeksplorasi kelompok pelanggan yang tidak puas tetapi tidak menyuarakan ketidakpuasannya. Atau yang disebut sebagai noncomplainers. Oleh karena itu kajian konseptual ini mencoba memberikan tambahan pemahaman mengenai noncomplainers. Bahkan lebih spesifik lagi, tentang noncomplainers yang tetap loyal pada penyedia jasa yang telah mengecewakan mereka. Memahami noncomplainers yang loyal akan membantu mengungkap misteri variabel kepuasan dan loyalitas pelanggan.
Complainers maupun noncomplainers adalah pelanggan yang tidak puas dengan kinerja penyedia jasa. Complainers menyuarakan kekecewaannya dan umumnya akan memperoleh pemulihan jasa (service recovery) dari pihak penyedia jasa, sedangkan noncomplainers adalah pelanggan yang tidak puas tetapi juga tidak menyatakan keluhannya. Selanjutnya noncomplainers terbagi lagi ke dalam dua kelompok. Pertama, noncomplainers yang tidak mengajukan keluhan dan langsung berpindah ke penyedia jasa yang lain. Kedua, noncomplainers yang tidak menyuarakan keluhannya dan memutuskan untuk tetap loyal kepada penyedia jasa. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah mengapa ada sebagian dari noncomplainers yang memutuskan untuk tetap loyal pada penyedia jasa yang telah gagal memenuhi harapan mereka, padahal mereka sesungguhnya memiliki kebebasan untuk memutuskan hubungan dengan penyedia jasa tersebut dan berpindah ke penyedia jasa lain yang lebih baik?
Melalui studi literatur tentang kepuasan dan ketidakpuasan, kegagalan dan pemulihan jasa, loyalitas pelanggan dan complainers maupun noncomplainers, tulisan ini mencoba untuk menjawab pertanyaan tersebut dalam seting jasa.
TUJUAN STUDI LITERATUR
Dengan memahami sikap maupun perilaku noncomplainers dalam seting jasa, studi literatur ini mencoba untuk:
1. Mengidentifikasi faktor-faktor yang sangat mungkin melatarbelakangi mengapa noncomplainers tetap memutuskan untuk loyal kepada penyedia jasa yang sudah pernah mengecewakan mereka.
2. Memberikan tambahan kajian literatur tentang noncomplainers di seting jasa dan sekaligus menyediakan referensi bagi penelitian selanjutnya.

METODOLOGI PENELITIAN
Oliver (1999) menyebutkan bahwa semula, penelitian tentang kepuasan pernah menjadi „raja dalam area pemasaran. Tetapi kemudian terjadi pergeseran posisi. Raja kemudian perlahan-lahan turun tahta dan digantikan oleh konsep baru. Diantaranya dinyatakan oleh Deming pada tahun 1986 bahwa „tidak lagi cukup hanya dengan memiliki pelanggan yang puas. Kemudian paradigma penelitian kembali bergeser ketika Jones dan Sasser pada tahun 1995 menyatakan bahwa „hanya semata-mata memuaskan pelanggan yang sesungguhnya memiliki kebebasan untuk memilih tidak lagi cukup untuk membuat mereka loyal. Ditambah lagi pernyataan Stewart pada tahun 1997 dalam artikelnya yang berjudul „A Satisfied Customer Isnt Enough menyebutkan bahwa asumsi „kepuasan dan loyalitas yang selalu bergerak seperti tandem tidaklah benar. Mengutip Bain & Company, Reichheld pada tahun 1996 (seperti dikutip oleh Oliver, 1999) menyebutkan bahwa di industri otomotif, 85% hingga 95% pelanggan menyatakan puas, tetapi hanya 30% sampai 40% saja yang benar-benar kembali. Paradigma terus bergeser. Mencari celah yang layak dipertanyakan dan dijawab. Bahkan sekarang ini kita bisa dengan berani mengeksplorasi konstrak loyalitas untuk menemukan jawaban atas pertanyaan „ada apa dengan loyalitas?, „loyalitas seperti apa yang telah diberikan pelanggan kepada penyedia jasa?
Dengan tetap optimis bahwa kepuasan masih menjadi prediktor paling kuat bagi loyalitas pelanggan, perlu dilakukan kaji-ulang untuk menjawab pertanyaan apakah loyalitas yang dicapai oleh penyedia jasa adalah loyalitas murni. Terlebih lagi jika sudah disadari bahwa noncomplainers yang tidak menyuarakan keluhannya ternyata ikut berpotensi menciptakan loyalitas.

Customer Satisfaction

Customers expectancy selalu menjadi variabel penting yang terlibat dalam diskusi tentang kepuasan pelanggan. Karena mendefinisikan kepuasan pelanggan harus dimulai terlebih dahulu dari variabel harapan pelanggan. Berkaitan dengan harapan pelanggan, Parasuraman et al. (1985 dalam Martín et al. 2000) menjelaskan bahwa harapan pelanggan bersifat dinamis, karena dapat berubah dari satu pelanggan ke pelanggan yang lain, dari situasi yang satu dengan situasi yang lain bagi individu yang sama, atau bahkan dapat bervariasi menurut atribut jasa. Akibatnya, pelanggan memiliki harapan yang berbeda-beda. Zeithaml et al (1993 dalam Martín et al. 2000) menyatakan bahwa harapan tersebut bertindak sebagai standar yang akan dibandingkan dengan pengalaman jasa yang sesungguhnya, dan kemudian perbandingan tersebut akan menghasilkan kepuasan maupun ketidakpuasan. Pada seting jasa, dalam confirmation-disconfirmation theory (Oliver 1980) disebutkan bahwa confirmation terjadi jika harapan sama dengan kinerja sesungguhnya dari penyedia jasa. Positive disconfirmation terjadi jika kinerja sesungguhnya lebih baik daripada harapan, sehingga menciptakan kepuasan pelanggan. Sedangkan negative disconfirmation terjadi ketika kinerja sesungguhnya lebih buruk dibandingkan harapan, sehingga mengarah pada ketidakpuasan.



Customer Loyalty

Perspektif tentang loyalitas pelanggan yang selama ini kita gunakan dalam penelitian dan kajian konseptual, ternyata telah mengalami banyak penyempurnaan dalam sejarah panjang literatur akademik. Di bidang pemasaran, sebagian akademisi mengaitkan loyalitas pelanggan dengan loyalitas merek (Copeland, 1923 dalam Homburg dan Giering 2001). Ada pula yang mengaitkannya dengan perilaku tertentu, yaitu pembelian berulang terhadap barang atau jasa tertentu pada periode waktu tertentu (Homburg dan Giering 2001). Akibatnya, pengukuran terhadap loyalitas pelanggan masih hanya berfokus pada proses pembelian merek tertentu (Brown, 1952; Churchill, 1942 dalam Homburg dan Giering 2001), proporsi pembelian terhadap merek tertentu (Brody dan Cunningham, 1968; Cunningham, 1956 dalam Homburg dan Giering 2001), probabilitas pembelian (Farley, 1964; Frank, 1962; Lipstein, 1959 dalam Homburg dan Giering 2001), mengkombinasikan beberapa perilaku tertentu (Frank et al, 1969; Tucker, 1964 dalam Homburg dan Giering, 2001).

Tipologi Loyalitas
Tipologi loyalitas pelanggan berdasarkan perspektif dua-dimensional. Loyalitas pelanggan terbagi menjadi empat: high (true) loyalty, latent loyalty, spurious loyalty dan low (or no) loyalty.
Pelanggan dengan loyalitas murni (true loyalty) memiliki ikatan sikap yang kuat dan melakukan patronasi berulang yang tinggi. Dalam seting jasa, berarti pelanggan yang memiliki loyalitas murni akan setia melakukan patronasi terhadap penyedia jasa yang sama dan tidak sensitif terhadap penawaran pesaing. Pelanggan yang berada pada kuadran latent loyalty menunjukkan tingkat patronasi yang rendah, meskipun memiliki komitmen attitudinal yang kuat terhadap penyedia jasa. Rendahnya tingkat patronasi bisa disebabkan oleh dua hal. Pertama, karena mereka tidak memiliki sumberdaya yang cukup untuk meningkatkan patronasi. Kedua, adalah karena harga, akses atau distribusi yang ditetapkan oleh penyedia jasa tidak cukup mendukung mereka untuk melakukan patronasi-ulang. Pelanggan yang sering melakukan pembelian meskipun tidak memiliki ikatan emosional dengan merek jasa atau penyedia jasa merupakan karakteristik pelanggan dengan loyalitas semu (spurious loyalty or artificial loyalty). Pelanggan kelompok ini bahkan sama sekali tidak menyukai merek atau penyedia jasa tertentu tetapi terus melakukan pembelian pada penyedia jasa yang sama. Tingginya patronasi yang mereka lakukan dapat dijelaskan oleh faktor-faktor seperti: kebiasaan membeli (habitual buying), insentif finansial, alasan kemudahan, kurang atau tidak adanya alternatif lain maupun faktor situasional individu. Terakhir, pelanggan yang memiliki ikatan attitudinal dan patronasi ulang yang sama-sama rendah berada pada low (or no) loyalty. Kelompok spurious loyalty dan low loyalty sangat rentan terhadap penawaran kompetitor.

Service Failure dan Service Recovery
Intangibility, inseparability, heterogeneity, perishability (Zeithmal 1985). Empat karakteristik unik yang dimiliki oleh jasa mengakibatkan kepuasan dan loyalitas pelanggan terhadap jasa menjadi lebih sulit untuk diprediksi dibandingkan barang. Ketika penyedia jasa tidak mampu menampakkan ketidaktampakan (tangible the intangibility) jasa, karyawan jasa gagal melakukan interaksi dua-arah dengan pelanggan, gagal menjamin konsistensi standar layanan dan tidak memenuhi permintaan pelanggan pada saat mereka membelinya, bahkan pada periode peak season sekalipun, maka tentu saja pelanggan akan kecewa dan tidak puas. Berbicara tentang kegagalan jasa tidak dapat dipisahkan dari pemulihan jasa (service recovery). Sebab ketika penyedia jasa gagal memberikan kinerja yang maksimal, maka sudah seharusnya mereka kemudian melakukan pemulihan jasa. Berdasarkan confirmation-disconfirmation theory, kegagalan jasa (service failure) terjadi ketika kinerja aktual penyedia jasa berada di bawah harapan pelanggan (Hoffman dan Bateson, 1997 dalam Hess et al. 2003). Sedangkan service recovery meliputi tindakan dan aktifitas yang dilakukan oleh penyedia jasa dan karyawannya untuk memperbaiki, mengganti kerugian dan memulihkan hilangnya pengalaman pelanggan (Bell dan Zemke, 1987; Gronroos, 1998 dalam Hess et al, 2003). Bentuk pemulihan jasa dapat bervariasi, misalnya pembayaran ganti rugi, diskon, meningkatkan layanan, memberikan barang atau jasa gratis, permintaan maaf dan pemahaman terhadap masalah (Kelley et al, 1993 dalam Hess et al, 2003). Diskusi tentang kegagalan jasa maupun pemulihan jasa sangat berkaitan erat dengan service encounter dimana pelanggan bertemu dan berinteraksi langsung dengan karyawan jasa. Dengan mengambil obyek penelitian restoran, Hess et al (2003) menginvestigasi tentang bagaimana pengaruh hubungan pelanggan-organisasi terhadap reaksi pelanggan ketika terjadi kegagalan dan pemulihan jasa. Jika hubungan pelanggan-organisasi jasa berjalan baik, maka akibat yang ditimbulkan oleh kegagalan jasa dapat diminimalkan oleh hubungan baik tersebut. Dan jika hubungan pelanggan-organisasi berjalan baik, maka pelanggan memiliki harapan yang rendah terhadap pemulihan jasa. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa hubungan baik antara pelanggan-organisasi ternyata dapat membantu melindungi organisasi jasa dari efek negatif yang diakibatkan oleh kegagalan jasa. Pelanggan yang memiliki harapan tinggi tentang kontinuitas hubungannya dengan organisasi jasa ternyata menunjukkan harapan pemulihan yang lebih rendah, dan pada gilirannya akan menyebabkan tingginya tingkat kepuasan terhadap kinerja penyedia jasa setelah pemulihan. Dengan kata lain, pelanggan yang memiliki hubungan baik dengan penyedia jasa pada umumnya akan memiliki tingkat toleransi yang lebih tinggi terhadap kegagalan jasa.

Customer Complaint dan Complaint Handling
Saat ini, complaint handling menjadi topik yang semakin diminati dalam area pemasaran jasa. Semakin banyak organisasi yang mendukung pelanggan mereka untuk mengajukan keluhan jika tidak puas (East 2000). Penyampaian keluhan oleh pelanggan memberikan benefit bagi organisasi, antara lain: organisasi memiliki kesempatan untuk mengatasi ketidakpuasan, mengurangi komentar negatif yang disampaikan oleh pelanggan pada pihak ketiga, memperoleh informasi pasar yang bermanfaat dan sekaligus mempertahankan pelanggan (Gilly dan Hansen 1985 seperti dikutip oleh East 2000). The Economist (2000) seperti dikutip oleh Maxham dan Netemeyer (2002) melaporkan bahwa keluhan pelanggan meningkat tajam. Meskipun riteler tidak mungkin mengeliminasi keluhan, tetapi mereka dapat belajar bagaimana mengelola keluhan pelanggan secara efektif. Bahkan banyak perusahaan yang menganggap complaint handling sebagai sebuah investasi untuk meningkatkan komitmen pelanggan dan untuk membangun loyalitas pelanggan (Tax et al. 1998). Complaint handling akan menentukan bentuk pemulihan jasa yang seharusnya diberikan kepada pelanggan yang tidak puas. Berkaitan dengan siapa yang bertanggungjawab melakukan pemulihan jasa, tidak mengherankan jika banyak studi diarahkan untuk mengeksplorasi elemen-elemen di dalam organisasi yang mendukung kontak antara karyawan dan pelanggan. Bell dan Luddington (2006) meneliti perilaku karyawan jasa sehubungan dengan bagaimana mereka mengatasi keluhan. Dengan menginvestigasi pengaruh variabel afektifitas positif, afektifitas negatif, komitmen karyawan terhadap pelanggan dan menggunakan variabel training sebagai variabel kontrol, ditemukan bahwa keluhan pelanggan menimbulkan dampak negatif terhadap komitmen karyawan jasa. Selain itu, keluhan pelanggan mungkin akan menimbulkan peran konflik. Perilaku karyawan yang diharapkan oleh pelanggan dan organisasi jasa seringkali tidak searah. Karyawan jasa seringkali harus berada pada posisi tidak nyaman, misalnya ketika harus menyampaikan kepada pelanggan bahwa menu pesanan tidak tersedia karena keterbatasan persediaan barang. Atau ketika karyawan harus menyampaikan penolakan retur barang kepada pelanggan.
Noncomplainers yang tetap loyal pada penyedia jasa yang lama

Seperti disebutkan sebelumnya, noncomplainers adalah pelanggan yang tidak puas dan tidak menyuarakan ketidakpuasan mereka. Kajian konseptual ini mengeksplorasi noncomplainers menjadi dua kelompok. Pertama: noncomplainers yang berpindah ke penyedia jasa lain. Kedua: noncomplainers yang tetap loyal pada penyedia jasa semula. Tidak seperti pelanggan yang mengalami pemulihan jasa dari penyedia jasa maupun complainers yang menerima pemulihan jasa yang memuaskan, noncomplainers tidak menerima pemulihan jasa. Oleh karena itu noncomplainers memperoleh pengalaman jasa yang negatif (Voorhees et al 2006).

KESIMPULAN dan PENUTUP
Studi literatur ini mengaitkan loyalitas pelanggan dengan perilaku noncomplainers dalam seting jasa. Noncomplainers adalah pelanggan yang tidak puas dengan kinerja penyedia jasa, tetapi tidak menyampaikan keluhan. Selanjutnya studi literatur ini mencoba memperluas konsep. Pertama, noncomplainers dikelompokkan lagi menjadi dua, yaitu noncomplainers yang berpindah ke penyedia jasa yang lain dan noncomplainers yang memutuskan untuk tetap loyal kepada penyedia jasa yang sudah mengecewakannya. Sementara pada literatur sebelumnya tentang kemungkinan perilaku noncomplainers yaitu voice, exit dan negative word-of-mouth, studi literatur ini mencoba mengajukan proposisi tentang kemungkinan lain yaitu loyal. Pembuktian variabel yang diduga menjadi alasan mengapa loyal-noncomplainers tetap setia, tentu saja memerlukan studi lanjutan. Terakhir, studi literatur ini diharapkan dapat memberikan pencerahan munculnya ide baru tentang noncomplainers bagi studi selanjutnya.

metode riset: analisis jurnal1


Nama : Tertiera N. Azizah
Kelas : 3EA18
NPM : 19210435
Loyalitas Konsumen
Pengaruh Relationship Marketing, Trust, Commitment, Citra, dan
Fasilitas pada Customer Loyalty
Budhi Haryanto dan Soemarjati T.J.*
Desember, 2009

Latar Belakang

Loyalitas pelanggan merupakan isu yang dipertimbangkan penting untuk distudi, sebab isu ini diperkirakan berimplikasi pada peningkatan kinerja perusahaan melalui pemanfaatan kepuasan pelanggan. Hal ini dapat terjadi, ketika pelanggan merasa puas mengkonsumsi produk selanjutnya diperkirakan melakukan pembelian ulang terhadap produk tersebut atau mengabarkan kepuasannya kepada calon-calon pelanggan yang lainnya (Too et al., 2000).
Bagi perusahaan yang berorientasi pada pemasaran, isu ini menjadi paradigma yang diakui kebenarannya untuk mengganti paradigma bisnis yang dipandang masih bersifat tradisional yang berorientasi pada seni menjual saja. Paradigma ini yang dalam prakteknya berpotensi memunculkan ketidakpuasan pelanggan yang pada gilirannya berimplikasi pada semakin turunnya loyalitas pelanggan (Kotler dan Keller, 2006).
Berkaitan dengan isu loyalitas, Hotel Pondok Indah yang berlokasi di Boyolali telah melakukan berbagai upaya pemasaran untuk meningkatkannya, antara lain: cara penerimaan tamu, upaya pemberian layanan ekstra, penyediaan fasilitas yang baik, dan upaya-upaya lainnya terkait dengan kepuasan pelanggan. Hal ini dapat diketahui melalui studi pendahuluan yang dilakukan melalui in depth interview dengan pihak Hotel yang berkompenten. Namun demikian, upaya-upaya yang telah dilakukan ini memerlukan penelitian lanjutan untuk memastikan keakurasiannya secara empiris, sehingga kebijakan-kebijakan pemasaran yang dilakukan tidak didasarkan pada pertimbangan intuitif melainkan mempunyai landasan ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan dari segi sumber dan kebenarannya. Dengan demikian, penelitian ini diharapkan dapat memberikan pertimbangan yang bersifat empiris terkait dengan upaya-upaya yang seharusnya dilakukan untuk meningkatkan kinerja melalui loyalitas pelanggan hotel.
Studi ini bertumpu pada 5 variabel amatan yang diperkirakan dapat meningkatkan loyalitas pelanggan yaitu (1) pemasaran yang menjaga hubungan jangka panjang (relationship marketing atau relational marketing), (2) kepercayaan pelanggan (customer trust), dan (3) komitmen pelanggan (customer commitment), (4) citra (image), dan (4) fasilitas (facilities).
Masalah dan Tujuan.

Loyalitas konsumen (customer loyalty) didefinisi sebagai suatu keterkaitan konsumen terhadap suatu produk yang diwujudkan dalam bentuk keinginan untuk membeli ulang dan merekomendasikannya kepada orang lain (Lihat Too et al., 2000). Sedangkan tingkatan loyalitas menunjukkan derajat keinginan konsumen untuk melakukan pembelian ulang atau merekomendasikan pengalamannya dalam mengkonsumsian suatu poduk pada orang lain. Variabel ini merupakan variabel dependen yang dipengaruhi oleh pemasaran yang menjaga hubungan jangka panjang (relationship marketing atau relational marketing), kepercayaan pelanggan (customer trust), komitmen pelanggan (customer commitment), citra (image), dan fasilitas (facilities).
Relationship Marketing. Variabel ini diperkirakan penting untuk menjelaskan proses terbentuknya loyalitas pelanggan. Relationship marketing yang dimaksud untuk menjelaskan semua aktivitas pemasaran yang ditujukan untuk menciptakan, membangun, dan memelihara kesuksesan dalam situasi perubahan dari transactional marketing menjadi relational marketing (Too et al. 2000). Pengelolaan hubungan baik terutama dengan pelanggan pada hakekatnya adalah pembentukan suatu hubungan jangka panjang yang saling menguntungkan.
Ditinjau dari perspektif strategis, hubungan jangka panjang dengan konsumen memberikan beberapa manfaat bagi perusahaan: (1) biaya untuk mempertahankan pelanggan lebih rendah daripada biaya untuk mendapatkan pelanggan baru, (2) pelanggan lama yang puas dapat menjadi bagian dari tim penjualan melalui berita baik yang mereka sebarkan dari mulut ke mulut (word of mouth), (3) pelanggan tetap jangka panjang baru menjadi mitra kerja yang baik bagi perusahaan dalam mengembangkan dan meningkatkan kualitias produk atau jasanya, (4) perusahaan menikmati profotabilitas jangka panjang melalui pembelian dan konsumsi produk atau jasa yang repetitif dan konstan dalam waktu yang lama.
Berdasarkan pengertian perspektif sempit, variabel ini digunakan untuk menggambarkan keragaman taktik pemasaran yang dapat mempertahankan pelanggan setelah penjualan terjadi. Selanjutnya, dalam perspektif luas, relationship marketing digunakan sebagai suatu paradigma dan orientasi pemasaran yang diposisikan sebagai kebalikan atau oposisi dari transactional marketing. Hal ini berarti konsep relationship marketing lebih terfokus pada relational marketing yang menekankan pada suatu upaya-upaya untuk membangun hubungan jangka panjang sebagai kebalikan dari transactional marketing yang lebih menekankan peningkatan penjualan yang berjangka pendek.
Selanjutnya, Sorce (2002) mengungkapkan bahwa relationship marketing merupakan sebuah pendekatan untuk menciptakan nilai-nilai ekonomi yang saling menguntungkan antara perusahaan dengan pelanggan dengan cara menarik dan menjaga hubungan baik dalam jangka panjang. Hal ini dapat dicapai melalui kerjasama, kolaborasi dan program-program pemasaran yang bertujuan membentuk hubungan yang saling menguntungkan antara perusahaan dengan perantara atau konsumen akhir (pelanggan) (Lihat Verhoef 2002; Elsingerich & Bell, 2006).
Dalam konsep relationship marketing, menarik pelanggan baru hanyalah salah satu langkah awal dalam proses pemasaran, hal yang lebih diperhatikan adalah mempertahankan pelanggan yang sudah adal merupakan strategi yang lebih mudah dan murah daripada mencari pelanggan baru. Pengertian ini memberikan implikasi terhadap perubahan dalam cara pandang perusahaan dalam memahami hubungannya dengan pelanggan, yang selanjutnya memunculkan suatu prinsip bahwa pengakuan kualitas, customer sevice, dan aktivitas pemasaran perlu dijalankan bersamaan.
Menurut Too et al. (2000) ada beberpa dimensi relationship marketing yaitu (1) fokus pada pelanggan dalam jangka panjang, (2) menepati janji pada pelanggan, (3) melibatkan personel organisasi dalam aktivatas pemasaran, (4) mengimplementasikan proses interaksi dengan konsumen pada aktivitas pemasaran, (5) membangun budaya melayani konsumen, dan (6) menggunakan informasi dari pelanggan.

Metodologi Penelitian.

Target populasi dari studi ini adalah pelanggan yang berniat untuk loyal pada jasa penginapan hotel. Sampel diambil dari pelanggan yang berniat untuk loyal di Hotel Pondok Indah di Boyolali. Sampel diambil sebanyak 200 orang dengan menggunakan teknik purposive sampling yaitu sampel non probabilitas dengan kriteria yang ditentukan. Pemilihan teknik ini didasarkan pada pertimbangan tentang sifat responden yang sulit untuk ditentukan sebelumnya, sedang penentuan kriterianya dimaksudkan untuk mendapatkan keakurasian informasi yang diperlukan.
Teknik pengumpulan data dilakukan melalui survei pada responden dengan cara melakukan wawancara secara langsung yang dipandu dengan kuesioner yang dipersiapkan. Hal ini dimaksudkan untuk meningkatkan keseriusan responden dalam pengisian kuesioner. Berikut ini adalah definisi operasional variabel.
Relationship marketing. Variabel ini dikonseptualisasi sebagai aktivitas pemasaran yang bertujuan menciptakan, membangun, dan memelihara kesuksesan dalam situasi perubahan dari transactional marketing menjadi relational marketing (Lihat Too et al.,2000). Dalam studi ini, variabel ini dioperasionalisasi sebagai tingkatan aktivitas pemasaran terkait dengan aspek penyediakan jasa layanan tamu, penyediaan waktu untuk melayani pelanggan, ketepatan janji, keterlibatan yang tinggi dengan pelanggan, kesediaan untuk melakukan kontak dengan pelanggan, kesediaan untuk mendengar keluhan pelanggan, kesediaan untuk membantu kesulitan pelanggan, kesediaan untuk membangun hubungan, kesediaan mengevaluasi pelayanan yang diberikan, dan esediaan mendengarkan tanggapan dari pelanggan.
Customer trust. Variabel ini didefinisi sebagai tingkatan kepercayaan terhadap janji mitra dalam memenuhi kewajiban yang harus dilakukan dalam sebuah hubungan (Lihat Ndubisi, 2007). Customer trust dioperasionalisasi sebagai tingkatan kepercayaan pelanggan terhadap aspek-aspek sebagai berikut: kebersihan, pelayanan yang diberikan, kecepatan, dan jasa pendukung.
Customer commitment. Variabel ini dikonseptualisasi sebagai keinginan yang kuat (terus menerus) untuk menjaga hubungan baik dengan perusahaan (Lihat Fullerton, 2003; Clark & Maher, 2007; Lacey 2007). Variabel ini diukur dengan menggunakan indikan-indikan yang menjelaskan aspek kepedulian terhadap perusahaan, usaha ekstra untuk mendapatkan jasa layanan hotel, kesiapan untuk membayar harga tinggi.
Citra. Variabel ini dikonseptualisasi sebagai kesan atau image pelanggan terhadap nama merek yang dikonsumsi. Citra dioperasionalisasi sebagai tingkatan kesesuaian antara image hotel dan pelanggan yang berkaitan dengan aspek nama, reputasi, pelayanan, harga, dan kualitas jasa.
Fasilitas. Variabel ini dioperasionalisasi sebagai kelengkapan pendukung yang pengemas produk inti yang ditawarkan. Fasilitas dioperasionalisasi sebagai tingkatan kelengkapan sarana dan prasaranna yang ditawarkan hotel pada pelanggan terkait dengan aspek-aspek fasilitas resepsionis, restoran, ruang tunggu dan fasilitas taman, dan fasilitas pendukung lainnya.
Customer loyalty. Variabel ini didefinisisi sebagai keterkaitan konsumen terhadap suatu produk yang terwujud pada satu keinginan untuk membeli ulang dan keinginan untuk merekomendasikan kepada orang lain (Lihat Too et al., 2000). Customer loyalty dioperasionalisasi sebagai tingkatan keterkaitan konsumen dalam hal ketidakinginan untuk menggunakan hotel lain jika membutuhkan, kesediaan untuk tetap menginap di hotel jika membutuhkan, kesediaan untuk merekomendasikan pada orang lain yang membutuhkan, dan kesediaan untuk menceritakan pengalaman menginap di hotel pada orang lain.
ANOVA adalah metode statistik yang dianggap relevan untuk menguji hubungan antara satu atau lebih variabel independen (skala metrik atau kategorikal) dan satu variabel dependen (skala metrik) (Ghozali, 2001; 2005).

HASIL dan ANALISIS
Hasil Analisis dan Pembahasan
Hasil analisis diawali dengan pengujian validitas dengan Confirmatory Factor Analysis. Hasil pengujiannya mengindikasi nilai KMO Measure of Sampling Adequacy (MSA) dalam penelitian ini sebesar 0,889 sehingga model mempunyai model fit yang baik.
Tahap 2 menyajikan hasil pengujian validitas konvergen dari variabel yang dianalisis. Hasil pengujiannya mengindikasi indikan-indikannya berkemampuan un tuk menjelaskan konstruk yang diukurnya.
Ketiga, melakukan pengujian validitas berikutnya adalah pengujian reliabilitas yang bertujuan untuk konsistensi instrumen pengukuran. Hasil pengujian Cronbach Alpha mengindikasi hasil yang reliable.
Hasil pengujian ANOVA mengindikasi bahwa besarnya adjusted R square adalah 0,80. Hal ini mengindikasi bahwa variabel dependen dapat dijelaskan oleh variabel independen sebesar 80% sedangkan selebihnya dijelaskan oleh variabel lain di luar model.
Hubungan antara relationship marketing dan costomer loyalty. Pengujiannya mengindikasi hasil yang tidak mendung Hipotesis 1 yang berarti bahwa relationship marketing bukan variabel keputusan yang dipertimbangkan penting oleh calon pelanggan untuk berniat loyal pada jasa penginapan hotel (F test = 1,191; sign = 0,290). Fenomena ini kemungkinan dikarenakan pihak hotel belum menerapkan strategi pemasaran relasional yang berusaha untuk membangun hubungan dalam jangka panjang dengan calon pelanggannya. Kemungkinan lain yang terjadi adalah keterbatasan dana yang dimiliki oleh hotel sehingga tidak memungkinkan untuk mengaplikasi relationship marketing yang identik dengan kebutuhan dana yang relatif besar. Faktor ini yang diperkirakan menjadi faktor penyebab hubungan yang tidak signifikan antara relation marketing dengan customer loyalty.
Dengan demikian temuan studi ini tidak mendukung konsep yang dikemukakan oleh studi-studi terdahulu yang mengarah pada regularitas fenomena pola hubungan yang positif antara relationship marketing dan customer loyalty (Lihat Widiana, Erma M. 2004; Too et al., 2000; Liang & Wang. 2007; dan Ndubisi, 2007). Oleh karena itu, temuan ini memerlukan studi lanjutan dalam konteks yang lebih luas untuk meningkatkan validitas eksternal dari konsep yang dihipotesiskan.
Hubungan antara customer trust dan customer loyalty. Hasil pengujiannya mengindikasi bahwa hipotesis 2 terdukung (F test = 6,167; sign = 0,00), yang berarti bahwa semakin tinggi customer trust semakin tinggi customer loyalty. Menurut pengertiannya, trust berarti suatu kepercayaan pelanggan terhadap janji yang diberikan perusahaan yang diekspresikan dalam bentuk slogan-slogan tentang kebersihan, pelayanan yang diberikan, kecepatan, dan kenyamanan jasa pendukung. Dasi sini kemungkinan calon pelanggan merasa percaya bahwa pihak hotel telah memenuhi janji seperti yang dislogankan. Fenomena ini didukung oleh suatu fakta bahwa persepsian konsumen terhadap hotel telah diujudkan secara nyata oleh pihak hotel.
Dengan demikian hasil pengujian studi ini konsisten dengan konsep yang dikemukan oleh studi-studi terdahulu yang mengarah pada regularitas fenomena yang menuunjukkan hubungan positif antara customer trust dan customer loyalty (Lihat Liang & Wang. 2007; Ndubisi, 2007). Namun demikian, temuan ini masih memerlukan studi lanjutan untuk meningkatkan generalisasinya sehingga di masa mendatang dapat menjadi teori yang universal.
Hubungan antara customer commitment dan customer loyalty. Hasil pengujiannya mengindikasi hasil yang mendukung hipotesis (F test = 23,394; sign = 0,00). Hal ini berarti bahwa semakin tinggi customer commitment semakin tinggi customer loyalty. Komitmen yang dimaksud disini adalah komitmen yang bersifat afektif dan bersifat continuance. Komitmen yang bersifat afektif cenderung pada rasa kecintaan dan kerelaan yang tinggi sebagai bagian dari hotel. Hal ini kemungkinan diekspresikan dalam bentuk kerelaan untuk menginap di hotel yang dikarenakan ada kenangan-kenangan tertentu bagi pelanggannya.
Selanjutnya continuance commitment berkecenderungan pada pertimbangan biaya. Hal ini dapat diketahui dari tarif hotel yang relatif murah didandingkan hotel-hotel lain yang menawarkan fasilitas yang sama. Kedua hal ini yang diperkirakan dapat membangun customer commitment sehingga berdampak pada customer loyalty. Dengan demikian disarankan kepada pihak hotel untuk membangun komitmen pelanggan melalui afective commitment melalui membangun kesan-kesan tertentu yang membangkitkan kenangan yang sulit terlupakan dan continuance commitment melalui penentuan tarif yang relevan dengan fasilitas-fasilitas hotel yang ditawarkan.
Hubungan yang signifikan dari konsep yang dihipotesiskan ini berarti mendukung regularitas fenomena tentang hubungan yang signifikan dan positif antara customer commitment dan customer trust seperti yang dikemukan dalam studi-studi terdahulu (Lihat Fullerton, 2003; Bansar et al., 2004; Dimtriades, 2006). Namun demikian temuan ini masih memerlukan studi lanjutan pada konteks yang lebih luas untuk meningkatkan validitas eksternal dari konsep yang dihipotesiskan.
Hubungan antara citra dan customer loyalty. Hasil pengujianya mengindikasi hubungan yang signifikan antara citra dan customer loyalty (F test = 4,302; sig 0,001). Hal ini menjelaskan bahwa semakin tinggi citra hotel semakin tingg customer loyalty. Citra yang dimaksud adalah kesesuaian antara image hotel dengan image pelanggan terkait dengan aspek nama, reputasi, pelayanan, harga, dan kualitas jasa yang diterima pelanggan. Dengan demikian disarankan agar pihak hotel diupayakan membuat program pemasaran hotel yang berkaitan dengan membangun image hotel yaitu dengan cara meningkatkan citra nama hotel, reputasi baik, pelayanan yang memuaskan, harga yang bersaing, dan kualitas jasa pendukung yang baik. Melalui cara ini diharapkan loyalitas pelanggan dapat ditingkatkan.
Hubungan yang signifikan dalam pengujian studi ini mengisyaratkan dukungan terhadap konsep tentang regularitas fenomena yang mengarah pada pola hubungan yang positif antara citra hotel dan loyalitas pelanggan seperti yang duikemukakan dalam studi-studi terdahulu (Lihat Clark & Maher, 2007; Lacey 2007). Namun demikian, temuan studi ini masih memerlukan studi lanjutan untuk menggeneralisasinya pada konteks yang lebih luas sehingga konsep yang dihipotesiskan dapat ditingkatkan validitas eksternalnya.
Hubungan antara fasilitas dan customer loyalty. Hasil pengujian yang diperoleh mengindikasi hasil yang mendukung hipotesis (F test = 12,550; sign = 0,00) yang berarti bahwa semakin tinggi fasilitas yang tersedia semakin customer loyalty. Fasilitas yang dimaksud adalah resepsionis, restoran, ruang tunggu dan fasilitas taman, dan fasilitas pendukung lainnya. Temuan ini mengisyaratkan perlunya pihak hotel untuk membangun kelengkapan dan kenyamanan fasilitas melalui pendesainan resepsionis, restoran, ruang tunggu, fasilitas taman, dan fasilitas lainnya yang mendukung citra hotel yang semakin baik. Dengan memperhatikan kelengkapan dan kenyamanan fasilitas ini diharapkan dapat meningkatkan loyalitas pelanggan terhadap hotel.
Hubungan yang signifikan dalam pengujian studi ini mengisyaratkan dukungan terhadap konsep tentang regularitas fenomena yang mengarah pada pola hubungan yang positif antara citra hotel dan loyalitas pelanggan seperti yang duikemukakan dalam studi-studi terdahulu (Lihat Clark & Maher, 2007; Lacey 2007). Namun demikian, temuan studi ini masih memerlukan studi lanjutan untuk menggeneralisasinya pada konteks yang lebih luas sehingga konsep yang dihipotesiskan dapat ditingkatkan validitas eksternalnya.

KESIMPULAN
Dalam penelitian ini, relationship Marketing tidak berpengaruh secara signifikan pada loyalitas pelanggan. Hal ini dapat dipahami karena Hotel Pondok Indah belum menerapkan strategi pemasaran relasional. Ini terlihat pada kurangnya hubungan baik antara pihak manajemen dan konsumen.
Selanjutnya, tingkat kepercayaan berpengaruh positip terhadap loyalitas pelanggan yang menjelaskan bahwa semakin tinggi tingkat kepercayaan pelanggan terhadap Hotel Pondok Indah, semakin besar pula loyalitasnya. Hal ini mengisyaratkan perlunya pihak hotel membangun tingkat kepercayaan melalui slogan-slogan tentang kebersihan, kecepatan pelayanan yang diberikan, dan kenyamanan jasa pendukung lainnya.
Komitmen pelanggan berpengaruh secara signifikan pada loyalitas. Hal ini mengisyaratkan perlunya pemasar membangun komitmen melalui afective commitment dan continuance commitment. Affective commitment dapat dicapai melalui membangun kesan-kesan tertentu yang dapat membangkitkan kenangan-kenangan yang sulit terlupakan, dan continuance commitment dapat dicapai melalui penentuan tarif yang relevan dengan fasilitas-fasilitas hotel yang ditawarkan.
Citra perusahaan berpengaruh secara signifikan pada loyalitas pelanggan Hotel. Hal ini mengisyaratkan perlunya pihak hotel membuat program-program pemasaran hotel terkait dengan cara meningkatkan citra nama hotel, reputasi baik, pelayanan yang memuaskan, harga yang bersaing, dan kualitas jasa pendukung lainnya yang baik.
Fasilitas berpengaruh secara signifikan pada loyalitas pelanggan. Hal ini mengisyaratkan perlunya pihak hotel untuk membangun kelengkapan dan kenyamanan fasilitas melalui pendesainan resepsionis, restoran, ruang tunggu, fasilitas taman, dan fasilitas lainnya yang mendukung citra hotel yang semakin baik.